Bah W n' sadayana,
Mun maca article ieu ngeunaan lagu Kembang Gadung ceuk Mang Jakob Sumardjo
dina PR, aya kamungkinan kahareupna Kasenian Terebang = Fly = Ngapung =
Trance = Teller bisa diharamkeun euy hehehe... komo ku nu fanatik mah :D...
da ceunah aya mantra jeung sifat-na mistis sagala teu "Islami" hehehe. 

Sigana kusabab eta kasenian ieu oge kurang maju Bah... kusabab kiai kiwari
meureun kurang satuju :D.

Trus kumaha atuh mun kieu? Tah sigana ku asupna Islam ka tatar Sunda...
mantra-na di ganti ku mantra Islami meureun hehehe. Tapi Wetan Tengah oge
aya aliran anu bisa Trance "Teler" = Ngapung = Terebang...  make Djikir
:D... poho deui aliran nana naon. Tarekat naon kitu... 

Mangga nyanggakeun... ciik manawi ceuk pamikiran para Kiai di Baraya Sunda
ieu kumaha kira-2na?

Untuk mengenal nama-nama bunga dan maknanya dalam lagu-lagu tadi dibutuhkan
pengetahuan botani lokal. Mengapa ada lagu Kembang Gadung, misalnya?
Warnanya apa, bentuknya bagaimana, baunya bagaimana, kegunaan sehari-harinya
buat apa? Jawaban-jawaban itu semua dapat menuntun mengapa lagu Kembang
Gadung dinyanyikan di saat-saat tertentu dalam rangkaian tarian dan lagu.
Atau justru maknanya pada gadung itu sendiri yang bisa bikin mabuk keracunan
bagi manusia? Setara dengan trance? Lagu dan musikalitas adalah sabda,
ucapan. Fungsinya adalah mantra. Yantra, mantra, mudra (sikap tangan dalam
tari), adalah medium-medium Tantra. Nada-nada musik adalah kata-kata atau
sikap tubuh dalam tarian (mudra) yang membentuk satu lagu atau satu tarian
sebagai yantra meditasi atau mistisme. Ilmu tentang ini amat banyak dalam
berbagai ajaran sekte tantris. Lalu sintren ini sebenarnya bersumber dari
ajaran tantris yang mana? Apakah sintren ada hubungannya dengan kata tantra
itu sendiri? Bukankah pertunjukan sintren diharapkan membawa berkah bagi
penanggap dan penontonnya? Berkah apa yang diharapkan dengan nama-nama bunga
yang disebut dalam sintren? 

Bunga Dalam Seni Kebudayaan 
Oleh Jakob Sumardjo 
 
DALAM kebudayaan lama Indonesia banyak ditemui nama-nama bunga dalam
nyanyian, dalam gambar, dalam nama-nama tokoh mitos. Pada lagu-lagu sintren
terdapat nama-nama Kembang Gewor, Kembang Laos, Kembang Andul-andul. Pada
cerita pantun ada judul Pakujajar Beukah Kembang, nama Mundinglaya
Dikusumah, Aci Malati, Agan Raksa Kembang. Pada relief, patung, gambar
perangkat gamelan, terdapat bunga-bunga dan sulurnya. 
 
Dalam kebudayaan modern Indonesia, gejala ini masih berlanjut. Banyak
lagu-lagu yang mengambil judul nama bunga, seperti Melati di Jayagiri, Kisah
Mawar di Malam Hari, Kemuning, Di Bawah Pohon Kemboja. Dan kalau kita amati,
bunga hampir selalu dihubungkan dengan perempuan, kesusastraan, musik, tari,
teater. 
 
Masalahnya, apakah gejala hubungan-hubungan ini hanya kebetulan saja, atau
mempunyai dasar gagasan atau konsep yang lebih mendalam? Apakah gejala
semacam ini merata di seluruh Indonesia atau hanya di lingkungan budaya
tertentu? Atau adakah bangsa-bangsa lain yang mempunyai tradisi yang sama
dengan Indonesia? 
 
Perempuan & bunga 
Dalam pantun Budak Manjor diceritakan Sunan Ambu Ratu Agung Pamuhunan
menciptakan sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan dari sebatang
kembang jaksi. Tangkainya dijadikan anak laki-laki buruk rupa yang dinamakan
Budak Manjor, sedang bunga jaksi dijadikan anak perempuan buruk rupa juga
yang dinamakan Si Genjru. Sepasang anak kembar ini menjadi penolong utama
kerajaan Kuta Maralang ketika menghadapi masalah-masalah kenegaraan yang
gawat. 
 
Dari cerita ini jelas bahwa bunga simbol perempuan. Sedangkan tangkai simbol
laki-laki. Bunga sebagai simbol perempuan tampak jelas dalam budaya
Indonesia modern, seperti Kisah Mawar Di Malam Hari, adalah simbol wanita
tuna susila (eufimisme pelacur). Asal usul simbol bunga sebagai perempuan
terdapat dalam kepustakaan Hindu-Budha-Indonesia. 
 
Sumber ajaran ini adalah aliran Tantra atau Tantrisme yang berlaku di
kalangan penganut agama Budha Mahayana maupun dalam agama Siwaisme. Salah
satu sekte agama Budha, Budhisme adalah Wajrayana (Bajrayana) terdapat paham
Bajradatu. Mandala adalah Yantra atau medium inderawi untuk mencapai tingkat
mistisme, penyatuan yang duniawi-jasmani dengan yang surgawi-rohani. Dalam
penyatuan ini, daya-daya supernatural hadir dalam dunia manusia. Dalam
yantra terbentuk gambar berupa lingkaran dalam bujur sangkar atau bujur
sangkar dari lingkaran. Lingkaran simbol keabadian tanpa batas atau
kesempurnaan, sedang bujur sangkar dunia manusia terbatas atau sementara. 
 
Medium kehadiran daya-daya adikodrati yang sempurna ini dapat diwujudkan
(visualized) dalam bentuk-bentuk seni musik, seni rupa, seni lakon, dan seni
tari. Dengan demikian, jenis-jenis seni kita kenal secara modern ini, di
Indonesia lama sebenarnya merupakan semacam ibadah Hindu-Budha untuk
mencapai kesatuan dengan rohani absolut di dunia manusia, yaitu hadirnya
daya-daya gaib atau transenden bagi kepentingan kesejahteraan umat manusia. 
 
Teater atau lakon, tari, sastra, musik dan seni rupa, di zaman Hindu-Budha
tak terpisahkan satu dengan yang lain. Semuanya itu menyatu sebagai yantra
atau medium meditasi untuk mencapai kesatuan dengan absolut. Medium, yantra,
the way, ini dibagi dalam tiga kategori, yakni luar (tangible), dalam
(visualized atau tangible-intangible) dan rahasia atau gaib (intangible). 
 
Dalam bentuk tangible atau luar atau tampak, bentuk mandalanya diwakili
empat dewi di arah empat mata angin semesta yang masing-masing menguasai
atau berupa bunga, lampu atau api, kemenyan atau dupa, dan bau-bauan.
Keempatnya disatukan dalam visualisasi simbolik berupa musik dan lagunya.
Dengan demikian jelaslah, mengapa para sinden atau pelantun syair dalam
lagu-lagu sintren atau ritual mana saja, selalu harus perempuan. 
 
Pertunjukan musik dan syair dalam ritual lama adalah simbol pusat mandala
perempuan empat dewi, yakni puspa (bunga), loka (lampu, api), dupa
(kemenyan), dan gandha (bau-bauan). Tidak mengherankan apabila banyak nama
lagu ritual mengambil judul nama-nama bunga, nama-nama bau-bauan, nama-nama
damar (lampu), dan nama-nama dupa. Semuanya itu bersifat perempuan. 
 
Alamat perempuan itu sangat penting dalam aliran Tantrisme. Perempuan adalah
sakti, potensi diam-statis, potensi yang belum menjadi energi, eksistensi,
aktualisasi. Sakti-perempuan ini baru berwujud dalam eksistensi kalau
dikawinkan dengan asas laki-laki, disimbolkan dalam bentuk lingga, tangkai
bunga, Siwa. Peristiwa tantrik, dengan demikian adalah, peristiwa perkawinan
kosmik sekaligus perkawinan potensi dan wujud. Yang impoten menjadi
omnipoten, yang duniawi menjadi surgawi, yang kekeringan menjadi hujan, yang
sakit menjadi sembuh, yang mati menjadi hidup. 
 
Hubungan bunga dan perempuan di Indonesia, bukan kebetulan, tetapi bersumber
dari alam pikiran tua. 
 
Tantrisme-primordial 
Sebelum masuknya kepercayaan Hindu-Budha Tantra di Indonesia, terutama di
Jawa, Bali, dan Sumatra, bangsa kita ini telah memiliki dasar pemikiran yang
serupa, yakni kepercayaan primordial tentang Yang Tunggal dan Yang Banyak.
Yang Plural ini hakikatnya tunggal. Keberadaan yang aneka rupa ini pada
dasarnya hanya terdiri dari dua prinsip yang saling berlawanan namun saling
mengadakan, yakni prinsip laki-laki dan prinsip perempuan. Adanya yang satu
karena adanya yang lain. Kita mengenal makna "ini" karena ada "itu". Tidak
ada perempuan tidak ada laki-laki. Tidak ada laki-laki tidak ada manusia. 
 
Prinsip perempuan dalam bunga digenapi oleh prinsip laki-laki dalam tangkai.
Prinsip perempuan pada malam dan bulan digenapi oleh prinsip laki-laki dalam
siang dan matahari. Dan seterusnya sampai detail semesta ini dapat disebut.
Kosong dan isi. Potensi dan aktualisasi. 
 
Dalam seni dan bunga tadi, gamelan pengiring lagu hanya dapat ditabuh oleh
laki-laki, karena instrumen gamelan (gangsa) kebanyakan benda logam (keras,
laki-laki). Sedangkan nyanyian dan syair yang banyak menyebut nama bunga,
dupa, damar dan wewangian tadi selalu dilantunkan perempuan (sinden).
Kombinasi keduanya mewujudkan sebuah mandala yang mengawinkan asas perempuan
dan laki-laki menjadi satu peristiwa. Itulah saat-saat transenden. 
 
Gejala asas laki-laki dan perempuan kosmik tadi melahirkan apa yang dikenal
sebagai mikrokosmos adalah makrokosmos. Manusia itu semesta, dan semesta
adalah manusia. Ada manusia laki-laki dan ada kosmos laki-laki. Secara
jasmaniah unsur-unsur manusia adalah sama dengan unsur-unsur alam, yakni
tanah, air, api, dan angin. Tanah dan air mengandung potensi turun, sedang
api dan angin mengandung potensi naik. Gravitasi dan anti gravitasi. Manusia
dan alam mengandung potensi-potensi yang sama. 
 
Pandangan tua ini menyebabkan terjadinya peristiwa tarian atau nyanyian
minta hujan. Tarian dan nyanyian tersebut medium mengawinkan prinsip
laki-laki dan prinsip perempuan semesta. Tanah dan air yang perempuan, dan
angin serta api yang laki-laki. Itulah sebabnya simbol-simbol laki-laki dan
perempuan ada di mana-mana di artefak budaya masyarakat Indonesia lama. Dan
dengan sendirinya simbol-simbol perkawinan keduanya, bertemunya simbol
laki-laki dan simbol perempuan. 
 
Dipandang secara modern, bangsa Indonesia itu suka pronografis. Sebenarnya
justru sangat religius dan spiritual. 
 
Bunga dalam sintren 
Pertunjukan sintren di daerah Cirebon dan Pamalang adalah pertunjukan
perempuan. Nyanyiannya penuh dengan nama-nama bunga. Penarinya anak
perempuan yang belum akil balig. Hanya penabuh dan pawangnya laki-laki.
Penari yang perawan kencur belum mengalami menstruasi. Inilah perempuan
suci, belum kekotoran. Dia merupakan medium paradoks yang ideal, perempuan
yang belum perempuan. Atau sebaliknya perempuan tengah baya yang sudah
berhenti menstruasi, seperti di Rancakalong. 
 
Maksud sintren dapat disimak dari lagu-lagunya. Tarian sintren mengundang
empat puluh bidadari turun ke dunia ini. Lagu pertama berjudul Turun
Sintren. Sintrennya bidadari yang menemukan bunga di ayunan, yakni kembang
Siti Maindra, bidadari empat puluh. 
 
Kemudian dalam lagu Sih Salasih, disebutkan Salasih Sulandana (biji bunga)
dan kemenyan mengundang para dewa. Perhatikan sisa-sisa para dewi penguasa
dupa dan bunga atau biji atau makanan (naiwidya) yang dalam bahasa Jawa
menjadi wiji (biji) dan senada dengan widya (pengetahuan). Lalu lagu-lagu
Kembang Gewor, Kembang Laos, Kembang Suru Putih, dan lain-lain. Semuanya itu
mengingatkan kita pada ritual wajrayana di masa lampau. Tentu saja sudah
tidak lengkap seperti aslinya dahulu. 
 
Untuk mengenal nama-nama bunga dan maknanya dalam lagu-lagu tadi dibutuhkan
pengetahuan botani lokal. Mengapa ada lagu Kembang Gadung, misalnya?
Warnanya apa, bentuknya bagaimana, baunya bagaimana, kegunaan sehari-harinya
buat apa? Jawaban-jawaban itu semua dapat menuntun mengapa lagu Kembang
Gadung dinyanyikan di saat-saat tertentu dalam rangkaian tarian dan lagu. 
 
Atau justru maknanya pada gadung itu sendiri yang bisa bikin mabuk keracunan
bagi manusia? Setara dengan trance? 
 
Lagu dan musikalitas adalah sabda, ucapan. Fungsinya adalah mantra. Yantra,
mantra, mudra (sikap tangan dalam tari), adalah medium-medium Tantra.
Nada-nada musik adalah kata-kata atau sikap tubuh dalam tarian (mudra) yang
membentuk satu lagu atau satu tarian sebagai yantra meditasi atau mistisme.
Ilmu tentang ini amat banyak dalam berbagai ajaran sekte tantris. Lalu
sintren ini sebenarnya bersumber dari ajaran tantris yang mana? Apakah
sintren ada hubungannya dengan kata tantra itu sendiri? Bukankah pertunjukan
sintren diharapkan membawa berkah bagi penanggap dan penontonnya? Berkah apa
yang diharapkan dengan nama-nama bunga yang disebut dalam sintren? 
 
Dalam pertunjukan sintern selalu ada sesajen, kemenyan, gamelan, nyanyian,
tarian, dan mantra. Sesajen adalah benda-benda tampak (kategori luar atau
kasar) berupa air, bunga, makanan, kemenyan, wangi-wangian. Sesajen tampak
ini diabstraksikan dalam kata-kata dan lagu (mantra) dan diaktualisasikan
dalam diri penari. Penari adalah pusat mandala, gua garba hadirnya yang
absolut. Inilah sebabnya suara gamelan dan lagu syair tak berhenti-hentinya
mengiringi si penari. tidak ada kehadiran tanpa suara gamelan dan sinden. 
 
Gejala serupa ini tampak dalam berbagai pertunjukan gaib di Sunda. Dalam
debus misalnya, kekebalan hadir selama lagu-lagu dilantunkan.
Keajaiban-keajaiban pertunjukan selalu terjadi dalam mantra-mantra ini,
yakni musik dan syairnya. 
 
Penutup 
Masih amat banyak pekerjaan rumah untuk menguak makna bunga dalam
artefak-artefak budaya Indonesia. Bunga bukan faktor kebetulan dalam seni.
Bunga memiliki dasar filosofis 
dalam artefak budaya Indonesia. Bunga, perempuan, primodial, tantra, itulah
kuncinya.*** 
Penulis, budayawan Sunda. 
 
Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=33716


Kirim email ke