Kawasan Wisata (3)
Kelak, Wajah Lembang Seperti Apa?

PADA masa silam, Lembang menuai puja-puji karena keindahan alamnya.
Namun, pujian itu kini disertai hujatan seiring dengan merajalelanya
kerusakan alam karena tangan manusia. Pada masa mendatang, belum
diketahui secara persis bagaimana wajah Lembang. Bisa jadi, Lembang
kembali dipuji. Bisa jadi pula Lembang kian merana, bahkan tinggal
nama.

Pemerintah Kabupaten Bandung Barat berkeinginan, Lembang diarahkan
kepada agroindustri dan wisata ramah lingkungan. Menurut Wakil Bupati
Bandung Barat Ernawan Natasaputra, hal itu sesuai dengan visi
kabupaten yang berumur tiga tahun itu. Intinya, ekowisata (wisata
berbasis lingkungan alam) akan menjadi wajah Lembang masa depan.

Objek wisata kebun stroberi dan wisata Kampung Cikidang bisa dijadikan
contoh ekowisata. Ke depan, rencananya, pengembangan wisata seperti
itulah yang akan dikembangkan untuk memaksimalkan potensi alam
Lembang.

Namun, perjalanan pemerintah Kabupaten Bandung Barat mewujudkan visi
itu tampaknya perlu ditinjau kembali. Soalnya, menurut sejumlah
pemangku kepentingan di bidang lingkungan, calon wajah Lembang tidak
sepenuhnya sesuai dengan prinsip arah Lembang ke depan.

Konsep wisata yang ramah lingkungan, misalnya, tidak berarti sebatas
menjadikan lahan terbuka sebagai area wisata baru. Lebih jauh, seperti
diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) Jawa Barat M. Hendarsyah, harus ada muatan ekologis dan
edukasi di dalamnya.

Satu hal yang dia nilai cenderung terlupakan dalam pengembangan konsep
ekowisata di Lembang adalah pasifnya peran serta masyarakat dalam
peran-peran vital, khususnya dalam hal jasa. ”Masyarakat setempat
malah cuma menjadi satpam di hotel milik pengusaha. Seharusnya ada
pemberdayaan masyarakat. Misalnya, wisatawan menginap di rumah
penduduk yang memang didesain sebagai penginapan,” katanya.

Masih adanya ketidaksesuaian praktik dengan definisi ekowisata (sesuai
dengan Deklarasi Que Bec), menurut Hendarsyah, menjadikan konsep
Lembang ke depan belum begitu jelas.

Selain itu, konsep Lembang ke depan belum mempertimbangkan benar
keberadaan patahan bumi yang terdapat di sana. Anggota Kelompok Riset
Cekungan Bandung T. Bachtiar mengungkapkan, setiap konstruksi
sebaiknya tidak memotong garis patahan atau berada di atas garis
tersebut.

”Sejauh ini, belum ada penelitian tentang patahan tersebut, khususnya
tentang korelasi patahan dengan konstruksi bangunan. Sepertinya memang
pemerintah di sana belum mengetahui detail rute patahannya,” ujarnya.

Belum akrabnya masyarakat Lembang dengan antisipasi bencana, paling
tidak bisa dilihat dari fasilitas hotel yang belum menyediakan denah
evakuasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam.

Padahal, Lembang memiliki sesar yang sewaktu-waktu bisa aktif.
Aktivasi itu bisa menyebabkan gempa bumi pada skala 6-7 pada skala
Richter dan longsor. Kemungkinan longsor ini besar karena tanah di
Lembang berasal dari material gunung berapi yang mudah
hanyut jika terkena air.
**

ketidakjelasan konsep, sepertinya, juga terjadi dalam pengembangan
pertanian dan perkebunan. Selama ini, Lembang merupakan pemasok besar
hasil perkebunan dan pertanian, seperti bunga dan murbei, ke nusantara
bahkan luar negeri.

Namun, hingga saat ini, hasil pertanian dan perkebunan cenderung
langsung dikirim ke pasar. Padahal, dengan potensi yang begitu besar,
Kabupaten Bandung Barat bisa membentuk konsep sentra bunga yang mampu
menaikkan pertumbuhan wisata dan ekonomi kerakyatan. Konsep ini,
selain memopulerkan nama Lembang sebagai Kota Kembang yang
sesungguhnya, juga bisa menentukan harga jual mandiri.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten
Bandung Barat Bambang Subagio mengatakan, selama ini, Lembang hanya
menjadi produsen tanpa kemampuan menentukan harga. Alur distribusi pun
dikuasai pihak lain, termasuk para calo sehingga memangkas keuntungan
petani. ”Untuk itu, pembangunan sentra sayuran dan bunga ke depan
diharapkan bisa menjadi jalan keluarnya,” tuturnya.

**

maraknya alih fungsi lahan, tampaknya, harus menjadi perhatian besar
dalam pembenahan Lembang menuju menyongsong masa depan. Anggota Komisi
C DPRD Kabupaten Bandung Barat Samsul Ma’arif menilai, pengetatan
pembangunan di Lembang, sebenarnya, sudah cukup terangkum di dalam
Perda Jabar No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang
KBU dan Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar No. 21 Tahun 2009 yang
memuat petunjuk pelaksanaannya.

Menurut dia, ketegasan penegakan aturan inilah yang ditunggu
pembuktiannya di lapangan. ”Kalau porsi pemberian izin satu mangkok,
ya satu mangkok saja. Jangan diutak-atik, dipermainkan,” katanya.

Jangan sampai pengembangan dengan dalih pengembangan wisata, tetapi
justru mengeksploitasi Lembang demi keuntungan pendapatan asli daerah
(PAD). ”Harus berorientasi terhadap pelestarian lingkungan,” katanya.

Kepala Dinas Permukiman dan Perumahan (Kimrum) Provinsi Jawa Barat
Yerry Yanuar pun berharap agar, ke depan, pengelolaan Lembang sebagai
bagian Kawasan Bandung Utara menjadi perhatian serius kabupaten/kota
yang menikmati keuntungan atas Lembang. ”Penataan tata ruangnya tidak
bisa diparsialkan. Hulu dan hilir harus dilibatkan. Provinsi menjadi
promotornya,” katanya. (Amaliya/Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”-Lingga
S.Wiangga/Job)***

web: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=129544

2010/2/24 mh <khs...@gmail.com>:
> Kawasan Wisata (2)
> Lembang “Hareudang”
>
> Urusan wisata telah mengubah wajah Lembang. Dari wilayah perdesaan
> yang relatif tenang dan asri, Lembang menjelma perkotaan lengkap
> dengan pernak-pernik persoalan urban. Pengunjung, pendatang, dan
> investasi terus berdatangan. Lembang menjadi kota yang sibuk. Setiap
> akhir pekan, antrean kendaraan mengular di sepanjang Jalan Raya
> Bandung-Lembang. Kemacetan pun secara rutin menyergap pusat kota.
>
> Daya tarik luar biasa mengundang para investor menyerbu Lembang.
> Bangunan hotel dan restoran terus bertambah jumlahnya. Kompleks wisata
> buatan pun, baik yang berbau alam maupun kuliner, bermunculan. Para
> pengembang ikut-ikutan ramai membangun perumahan baru, sementara
> individu yang punya dompet tebal mendirikan vila-vila mewah.
>
> Sayangnya, pembangunan kerap dilakukan serampangan tanpa memperhatikan
> aturan tata ruang. Padahal, Lembang jelas-jelas ditetapkan sebagai
> kawasan konservasi yang pola pembangunannya sudah diatur, bukannya
> dilarang, demi kesinambungan kelestarian lingkungan.
>
> Apa yang terjadi terhadap Observatorium Bosscha bisa menggambarkan
> persoalan tata ruang ini. Akibat makin padatnya permukiman di
> sekitarnya, kegiatan peneropongan bintang terganggu oleh polusi cahaya
> dan polusi radio. Gangguan seperti ini tentu kontraproduktif dengan
> upaya mengembangkan ilmu pengetahuan. Sterilisasi polusi bisa
> dilakukan dengan mengamankan daerah hijau pada radius lima kilometer.
>
> Langkah ini tentu bukan solusi mudah karena permukiman telanjur
> ”dibolehkan” mendesak Bosscha. Dibutuhkan ketegasan menegakkan aturan
> oleh pemerintah kabupaten sebagai pemberi izin sekaligus pengawas lini
> pertama pemanfaatan lahan. ”Jangan sampai yang jadi pertimbangan utama
> adalah besaran pendapatan asli daerah (PAD),” kata Kepala Dinas
> Permukiman dan Perumahan (Kimrum) Provinsi Jawa Barat Yerry Yanuar.
>
> Di Tangkubanparahu, kisruh alih lahan juga menjadi sorotan dalam
> setengah tahun belakangan. Izin pengelolaan lahan langsung dari
> Menteri Kehutanan untuk sebuah perusahaan swasta asal Jakarta yang
> disinyalir akan merampas kawasan lindung, diprotes banyak pihak.
> Gubernur Jabar akhirnya menghentikan seluruh kegiatan perusahaan
> bersangkutan dalam membangun kompleks wisata. Ketua Pusat Perencanaan
> dan Pengembangan Pariwisata (P-P2Par) ITB Budi Brahmantyo menyebut
> kasus ini sebagai contoh pola pengelolaan wisata yang kebablasan.
>
> Dalam skala lebih kecil, pembangunan perumahan dan vila mewah kerap
> terbukti melanggar peraturan. Tak sedikit pengembang atau perseorangan
> berani membangun hanya dengan mengantongi izin dari camat. Padahal,
> Perda Jabar No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang
> KBU -- dan menyusul kemudian Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar No. 21
> Tahun 2009 -- mensyaratkan rekomendasi gubernur sebelum bupati/wali
> kota setempat menerbitkan izin pemanfaatan ruang di KBU.
>
> Ahmad Heryawan mengaku, selama menjabat gubernur, baru 365 izin
> pemanfaatan yang ia rekomendasi terdiri atas  360 rumah tinggal dan 5
> kawasan perumahan. Untuk kategori rumah tinggal, luasnya berkisar
> antara 50-1.000 meter. Sementara itu, untuk kawasan perumahan,
> berkisar antara 10-30 hektare. Syarat utamanya adalah persentase
> bangunan hanya berkisar antara 10-20 persen dari seluruh lahan.
> Heryawan meminta semua pihak yang telah mengantongi izin agar taat
> aturan jika tidak ingin dihentikan pacsapembangunannya.
>
> **
>
> Penetapan koefisien wilayah terbangun (KWT) diharapkan menjadi
> saringan efektif untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan. Besaran
> KWT berbeda-beda di tiap desa, antara 10-20 persen, tergantung
> kepadatan desa bersangkutan saat ini. Namun, dalam kenyataan di
> lapangan, banyak pelanggaran masih ditemukan. Alasan yang dikemukakan
> macam-macam, terutama adalah ketidaktahuan aturan.
>
> Ketua Umum Forum Peduli Bandung Utara Suherman mengatakan, kebanyakan
> pelanggar adalah mereka yang menjadikan lahannya sebagai tempat usaha.
> Penyebabnya adalah ketidaktegasan pemerintah. ”Pengembang dan
> masyarakat kan minta izin dulu ke Pemerintah Kabupaten Bandung Barat.
> Jika tidak sesuai dengan peruntukan dan KWT-nya, kenapa diizinkan?”
> ujarnya, seraya menyebutkan sejumlah nama hotel yang melanggar
> ketentuan KWT.
>
> Selain tidak tegas, penegakan peraturan juga masih tebang pilih.
> Menurut Suherman, tak jarang kasus pelanggaran tata ruang selesai
> dengan sendirinya jika menyangkut pejabat atau orang berpangkat.
> Peraturan jadi tak punya gigi. Ia berharap, laju alih fungsi lahan
> bisa ditangani lebih serius dan adil kelestarian lingkungan dan
> terlebih demi penyelamatan warga sendiri.
>
> Menyusutnya kawasan hijau memunculkan aneka persoalan baru di Lembang.
> Pada Februari 2008, warga Desa Mekarwangi harus bolak-balik mengambil
> air dari rumah ke mata air akibat menyusutnya persediaan air. Sejak
> Juni 2008, mata air Cikareo dilaporkan mulai menyusut sekitar lima
> belas sentimeter. Selanjutnya, pada Maret 2009, giliran mata air
> Cigorowong yang terancam karena kompleks perumahan direncanakan
> dibangun di atas mata air ini. Debit air di Situ Lembang juga terus
> menyusut. PDAM Tirta Raharja Kabupaten Bandung mengaku mengalami
> kesulitan karena ini.
>
> Alih fungsi lahan juga telah mengancam keselamatan warga karena
> perkampungan didirikan di lahan dengan kemiringan curam yang rawan
> longsor. Jika dibiarkan, hal itu justru akan menjadi semacam
> ”investasi” korban bencana, mengingat Lembang mempunyai sesar Lembang
> yang sewaktu-waktu bisa aktif. Terakhir, sesar ini aktif pada 1910 di
> Padalarang yang menyebabkan gempa bumi berskala 6-7 pada skala Richter
> dan  diikuti longsor. (Amaliya/Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”- Lingga S.
> Wiangga/job) ***
>
> web: 
> http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=129320
>
> 2010/2/23 mh <khs...@gmail.com>:
>> Wisata Alam Jabar?
>>
>> 1. Kawah Tangkubanparahu
>> 2. pemandian air hangat Maribaya
>> 3. Curug Cigulung,
>> 4. Curug Cikawari,
>> 5. Curug Cikoleang,
>> 6. Curug Omas.
>> 7. Makam Junghuhn,
>> 8. bumi perkemahan Cikole,
>> 9. Hutan Wisata Jayagiri,
>> 10. Curug Luhur,
>> 11. Observatorium Bosscha
>>
>>
>> ==========
>> Kawasan Wisata (1)
>> Magnet di Utara Bandung
>>
>> Selama tiga hari, sejak Selasa (23/2), ”PR” akan menyajikan laporan
>> khusus berseri tentang seluk-beluk persoalan di kawasan wisata
>> Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
>>
>> Alam menganugerahkan kekayaan luar biasa besar kepada Lembang.
>> Udaranya yang sejuk --lengkap dengan pemandangan yang membuat betah
>> mata-- seperti sebuah ”besi berani” berkekuatan besar. Lembang memikat
>> setiap orang untuk berkunjung. Tidak heran, sejak zaman kolonial
>> Lembang sudah dijadikan tempat tujuan berwisata. Dari Kota Bandung,
>> yang mulai padat oleh aktivitas manusia, jalan raya menuju
>> Tangkubanparahu pun dibangun.
>>
>> Lembang juga memiliki pemandian air hangat Maribaya yang juga menjadi
>> primadona wisata. Pesona Maribaya (yang dalam legenda merupakan nama
>> seorang perempuan cantik jelita) mampu menjadi magnet bagi wisatawan
>> sejak 1835. Di sana, pengunjung bisa menikmati pesona air terjun
>> (curug). Mulai dari Curug Cigulung, Curug Cikawari, Curug Cikoleang,
>> hingga Curug Omas. Lembang juga memiliki objek wisata Makam Junghuhn,
>> bumi perkemahan Cikole, Hutan Wisata Jayagiri, Curug Luhur, dan
>> Observatorium Bosscha, yang tak kalah menarik untuk dikunjungi.
>>
>> Dalam perkembangannya, wisata alam maupun buatan  terus bermunculan di
>> kecamatan  seluas 10.620 hektare  tersebut.  Ada supermarket bunga,
>> wisata berkuda, dan kebun stroberi. Selain itu, ada pula beraneka
>> ragam wisata kuliner khas, seperti tahu lembang, sate kelinci, dan
>> ketan bakar.
>>
>> Menurut Wakil Bupati Bandung Barat Ernawan Natasaputra, Lembang memang
>> diplot sebagai tujuan wisata berbasis agroindustri yang ramah
>> lingkungan. ”Sebagai bagian dari Kawasan Bandung Utara (KBU), memang
>> harus ada perlakuan khusus bagi Lembang. Pembangunan boleh dilakukan,
>> tetapi sudah ada peraturannya,” katanya.
>>
>> Setiap tahun, jumlah pengunjung ke Lembang mencapai 230.000 orang atau
>> separuh lebih dari jumlah total pengunjung di Kabupaten Bandung Barat.
>> Dari jumlah tersebut, seperempatnya merupakan wisatawan mancanegara.
>> Tingkat hunian (okupansi) hotel mencapai 59 persen, dengan rata-rata
>> lama menginap pengunjung di Lembang mencapai 1,7 hari. ”Angka ini
>> tergolong lumayan. Akan terus kami usahakan agar rata-rata  lama
>> menginap wisatawan bertambah panjang,” kata Ernawan.
>>
>> Rata-rata lama menginap wisa- tawan yang bertambah panjang, menurut
>> dia, akan mampu menggerakkan roda ekonomi warga. Apalagi, mengingat
>> potensi demikian besar yang dimiliki kecama-   tan itu. Kini, Lembang
>> menjadi penyumbang utama pos wisata bagi pendapatan asli daerah (PAD)
>> KBB yang pada 2009 mencapai Rp 35,5 miliar.
>>
>> **
>>
>> Dari sekian banyak wisata alam di Lembang, Tangkubanparahu menjadi
>> primadona. Meski demikian, menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas
>> Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bandung Barat Yayan Sudjana, objek
>> tersebut tak satu rupiah pun menyumbang pemasukan, baik bagi Kecamatan
>> Lembang maupun Kabupaten Bandung Barat. Sejak dulu, objek tersebut
>> ditangani langsung oleh Perhutani dan sekarang BKSDA.
>>
>> Kendati demikian, arus pengunjung ke Tangkubanparahu dari Bandung
>> secara perlahan telah mengubah wajah Lembang. Hotel dan restoran
>> menjamur. Hingga tahun lalu, jumlah hotel melati telah mencapai 38
>> buah, vila dan penginapan 4 buah, serta jumlah restoran dan rumah
>> makan mencapai 60 buah. Layanan wisata sampingan, seperti kebun
>> stroberi, acara berkuda, atau wisata kuliner, pun memiliki ruang lebar
>> untuk berkembang.
>>
>> Yayan mengakui, dari sekian banyak tempat wisata, selama ini, Maribaya
>> masih menjadi andalan satu-satunya dalam mengejar target setoran ke
>> PAD. Ditarget sekitar Rp 150 juta per tahunnya, Maribaya baru bisa
>> memenuhi sekitar separuhnya. ”Kami sadar, layanan infrastruktur di
>> Maribaya masih harus ditingkatkan. Oleh karena itu, belum lama ini
>> kami mengajukan proposal pendanaan ke provinsi sebesar Rp 1 miliar.
>> Semoga bisa turun sehingga bisa ada revitalisasi,” ucapnya.
>>
>> Harus diakui, dalam urusan pariwisata, Lembang masih amat bergantung
>> kepada kekayaan alamnya. Amat minim upaya pengembangan wisata budaya
>> untuk mengimbangi pertumbuhan wisata alam. Padahal, bermacam kesenian
>> tradisional seperti singa depok, pencak silat, calung, degung,
>> jaipongan, dan wayang golek, ada di kecamatan itu.
>>
>> Ketua Pusat Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata (P-P2Par) Institut
>> Teknologi Bandung Budi Brahmantyo berpendapat, pengelola wisata di
>> Lembang hendaknya kreatif mencari konsep baru, selain melulu
>> mengeksplorasi keindahan alam karena bisa memunculkan kebosanan. Ia
>> mengingatkan, kecenderungan orang berwisata saat ini mengarah kepada
>> wisata dengan trek (jalur perjalanan) nyata. ”Lembang, dengan segala
>> kekayaan geologi dan geografinya, sangat memungkinkan untuk
>> dikembangkan. Tangkubanparahu dan Sesar Lembang, misalnya, bisa
>> dijadikan tujuan geotrek,” katanya.
>>
>> Budi sekaligus mengingatkan agar pengembangan wisata di wilayah yang
>> masuk kawasan Bandung utara ini dilakukan sesuai dengan semangat
>> menyelamatkan lingkungan. ”Jangan sampai investasi wisata menerjang
>> aturan-aturan main yang telah disepakati,” ujar pakar Geologi
>> Lingkungan tersebut.  (Amaliya/Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”-Lingga S.
>> Wiangga/job)***
>>
>> web: 
>> http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=129108
>>
>

Kirim email ke