Stigma Keagamaan dan Sejumlah Jawabannya
Oleh Saidiman Ahmad

Dengan tidak dicampur-baurnya otoritas politik dan agama, justru kehidupan 
beragama dan budaya bisa secara maksimal berkembang. Liberalisme, misalnya, 
berasal dari pengakuan bahwa sebenarnya dunia ini dibangun di atas 
ketidak-tahuan. Tidak ada yang lebih tahu apa yang terbaik untuk masa depan. 
Justru karena tidak ada yang lebih tahu di atas yang lain itulah maka 
diperlukan ruang kebebasan, agar setiap manusia bisa berekspresi. Liberalisme 
membuka ruang kebebasan di mana setiap budaya, agama dan ekspresi bisa muncul.
Artikel ini sbeelumnya dimuat di Koran Tempo, 7 April 2010

Satu-satunya politisi yang tidak pernah gentar dengan stigma sekuler, liberal 
dan pluralis hanyalah KH Abdurrahman Wahid. Namun meski Gus Dur telah 
dinobatkan banyak kalangan, termasuk Presiden RI Susilo Bambang-Yudhoyono, 
sebagai Bapak Pluralisme, pada Muktamar NU ke-32, isu ini masih dijadikan 
amunisi dalam kampanye negatif untuk tokoh-tokoh NU tertentu. Pada hari pertama 
Muktamar, bahkan muncul isu untuk menjegal calon-calon ketua umum yang 
disinyalir terlibat atau menganut gagasan-gagasan liberal.

Tidak sedikit orang yang langsung mengambil jarak ketika disodori gagasan 
pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia 
(MUI) bahkan mengeluarkan fatwa haram terhadap tiga gagasan ini. Akibat fatwa 
itu masih terasa hingga kini. Di ranah politik, para politisi mendadak 
menghindari stigma sekuler, liberal dan pluralis.

Ada sejumlah alasan yang dikemukakan untuk menolak gagasan-gagasan itu. Tulisan 
ini mencoba memberi jawaban terhadap sejumlah alasan penolakan tersebut.

Pertama, gagasan-gagasan itu dinilai berasal dari "luar," yakni Barat. Ada 
asumsi bahwa gagasan luar tidak bisa diterima karena bangsa ini memiliki 
karakter dan budaya yang unik sehingga persoalannya tidak bisa diselesaikan 
dengan memakai metode dan cara-cara luar. Apa yang disebut sebagai "luar" 
sangat problematis. Lihatlah, misalnya, kelompok-kelompok yang sangat getol 
menolak gagasan tersebut. Orang-orang yang menolak gagasan "luar" itu biasanya 
datang dari kelompok yang mengatasnamakan dirinya Hizbut Tahrir, Majelis 
Mujahidin, Wahhabi dan seterusnya. Kelompok-kelompok ini pun memperoleh 
gagasannya dari luar, tidak genuin berasal dari Indonesia.

Letak persoalannya bukan bahwa gagasan-gagasan mengenai sekularisme, 
liberalisme dan pluralisme benar-benar berasal dari luar, karena mereka yang 
menolak juga berangkat dari gagasan yang berasal dari luar. Betapapun Islam 
adalah agama mayoritas di negeri ini, Islam adalah agama yang tidak lahir di 
Indonesia, melainkan agama yang lahir di Jazirah Arab 14 tahun silam. 6 agama 
yang memperoleh pelayanan negara semuanya adalah agama yang berasal dari luar 
alias agama impor.

Dengan begitu, menolak sekularisme, liberalisme dan pluralisme semata-mata 
karena gagasan-gagasan itu berasal dari luar dan tidak sesuai dengan budaya 
setempat sangat tidak valid dan cenderung mengada-ada. Mereka yang menolak 
gagasan ini pun menggunakan gagasan-gagasan yang berasal dari luar.

Ke"luar"an sekularisme, liberalisme dan pluralisme juga patut dibincang lebih 
jauh. Ketiga gagasan ini adalah respon terhadap realitas yang dihadapi oleh 
manusia. Sekularisme merespon absolutisme kekuasaan politik karena klaim 
otoritas ilahi. Persoalan semacam ini tidak hanya terjadi di Barat melainkan 
juga telah lama berlaku di Timur hingga sekarang. Ide mengenai pemisahan agama 
dan negara adalah upaya untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak absolut dan 
semena-mena. Dalam sejarah Islam, gagasan mengenai pemisahan agama dan negara 
muncul secara genuin. Sebab pada dasarnya, setiap kekuasaan totaliter tidak 
mengenakkan dan akan mengundang reaksi penolakan. Barangkali penolakan terhadap 
absolutisme kekuasaan politik tidak mesti dirumuskan secara filosofis, tetapi 
gerakan-gerakan semacam itu selalu muncul di setiap masa dengan intensitas yang 
berbeda-beda. Ini adalah sesuatu yang natural.

Gerakan liberalisme juga muncul di negara-negara Muslim. Di Turki, misalnya, 
kelompok tarekat menggunakan ide-ide liberalisme untuk melawan kekuasaan 
militer. Mereka berupaya mendasarkan gagasan liberalismenya pada teologi Islam. 
Bagi mereka, Islam adalah agama liberal, sebab hanya dengan itulah mereka 
memiliki kekuatan melawan rezim diktator.

Sudah sejak lama gagasan mengenai pluralisme dianggap sebagai solusi terbaik 
bagi pemecahan konflik di pelbagai wilayah berpenduduk Muslim. Ketika mereka 
dihadapkan pada pilihan antara damai dan konflik, maka tidak ada pilihan lain 
selain hidup tenang dalam perdamaian. Pluralisme bukan sesuatu yang baru. Ia 
melekat di dalam kehidupan setiap orang. Sebab kita semua butuh hidup rukun dan 
damai.

Kedua, alasan bahwa sekularisme, liberalisme dan pluralisme akan menggerogoti 
budaya lokal juga tidak bisa diterima. Pertanyaan utamanya adalah apa yang 
dimaksud dengan budaya lokal? Bukankah semua hal yang sekarang mapan di 
Indonesia pada mulanya berasal dari luar? Bagaimana menentukan bahwa sebuah 
budaya luar bisa diterima dan yang lain harus ditolak?

Selanjutnya tentang potensi budaya lokal tergerogoti karena sekularisme, 
liberalisme dan pluralisme juga patut dipertanyakan. Sejauh ini, baik secara 
teori maupun fakta, gagasan-gagasan itu justru sangat berguna bagi pengembangan 
budaya. Dengan tidak dicampur-baurnya otoritas politik dan agama, justru 
kehidupan beragama dan budaya bisa secara maksimal berkembang. Liberalisme, 
misalnya, berasal dari pengakuan bahwa sebenarnya dunia ini dibangun di atas 
ketidak-tahuan. Tidak ada yang lebih tahu apa yang terbaik untuk masa depan. 
Justru karena tidak ada yang lebih tahu di atas yang lain itulah maka 
diperlukan ruang kebebasan, agar setiap manusia bisa berekspresi. Kesadaran 
bahwa manusia tidak sempurnalah yang menyebabkan ruang kebebasan dibutuhkan. 
Liberalisme membuka ruang kebebasan di mana setiap budaya, agama dan ekspresi 
bisa muncul.

Jikapun ada budaya lokal yang terancam oleh karena ruang kebebasan yang 
terbuka, maka hal itu bukan persoalan yang perlu dirisaukan. Bukankah dunia ini 
terus berkembang? Segala sesuatu datang dan pergi silih berganti. Yang mampu 
menyesuaikan dirilah yang akan tetap bertahan. Kita hidup untuk terus menerus 
melakukan koreksi terhadap kehidupan yang sekarang kita alami. Kita harus 
membuka ruang bagi perubahan di masa depan. Itulah hukum dunia.

Kirim email ke