Terus terang, kuring mah ka Bah Oto teh, teu pati apal. Estu ngan ukur
inget-inget poho waktu keur sakola dasar di lembur. Kitu oge ukur
sakolebat, kasabit-sabit dina pangajaran di sakola, duka teuing
pangajaran naon, poho deui. Teuing salah saha, pangna kuring nepi ka
kitu, teu pati wanoh jeung tokoh Sunda, anu geuning sakitu
pikareueuseunana. Padahal kuring teh teureuh Sunda pituin. Tapi kuring
teu ngarasa salah deuih, kitu deui kuring yakin, lain salah kolot
kuring, da barina ge, najan kuring resep maca ti leuleutik, asa arang
langka nu ngabahas perkara Bah Oto teh. Nu salah mah ceuk kuring, nu
baroga kaweruh jeung pangaruh kana perkara eta, teu pati daek
nyayagikeun bacaaeun keur jalma dusun pantar kuring.

Rada wanoh ka Bah Oto teh, estu anyar-anyar ieu, pedah kagiridig ku
tulisan di milis, jeung maca beja tina koran, nu ngabahas raratan Si
Abah. Geuning kitu dongengna jeung nasibna Si Abah teh. Tamba tambelar
jeung joledar teuing, nya ngotektak di Internet, nu pakait jeung Bah
Oto, kabeneran meunang sababaraha beja, nu jigana rada ngabengraskeun
keur mikawanoh Bah Oto. Sugan aya nu rek miluan, mikawanoh Bah Oto,
hayu geura urang toong babarengan. (mh)

========
Mengenang Bapak Sunda Oto Iskandar di Nata
Misteri yang tak Kunjung Terkuak

DUA puluh Desember adalah waktu yang disepakati sebagai hari wafat
Pahlawan Nasional Oto Iskandar di Nata (Otista). Namun, bagi orang
Sunda, peristiwa itu tetap menyisakan tanya.

Misteri itu berawal pada 10 Desember 1945, ketika mantan Menteri
Negara itu diculik Lasykar Hitam atas tuduhan sebagai mata-mata NICA.
Sepuluh hari berselang, Otista dibunuh di Pantai Mauk Tangerang.
Kasusnya mulai diselidiki pada 1951. Enam tahun kemudian, kasus itu
disidangkan dan berakhir pada 1959. Moch. Mujitaba bin Murkam, salah
seorang yang terlibat penculikan dan pembunuhan, kemudian dijatuhi
hukuman 15 tahun penjara.

Mengusut kasus Otista memang sulit dan sangat kompleks. Selain
keterbatasan kemampuan aparat saat itu, penyelidikan yang baru dimulai
lima tahun setelah kejadian, tentu saja mengganggu bahkan
menghilangkan bekas dan bukti kasus.

Adalah Moch. Enduh, polisi yang sudah melakukan penyelidikan sejak
1951. Berkat kegigihan Komisaris Polisi II itu lah, Mujitaba berhasil
ditangkap pada 1956. Pengadilan kasus Otista pun berlangsung alot.
Setelah 12 orang saksi berhasil dihadirkan di muka sidang, Mujitaba
terus membantah telah membunuh Otista. Namun, ia tak bisa menolak
keterlibatannya dalam peristiwa itu.

Pengadilan dipimpin Hakim Raffli Rasad dan jaksa R. Sutisna, Sirin St.
Pangeran, dan Priyatna Abdulrasyid, yang bertugas secara bergantian.
Sementara itu, pembelanya ialah Harjono Tjokrosubeno. Kepada Jaksa
Priyatna, Mujitaba sempat "bernyanyi" soal keterlibatan sejumlah orang
yang saat itu telah menjadi tokoh nasional. Sayang, upaya Priyatna
untuk melakukan pengusutan lebih lanjut ditolak pengadilan.

**

Upaya mencari kaitan kematian Otista dengan Lasykar Hitam ternyata
tidak membuahkan hasil memuaskan. Lasykar Hitam hanyalah pelaku
lapangan. Organ itu bergerak di bawah Direktorium pimpinan K.H. Achmad
Chairun, yang saat itu (1945-1946), mengambil alih pemerintahan
Tangerang. Kepentingan rezim Chairun ini juga lemah sebab mereka
memisahkan diri dari RI. Untuk apa mereka menculik "pengkhianat" RI
kalau mereka sendiri tidak mengakui RI.

Rezim Chairun lebih tepat dikatakan telah "diorder" untuk menculik
Otista. Lalu ditugaskanlah Lasykar Hitam yang menjadi inti dari
Pasukan Berani Mati pimpinan Syekh Abdullah. Belum ditemukan informasi
yang kuat, siapa mastermind yang "mengorder" penculikan dan pembunuhan
itu.

Asumsi pada skenario ini adalah sedikitnya pengetahuan para pelaku
terhadap sosok Otista. Di pengadilan, hampir semua saksi mengaku tidak
mengenal Otista sebelumnya, kecuali Djumadi yang anggota BKR. Mereka
hanya dibekali informasi bahwa Otista adalah "Mata-mata musuh yang
menjual kota Bandung satu miliun!" Tidak jelas apakah dalam bentuk
gulden atau rupiah. Adanya tuduhan ini faktual karena diakui dalam
proses pengadilan. Lalu, dari mana angka satu miliun itu?

Ketika tentara Jepang panik karena pasukan Sekutu sudah tiba di
Indonesia, sebagian dari mereka kebingungan dengan sejumlah dana yang
terkumpul pada masa pendudukan. Di antara dana itu ada yang diserahkan
kepada sejumlah tokoh sebagai bekal perjuangan. Menurut sumber yang
masih harus diverifikasi, Otista adalah salah seorang yang menerima
dana titipan itu. Seorang Jepang yang kemudian membantu perjuangan
gerilya RI, mengakui pernah menyerahkan sejumlah uang kepada Otista.
Demikianlah kira-kira sebab musabab adanya tuduhan Otista punya uang 1
juta itu.

**

Dengan hilangnya Otista, Bandung dan Jawa Barat kehilangan salah
seorang pemimpinnya yang paling penting. Kepemimpinan di Bandung pun
jadi cerai-berai. Jawa Barat dipimpin orang non-Sunda, sementara tokoh
Sunda malah jadi pemimpin di daerah lain. Kekuatan kaum nasionalis di
Bandung seolah kehilangan arah dan tumpuan. Mereka terjebak dalam
situasi saling curiga. Oleh karena itulah Sekutu "lebih mudah"
menaklukkan Bandung.

Apakah Lasykar Hitam dan Direktorium rezim Achmad Chairun diuntungkan
dengan perbuatannya? Tidak. Yang mereka lakukan terbukti sia-sia
belaka dan tidak menambah apa pun untuk perjuangan Republik selain
penyesalan. Mereka malah mengotori perjuangan Republik karena
memisahkan diri. Dalam konteks perjuangan yang lebih luas mereka juga
bagian dari korban. Korban provokasi tokoh yang berkhianat atau korban
intelijen musuh.

Apakah --kalau benar ada-- kawan Otista yang berkhianat itu yang
beruntung? Tidak juga. Sejarah kemudian mencatat bahwa Otista tidak
bersalah dan namanya sudah dipulihkan dengan pengangkatannya sebagai
Pahlawan Nasional. Sebaliknya sang kawan itu mungkin sampai akhir
hayatnya memendam rasa takut dan sesal. Perbuatannya terbukti hanya
merusak kesatuan perjuangan Republik.

Lalu siapa yang rugi? Yang rugi adalah para pemimpin republik karena
hubungan mereka dengan rakyat diputus oleh pagar betis pemuda dan amuk
massa di setiap sudut kota. Kendali mereka menjadi sangat lemah.
Begitu pula yang paling rugi dari hilangnya Otista adalah perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Republik.

Hal itu diakui secara jujur oleh Presiden Sukarno (kantor berita
Antara, 29/09/1950) bahwa Otista memang salah seorang putra Indonesia
yang banyak sekali jasanya kepada tanah air dan bangsa. "Kalau
umpamanya Tuan Oto sekarang ini masih hidup, sudah tentu beliau akan
memberi lagi jasa-jasanya yang besar kepada negara kita ini dan banyak
kesulitan yang kita hadapi sekarang ini lebih mudah diatasi."

Kerugian juga dirasakan oleh warga Jawa Barat, masyarakat yang sejak
awal 1930-an sudah dipersiapkan Otista untuk menyongsong kemerdekaan.
Melalui Paguyuban Pasundan yang dipimpinnya sejak 1931, Otista
terus-menerus menggelorakan semangat kemerdekaan melalui persatuan,
kedisiplinan, dan kesungguhan bekerja. Kerugian orang Sunda atas
hilangnya Otista itu tidak hanya dari aspek politik, tetapi juga dari
aspek sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya.

Dari aspek sosial-pendidikan-ekonomi adalah kesulitan dalam
menghidupkan kembali Paguyuban Pasundan. Sebagaimana diketahui,
Paguyuban Pasundan ketika dibubarkan pada 1942 sedang dalam puncak
keemasannya. Organisasi massa ini bergerak di banyak bidang sosial,
pendidikan, dan ekonomi. Ada rumah sakit dan sekolah. Ada koperasi dan
perbankan. Ada penerbitan dan percetakan. Ada organisasi perempuan dan
pemuda dan banyak hal lain lagi. Dalam aspek kebudayaan, kerugian
orang Sunda adalah hilangnya keseimbangan kepemimpinan.

**

Apakah kita sudah cukup menghormati jasa Otista? Tokoh Sunda ini sudah
jadi Pahlawan Nasional. Ia juga sudah jadi nama jalan-jalan protokol
di berbagai kota besar dan kecil. Dari sisi formal mungkin sudah
memadai. Akan tetapi dari sisi kepentingan yang lebih luas, untuk
tumbuh kembangnya budaya Sunda ke depan, rasanya kita masih perlu
untuk lebih memberi lagi penghormatan. Umpamanya, membuatkan sebuah
museum yang didekasikan untuk mengenang jasa dan perjuangannya (Lihat
Museum Oto Iskandar di Nata: Sebuah Mimpi).

Oto Iskandar di Nata hidup hampir tanpa cela dan mati sebagai syahid.
Mengenang Otista adalah seperti mengisi kembali bahan bakar yang
hampir habis. Totalitasnya pada perjuangan benar-benar berakhir pada
titik darahnya yang penghabisan. Sebagaimana pernah diamanatkan
Otista, "Perbuatan yang harus dan mesti kita kerjakan sudah tentu
adalah berjuang untuk menang". Itulah panduan generasi Sunda sekarang,
berjuang dan menang.

Kongres Pemuda Sunda (5-7 November 1956), memproklamasikan Oto
Iskandar di Nata sebagai Bapak Sunda. "Yen Dewi Sartika jeung Oto
Iskandar di Nata kudu dipieling ku urang Sunda saban taun minangka Ibu
jeung Bapa Sunda" (Bahwa Dewi Sartika dan Oto Iskandar di Nata harus
diperingati oleh orang Sunda setiap tahun sebagai Bapak dan Ibu
Sunda). Proklamasi itu benar adanya. Memang, sudah selayaknya kalau
Otista dijadikan sebagai Bapak Sunda. (Iip D. Yahya, dari berbagai
sumber) ***

URL: http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=5600

Kirim email ke