Buat Bunda Gaiea,
Pengalaman saya membawa keluarga ke luar negeri (Jepang), kami tidak
mempersiapkan secara khusus utk masalah mental anak. Paling2 kita hanya
kasih tahu kalau nanti Rihan (anak saya, waktu itu usia 2th 4bln) akan
pergi jauh dan naik pesawat yg lama. Yg kami persiapkan adalah bgmn supaya
dia tidak bosan di pesawat. Mainan yg paling dia sukai saat itu (buku)
disiapkan utk dapat diambil sewaktu2.
Tentunya juga persiapan perlengkapan lain spt baju hangat, dll.
Begitu sampai di Jepang (Nagasaki) yg penting adalah adaptasi
terhadap cuaca. Utk persiapan masuk play group, Rihan setiap hari nonton
acara TV khusus utk anak-anak. Dari situ dia paling tidak mendengar bahasa
lain selain bhs Indonesia. Selain itu, saya mengajak bicaranya pakai bhs
campuran Indonesia dan Jepang.
Setelah 1 bulan baru Rihan saya masukkan ke play group. Tentunya
Rihan belum bisa bhs Jepang. Justru di play group itu dia belajar bhs
Jepangnya.
Pengalaman lucunya adalah pada saat Rihan masuk hari pertama ke play
group. Di Nagasaki, kita tdk boleh menemani di play group, jadi cuma antar
Rihan di tempat jemputan bis sekolah, habis itu dia berangkat sendiri ke
tempat play group bareng sama teman2 barunya naik bis itu. Tentunya ada
guru yg mendampingi di bis itu.
Sebelum saya masukkan Rihan ke play group itu, teman2 Indonesia dan
negara lain banyak yg cerita bahwa anaknya nangis bisa sampai 2 minggu
atau 1 bulan terus2-an di play group itu sebelum bisa adaptasi. Disuruh
naik bis sekolahnya pasti pakai nangis dulu dan dipaksa naik (digendong
gurunya naik bis).
Nah, kami sangat kaget dg Rihan, karena pada hari pertama itu, begitu
bisnya datang dia langsung naik, tanpa nangis, dan sempat melambaikan
tangan ke kami. Wah, kami senang melihatnya. Begitu pulang, Rihan cerita,
di sekolah tadi enggak nangis, main2 sama teman baru, makan banyak, dll.
Tetapi begitu saya baca surat dari gurunya, ternyata Rihan sampai sekolah
nangis sampai 1,5 jam, habis itu tidur karena kecapekan nangis. Bangun
tidur sudah siap2 mau pulang. Habis baca surat itu kami tertawa, karena
apa yg diceritakan Rihan lain sama yg tejadi sebenarnya. Mungkin Rihan
pingin menunjukkan bahwa dia anak hebat :)
Untungnya, kejadian Rihan menangis di play group itu hanya 3 hari
saja (bukan 2 minggu atau 1 bulan seperti pengalaman teman lain). Pada
hari ketiga itu saya tanya ke Rihan, kenapa nangis. Rihan bilang nyariin
ayah sama ibu. Terus saya bilang, ayah di kantor, ibu di rumah, Rihan di
sekolah. Walaupun Rihan nangis, ayah sama ibu enggak dengar dan enggak
akan datang ke sekolah. Makanya, enggak ada gunanya Rihan nangis. Main2
aja sama teman2 yg lain di sekolah. Setelah dikasih tahu spt itu, Rihan
tdk pernah nangis lagi di sekolah.
Itulah pengalaman kami menyekolahkan anak saya. Yg perlu dicatat
disini, setelah saya konsultasi dg guru Rihan di play group itu, yg
membuat anak tsb menangis sama sekali bukan masalah bahasa, tetapi karena
berpisah dg orangtua. Jadi, tdk perlu khawatir masalah bahasa. Anak akan
segera beradaptasi dg hal baru itu. Saat inipun, bhs Jepang Rihan jauh
lebih baik drpd ibunya.
Jadi, utk persiapannya, mungkin lebih kepada melatih si kecil
berpisah dg org tua utk waktu yg lama.
Itu saja sharing dari saya. Sorry ya, kepanjangan.....pakai cerita
lagi :)
Thanks.
taufan
-------Original Message-------
Date: 2001hN03??15gu
00:27:37
Subject: [balita-anda]
persiapan untuk transisi
Rekan sekalian,
Beberapa bulan ke depan saya dan
anak saya berencana menyusul suami ke Jerman. Ketika itu usia anak saya
menjelang dua tahun. Usia untuk mulai masuk playgroup. Tapi saya bingung
apakah sebaiknya langsung saya masukkan atau menunggu beberapa waktu dulu
sampai anak saya sudah bisa berbahasa Jerman, misalnya ? Dan persiapan apa
yang sebaiknya saya lakukan sejak sekarang untuk membantu anak saya
beradaptasi dengan lingkungan barunya ? Saya mohon sharing dari rekan
sekalian tentang hal ini.
Terima kasih,
Bunda
Gaiea
|