Title: FW : Mencermati Dunia Play Group

Dari majalah suara hidayatullah : September 2001
alah Suara Hidayatullah : September 2001               
Mencermati Dunia Play Group 
Di dunia bermain anak tiga tahunan, pendidik sebaiknya tak banyak bertanya, tetapi banyak bercerita

"Fani, letakkan mainanmu sayang Tangan dilipat, di atas mejaAyo kakinya rapat, kepala tundukkan., kita mau berdo'a," seorang guru kelompok bermain (play group) mengingatkan salah seorang murid yang masih sibuk dengan kartu-kartu mainan di tangannya. Sementara sebagian besar anak sudah duduk rapi di bangku masing-masing.  "Fani sayang, Bu Guru tidak mulai berdoa kalau kakinya masih keluar dari kursi. Mainannya diletakkan dulu, nanti Allah marah. Lho!" suara bu guru agak meninggi. Tetapi yang diperingatkan hanya menoleh sebentar kepada bu guru untuk kemudian asik kembali dengan mainan barunya. Bahkan kini teman di samping kiri kanannya pun sudah mulai tertarik dengan mainannya itu.  Bu guru pun mendekati Fani dan berkata,"Sudah sekolah, tidak boleh main terus. Sekarang kita mau belajar, mainannya dibawa Bu guru ya," Si kecil Fani merengut ketika Ibu guru memaksa mengambil kartu-kartunya. Sebagai tanda protes, ia pun menendang-nendangkan kakinya kepada teman sebelah. Melihat itu bu guru menimpali, "Kita tidak bisa mulai belajar kalau kaki Fani belum rapat dan rapi di bawah meja. Tangannya di atas meja, sayang," kata Bu Guru lagi.  Akhirnya, terlewat hampir lima belas menit hanya untuk menunggu Fani agar bisa duduk rapi untuki mengucap doa. Peristiwa seperti ini, banyak terjadi di berbagai kelas play group yang kini hampir sama banyaknya dengan taman kanak-kanak di mana-mana.. Meningkatnya minat masyarakat untuk memasukkan putra-putri nya ke sekolah sedini mungkin, ditanggapai dengan antusias para pengelola pendidikan untuk membuka kelas-kelas bermain ini, namun sayangnya kurang diimbangi dengan pengetahuan yang benar tentang dunia pendidikan pra TK tersebut.  Akibatnya, banyak guru play group yang menyamaratakan jenjang ini dengan jenjang TK A, dengan hanya mengurangi sedikit beban kurikulumnya. Guru meminta anak untuk bisa duduk rapi seharian di dalam kelas, diberi pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, yang belum seharusnya diterima oleh anak-anak usia pra-TK bahkan usia TK sekalipun yang dunia utamanya adalah bermain.  Kemajuan Besar  Anak-anak usia balita (bawah lima tahun) biasanya selalu mengejutkan para orang tua dengan perkembangan alamiah mereka yang menakjubkan, yang bisa berlangsung dalam waktu singkat dan tak terduga. Perbedaan usia yang hanya satu atau dua bulan saja bisa memberikan perbedaan kemampuan yang cukup besar.  Dalam sebulan saja, anak yang semula cengeng bisa berubah menjadi mandiri. Dari yang masih cedal bisa berubah menjadi fasih bicara. Dari yang pemalu bisa berubah menjadi pemberani.  Itu sebabnya, kemampuan anak-anak usia ini belum bisa disamakan kemampuan siswa TK A, karena nyatanya usia mereka berbeda setidaknya dengan rentang waktu satu tahun, atau sama dengan dua belas bulan. Sebuah perbedaan yang amat besar dilihat dari proses perkembangan seorang anak usia balita. 

Motorik Kasar Dominan  Masih sangat wajar, jika anak-anak pra TK ini lebih suka bermain ayunan dari pada bermain di kelas. Bagi mereka, benda-benda yang bisa berputar-putar dan mengayun-ayunkan tubuh mereka itu sangat menggairahkan. Akan lebih baik jika 40-50 % waktu bermain mereka dalam sehari di play group dihabiskan di halaman bermain ini. Guru yang kreatif, akan memadukan materi pembelajaran dengan kegiatan motorik kasar ini.  Mengenal konsep hitung, mengenal warna hingga pengenalan doa, semua bisa dilakukan sambil berayun-ayun, berlarian, atau sambil duduk santai di halaman rumput yang luas, bukan?  Dominannya motorik kasar ini pun membuat ruang gerak anak menjadi luas. Mereka butuh berlarian ke sana kemari, butuh ruang lebar untuk menyebar mainannya di karpet, bahkan juga untuk bermain petak umpet bersama guru-gurunya.  Sayangnya, lebih banyak play group yang ternyata hanya memiliki ruang 'kelas bermain' tak lebih dari 3x3 meter per segi, itupun untuk 10 orang siswa. Halamannya pun seadanya, sehingga anak harus berdesakan untuk bermain. Kalau mereka ingin berlarian, kerap harus bertabrakan dengan teman.

Akibatnya, guru terpaksa melarang anak untuk berlarian, padahal itu berarti menghambat perkembangan motorik anak itu sendiri. 

Jarak Pandang Dekat  Tidak seperti anak TK yang telah mampu melihat dalam rentang jarak lebih dari 3 meter, maka anak-anak mungil tiga tahun-an ini baru memiliki kemampuan pandang dalam jarak yang relatif dekat, tak lebih dari 2 hingga 3 meter.  Mengingat minimnya kemampuan ini, maka posisi hadap guru dan siswa harus diatur tidak terlalu jauh, dan tidak menyebar. Posisi berhadapan dengan siswa duduk setengah lingkaran di atas karpet adalah posisi yang sangat efektif untuk kegiatan yang hanya membutuhkan komunikasi verbal.  Untuk kegiatan yang memerlukan ruang gerak agak luas untuk mengerjakan sesuatu atau memerlukan meja, barulah anak-anak bisa dikelompokkan satu meja untuk empat hingga lima anak. Posisi duduk kursi yang menyebar akan menyulitkan anak untuk berkonsentrasi ke satu arah, sehingga guru harus aktif berkeliling agar semua siswa dapat melihatnya. Hal ini menyebabkan posisi ini tak efektif untuk komunikasi verbal. 

Obyek Pandang Besar  Sebuah apel yang digambar ibu guru di papan tulis dengan ukuran diameter 7 cm tak akan menjadi sesuatu yang menarik bagi anak 3 tahun yang harus melihatnya dari kursinya yang berjarak 4 meter dari papan tulis. Lain halnya jika ibu guru membawakan selembar kertas folio dengan gambar apel merah segar berdiameter 10 cm dan ditunjukkan kepada anak-anak dalam jarak dua meter, apalagi jika si apel memiliki mata dan mulut yang sedang tertawa, anak akan berebut melihatnya. 

Komunikasi Dua Arah  Memandang lurus dan langsung ke mata anak, adalah kunci sukses komunikasi guru dan siswa. Jika tidak ditatap demikian, dapat dipastikan pandangan anak akan segera teralih ke sekitarnya hanya dalam hitungan detik.  Celotehan anak kerap terluncur dari bibir mungil mereka, tanpa ada sangkut pautnya sama sekali dengan apa yang sedang dibicarakan guru. Tentu saja, guru harus bijaksana menghentikan sebentar pembicaraannya untuk mendengarkan celotehan-celotehan mereka dengan penuh perhatian.  Ingat, bahwa untuk usia tiga tahun-an, tak banyak anak yang mampu dan berani menceritakan perasaannya dengan celotehan seperti itu. Itu sebabnya celotehan-celotehan mereka tak boleh dihentikan. Justeru guru harus menanggapi dan mengembangkan celotehan itu dengan beberapa kalimat tanggapan balik. Setelah si anak puas, barulah guru kembali ke topik pembicaraan semula. Cara ini berbeda dengan cara menghadapi anak yang duduk di TK A, dimana mereka yang suka memberi celotehan yang tak sesuai dengan topik pembelajaran harus sudah diarahkan untuk hanya memberikan komentar dan pendapat seputar topik saja. 

Merekam, bukan Mengungkapkan  Semua anak tiga tahun-an, memiliki kemampuan tinggi untuk merekam segala sesuatu yang ia dengar dan ia lihat setiap hari. Seorang siswa play group yang dua hari sekali membaca doa sebelum makan bersama-sama, umumnya sudah akan mampu mengucapkannya sendiri di akhir tahun ajaran tanpa harus dibantu. Walaupun anak melakukannya setiap hari tanpa perhatian penuh sekalipun. Berdoa sambil menolehkan kepala kanan dan kiri, sambil berlari-lari, sambil tidur-tiduran, atau sambil melamun sekalipun, sesungguhnya memori anak tetap bekerja.  Glenn Doman, seorang ahli pendidikan anak, dalam bukunya Metodenya Mengajar Balita Membaca, menyarankan pendidik untuk menunjukkan kartu tulisan kepada anak tak lebih dari satu detik saja. Sebab sesungguhnya memori anak bekerja ekstra hebat, di luar perkiraan orang dewasa, dan sedetik saja ia memandang atau mendengar sesuatu, itu sudah sangat cukup untuk memasukkannya ke dalam memori otak. Justru rentang waktu lebih dari sedetik saat menatap, mendengar atau menirukan, bisa membuat anak menjadi bosan dan kehilangan konsentrasinya.  Sebaliknya, pada usia 3 tahunan ini, belum tumbuh keinginan anak untuk menyampaikan pendapatnya, atau menunjukkan kebolehannya. Itu sebabnya banyak dari mereka akan malas menjawab pertanyaan ibu guru. Sebagian besar yang lain tidak menjawab karena belum meiliki keberanian untuk itu.  Pendidik tidak boleh terlalu cepat ingin mengetahui hasil dari pendidikan yang ia berikan, sehingga memberi pertanyaan kepada siswa untuk mengetahui apakah mereka mendengarkan 'pelajaran' ibu guru hari itu. Dan ketika anak-anak tidak menjawab, bu guru memberi respon positif, seakan-akan anak-anak tersebut tak mengetahui jawabannya. Padahal kenyataannya bukannya anak tak mengerti, hanya saja mereka sedang tidak ingin menjawabnya.Sayangnya, ketika ibu guru merespon negatif, anak yang tak menjawab akan merasa dirinya gagal, sehingga dikhawatirkan merendahkan konsep dirinya. Itu sebabnya, di dunia bermain anak tiga tahunan ini pendidik sebaiknya tak banyak bertanya, tetapi banyak bercerita. Di jenjang usia TK A, barulah anak bisa dimotivasi untuk belajar menjawab lebih banyak.  Mudah-mudahan tulisan ini memberi masukan segar bagi semua ibu dan guru-guru.· (Ira)   ole0.bmp     


Attachment: ole0.bmp
Description: ole0.bmp

Kirim email ke