Hari Pencerahan Orang Sunda

Oleh Iip D. Yahya

Hari ini, 111 tahun lalu, tepatnya 31 Maret 1987, seorang putra
terbaik Sunda lahir di Bojongsoang, Bandung. Kelahirannya telah
memberi warna dan membawa pencerahan dalam perjalanan sejarah
masyarakat Sunda. Dialah tokoh yang sudah membuktikan bahwa masyarakat
Sunda itu bisa bersatu. Bangkit, bersama-sama mengupayakan
kesejahteraan hidup, tanpa tergantung kepada "kesadaran" pemerintah.
Dialah Oto Iskandar di Nata (Otista).

Kalau sekarang ada kesan bahwa orang Sunda lebih suka aing-aingan, itu
pertanda adanya keterputusan (diskontinuitas) antara era Otista dan
era sesudahnya. Pada masa Otista, sebagaimana lazimnya kehidupan,
orang Sunda juga berbeda-beda dalam banyak hal. Namun, Otista mampu
menyinergikan berbagai perbedaan itu melalui Paguyuban Pasundan (PP)
dalam kurun 1929-1942, saat itu orang Sunda otonom dalam pilihan
kehidupan politik-sosial-budaya masing-masing, tetapi kalau berbicara
kepentingan Sunda, PP-lah tempatnya.

Otista dan PP sudah menemukan titik pijak yang mempertemukan antara
masa lalu Sunda dan tantangan kehidupan modern. Untuk kehidupan ke
masa depan, prestasi Otista itu memadai dan lebih realistis dijadikan
sebagai rujukan dan preseden. Otista dan generasinya sudah menciptakan
sistem yang bisa dijadikan pedoman berbagai aspek kehidupan orang
Sunda, meliputi aspek budaya, pendidikan, politik, ekonomi,
pemberdayaan perempuan, dan penghargaan pada pemuda. Banyaknya tokoh
PP yang kemudian tampil sebagai tokoh nasional, menunjukkan bahwa
Otista telah melakukan kaderisasi yang baik dan berhasil.

Otista adalah sosok yang benar-benar pernah ada, hidup dalam
masyarakat Sunda, mengangkat harkat dan derajat orang Sunda.
Tulisannya masih bisa dijumpai dan transkripsi pidato-pidatonya
tersebar dalam berbagai media cetak, terutama dalam arsip koran
Sipatahoenan. Bukan hanya pidatonya di dalam sidang-sidang volksraad,
tetapi juga pidatonya dalam berbagai kesempatan. Fakta mengenai Otista
jauh lebih banyak yang belum ditulis daripada yang sudah ditulis
sampai saat ini. Ringkasnya, pemikiran dan pestasi kerja Otista masih
banyak yang bisa kita ungkap dan telaah. Dari penelaahan itulah kita
berharap bisa merujuknya sebagai bekal kita dalam ikut membangun Sunda
dan Indonesia ke depan.

Bagi kita sekarang, generasi yang sedang dan akan terus menghadapi
tantangan hidup dunia global, pemahaman atas sejarah hidup Otista akan
banyak membantu. Selama memimpin PP, Otista sudah berhasil membangun
solidaritas orang Sunda, membangkitkan kebanggaan orang Sunda dalam
bingkai nasionalisme Indonesia, dan mendorong masyarakat Sunda untuk
saling bahu membahu mewujudkan cita-citanya. Otista mungkin bukan
pemikir besar yang menghasilkan buku besar dan ideologi besar. Ia
seorang organisator yang menghasilkan prestasi kerja nyata. Prestasi
Otista terukur dengan jelas, berapa cabang PP yang terbentuk, sekolah
Pasundan yang berhasil dibangun secara swadaya, koperasi yang tumbuh,
bank, rumah sakit, biro bantuan hukum, organisasi perempuan dan
pemuda, dan lain-lain. Kesemua kerja profesional itu diniatkan Otista
untuk mengentaskan kesengsaraan masyarakat Sunda.

Untuk sementara ini, dalam skala tertentu, Otistalah tokoh yang sudah
menemukan kembali titik kemajuan orang Sunda dan telah mengantarkan
masyarakat Sunda menjadi masyarakat mutamaddin (civil society). Bukan
dalam konteks gemah ripah loh jinawi, bru di juru bro di panto
ngalayah di tengah imah, penuh kekayaan bendawi seperti dalam dongeng.
Melainkan lebih dalam lagi, keberhasilan membangun kebersamaan,
menyatukan energi masyarakat Sunda untuk berbuat di luar kuasa
pemerintah. PP saat itu menjadi semacam common platform bagi orang
Sunda, tempat berjuang bersama yang dapat membangun sinergi.

Otista menjadi tokoh berpengaruh di luar kekuasaan administrasif
pemerintahan Hindia Belanda dan pada masa pendudukan Jepang. Sejarah
kemudian mencatat, sekali pun dalam suasana terjajah, Otista dan PP
mampu berbuat banyak untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks
kekinian, PP saat itu seperti LSM besar yang mampu menjadi partner
kritis bagi pemerintah. PP bukan organisasi yang hanya tuturut munding
kepada arah politik pemerintah, melainkan independen, solid, dan penuh
integritas. Kalau pemerintah benar, ia diikuti. Kalau pemerintah
menyimpang, ia dikritik tajam melalui volksraad atau Sipatahoenan.
Jika perlu, kongres PP bisa mengeluarkan mosi menolak suatu kebijakan
pemerintah.

Jasa Otista jelas terlihat pada pembangunan integritas orang Sunda.
Tampak pada tampilnya kebanggaan sebagai orang Sunda secara
proporsional, bukan emosional belaka. Seperti pernah ditulis Bung
Tomo, 19 Februari 1959, "Kini, bila angin menghembuskan hawa sejuk
dari dataran tinggi Parahiangan, menyusup ke segenap penjuru tanah air
kita, Indonesia yang tercinta, akan tetap terdengarlah bisikan jiwa
Pak Oto, memperingatkan kita sekalian akan tugas kita yang belum akan
selesai, selama keadilan dan kemakmuran belum merata di tengah-tengah
rakyat semesta. Karena untuk keadilan dan kemakmuran itulah juga Si
Jalak Harupat telah berjuang."

Secara konvensional, Otista diakui sebagai salah seorang pahlawan
terbesar Sunda. Secara formal, Otista ditetapkan sebagai pahlawan
nasional melalui SK Presiden RI No. 088/TK/1073 tanggal 6 November
1973. Keputusan itu sebagai respons atas resolusi dari Pemerintah
Provinsi dan DPRD Jawa Barat No. 1/Res/DPRD/71, yang mendesak agar
Otista diakui dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Sebelumnya, ia
sudah memperoleh tanda kehormatan dari pemerintah berupa Bintang
Mahaputra Kelas II (17 Agustus 1960) dan gelar Perintis Kemerdekaan
(Keppem. RI No. 288/61 tanggal 20 Mei 1961). Hingga saat ini, tidak
ada pihak yang secara resmi menggugat kepahlawanan Otista itu.
Artinya, kepahlawanannya sudah diterima oleh semua pihak. Tidak ada
yang syak bahwa Otista adalah pahlawan nasional, dan sepanjang
hidupnya tak tercela dalam pandangan negara Republik Indonesia.

Proses kematian Otista memang sangat menyakitkan dan masih menjadi
"rahasia" sejarah. Mungkin suatu saat kita bisa menemukan siapa
sebenarnya mastermind dari pembunuhan itu. Mungkin saja. Akan tetapi
saat ini, jauh lebih maslahat jika kita mampu lebih banyak lagi
menggali jasa-jasa Otista. Jangan sampai proses kematian Otista itu
justru mematikan semangat kita untuk meneruskan perjuangannya. Maka,
tidak berlebihan kalau hari ini diperingati sebagai Hari Pencerahan
Orang Sunda. Bukan untuk mengultuskan, melainkan sebagai sebentuk
penghargaan atas kiprahnya dalam upaya mencerahkan kehidupan
masyarakat Sunda. Hurip Sunda!

Penulis, penulis buku "Oto Iskandar di Nata: the Untold Stories" (FDWB, 2008).

Citation: http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=17016

Kirim email ke