ni jalan yg pernah dilewatin kita waktu turing ke arah sukabumi..
jalan belak-belok dengan danau kecil dan pemandangan indahnya..
pernah juga gw nekat gowes nyepeda dari bekasi sampai gadog lewat sini...
ternyata menyisakan cerita yg cukup merinding..

Kisah Nyata Untuk +18

Semula hanya jenuh kerja dan ingin istirahat di rumah, tapi karena adik saya
kebelet pengen nyobain frame yang baru dia beli di Semeru Bike 3 hari
sebelumnya, kejadian deh bolos kantor kolektif - saya, adik saya, kakak
ipar, dan seorang sepupu sepakat cabut ke Gunung Mas, Puncak.

Ide dadakan tanpa rencana ... ! Berangkat bertiga dengan satu kendaraan dari
Jakarta jam 11 siang, terus mampir dulu jemput sepupu yang tinggal di
Sentul. Cuaca cerah, jadi diputuskan untuk makan siang dan ngaso sejenak
sambil menikmati keasrian lingkungan Sentul yang hijau sebelum lanjut ke
Puncak.

Seporsi makan siang, segelas kopi panas, dan diselingi obrolan tentang
sepeda akhirnya mengundang rasa kantuk luar biasa. Ahh ... ayo berangkat
nanti kesiangan, salah satu dari kami mengingatkan yang lain. Sontak yang
lain sadar bahwa waktu sudah 15 menit melewati pukul 2 petang. Untungnya
semua sepeda sudah loading di atas pick-up biru sebelum makan siang tadi.


Saya, kakak ipar, dan sepupu kebagian open air di belakang, karena kami
bertiga sengaja memberikan satu-satunya kursi penumpang kepada adik saya
yang insomnia kronis, kasihan kalo kena terpaan angin selama perjalanan
menuju Puncak ... bisa batal rencana touring!

Jalanan lengang, Gadog sudah tertinggal beberapa menit di belakang kami.
Pertigaan Taman Safari yang biasanya macet di hari libur juga dengan mudah
dilalui. Kendaraan melambat memberi tanda untuk berbelok ke kanan memasuki
pintu gerbang Gunung Mas. Permukaan jalan berbatu memaksa kami bertiga di
belakang berpegang kuat sambil mempertahankan posisi 4 sepeda ... takut
lecet bergesekan antar sepeda ... !!!

Saya yang kebetulan bersandar ke dinding batas kabin pick-up sempat
mendengar pembicaraan singkat adik dan sopir. "Mas disini kan banyak
kuntilanak ... ". Sepi ... rupanya adik saya tidak langsung menanggapi.
"Kuntilanak apa ...", akhirnya terdengar adik saya balik bertanya, tapi si
sopir hanya tertawa tanpa penjelasan.


Kedai bambu berderet panjang di depan sebuah area parkir yang cukup luas.
Kami berhenti tepat di muka kedai terujung. Satu persatu sepeda diturunkan,
penjaga kedai menawarkan minuman hangat tapi terpaksa kami tolak karena 3
digit angka sudah tersusun urut dan rapi di arloji ... 3:45.

Setelah berpisah dengan sang sopir dan mengucapkan terima kasih sambil
berpesan agar hati-hati di jalan, kami berempat segera mengenakan helm dan
gloves, bersiap gowes turun ke arah Taman Safari sebagai check point
pertama.

Ouw ... kok bolak-balik ketemu jalan yang sama di sekitar rumah pekerja
perkebunan. Jalan berbatu yang licin tertutup lapisan lumut cukup merepotkan
juga. Tidak satu pun dari kami yang menguasai jalur sepeda menuju Taman
Safari ... karena memang belum pernah sama sekali bersepeda di Puncak. Saya
yang kebetulan berjanji membawa potongan peta dari majalah Cycling (yang
baru terbit beberapa edisi saat itu), betul-betul lupa ... jangan-jangan
tertinggal dalam tas pakaian di Sentul. Ah ... siapa yang mau pusing urusan
jalan, mental sedang tinggi ... yang penting lanjut gowes aja ... toh banyak
"GPS warung" di sepanjang jalan ... begitu pikir kami ... bersepeda memang
menyenangkan dan bisa bikin irasional ... !!! Coba pikir aja, bolos kerja
hari Kamis ... kan tinggal tunggu satu dua hari udah ketemu Sabtu .... !


Beberapa cluster vila mewah dan menengah kami lewati ... wah kok gak beda
dengan bersepeda di kompleks pemukiman ... ada rasa kecewa karena gak
berhasil menemukan track bersepeda di Puncak yang katanya sangat menantang
menyusuri hutan skunder. "GPS Warung" bolak balik justru mengarahkan kami ke
Jalan Raya Puncak ... ada apa ... pikir kami saat itu.

Akhirnya persis di suatu pertigaan kecil, yang ke arah kirinya menuju Taman
Safari, dan ke kanannya menuju Jalan Raya Puncak, kami terpaksa berhenti di
sebuah bangunan semi permanen bekas bengkel kendaraan bermotor. Rantai
sepeda adik saya mengalami gangguan teknis, sehingga tidak bisa pindah ke
gear yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Setelah diperiksa, ternyata ada
salah satu pin mata rantai yang patah. Empat sekawan gak kehabisan akal,
walaupun gak bawa potongan rantai serep. Dua mata rantai terpaksa
dikorbankan, yang punya sepeda hayu aja ... dan gak ikut kerja! Pemalas ...
manja ... diam-diam semua menggerutu ... ! Dia memang rada ebleng, ada
gangguan di jalan ya tinggal telpon sopir atau panggil taksi ... ! Dasar
pria sederhana miskin petualangan ... !


eres urusan teknis, kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Jalan Raya
Puncak. Berbaur dengan kendaraan umum, motor, dan mobil pribadi ... kami
turun menyusuri Jalan raya Puncak. Sekitar 50 meter setelah jalan yang
terpisah dua arah, dua ruas, tiba-tiba ada yang punya ide gila. Kakak ipar
memutuskan untuk membeli beberapa buah tangan untuk istrinya ... butuh
pembuktian bahwa dia pernah bersepeda di Puncak ... !

Selesai belanja, semua kaget lalu bingung ... terkesima dengan adzan Maghrib
yang tiba-tiba terdengar lantang memenuhi langit merah. Si pria sederhana
alias manusia simple tanpa pikir panjang langsung mengajukan ide untuk
telpon sopir, tapi sepupu saya bersikeras melanjutkan perjalanan dengan
sepeda melalui jalan pintas di sekitar Gadog yang bisa tembus ke Sentul. Hm
... menarik juga tawarannya.


Negosiasi singkat memutuskan untuk melanjutkan bersepeda menempuh jalur
Gadok - Sentul. Sebagian kendaraan sudah menyalakan lampu kecil ketika kami
bergiliran menyeberangi Jalan Raya Puncak ke arah kanan. Tiba di seberang,
"GPS warung" membenarkan bahwa Jalan Puncak Cipayung tersebut bisa tembus
sampai ke Sentul. Mungkin ini petualangan sesungguhnya ... dengan semangat
semua bersiap melanjutkan perjalanan.

Tak berapa lama kami tiba di sebuah pertigaan, ke kiri atau lurus ... ?
"Lanjut ke kiri" teriak sepupu saya. Tapi 5 menit kemudian, dia sendiri yang
minta berhenti dan kembali bertanya ke "GPS warung". Ternyata salah jalan
... kami berada di ruas Jalan pasir Angin 3. Berbalik arah melanjutkan
perjalanan pulang ke Sentul. Melewati pertigaan tadi, kami berbelok ke kiri
menelusuri Jalan Puncak Cipayung yang mulai berkelok dan menanjak.


Birama nafas perut dan paru bergantian semakin kerap terdengar dan meninggi
setiap kali melewati tanjakan tajam. Adik saya tertinggal cukup jauh di
belakang, fisiknya memang paling lemah diantara kami berempat ... karena
jarang tidur. saya sengaja berhenti untuk menunggunya di titik tertinggi
sebuah tanjakan. Hitam aspal jalanan semakin sulit terlihat, ketika saya
melihat dia mulai turun dan menuntun sepeda ke arah saya.

Keluhannya panjang lebar silih berganti dengan nafas terbatas ... Senin ...
Kamis ... Senin lagi. Dia minta berhenti ... menyerah total ... tapi
berhasil saya ajak melanjutkan perjalanan. Permintaannya untuk berhenti
sebetulnya sangat logis karena dia myopia, minus 3.5 ... dan ... tidak satu
pun dari kami berempat yang membawa lampu sepeda ... ! Bulan tak berfungsi
penuh malam itu, hanya terlihat dua warna ... bayangan hitam dan abu-abu tua
yang mendominasi semua objek di kanan kiri jalan.


Beberapa menit memaksakan diri bersepeda di kegelapan tersebut, akhirnya
kami menyerah juga ketika terlihat samar-samar lampu templok di sebuah
bangunan sederhana, sama sekali tidak terlihat detail bangunan. Bangunan
tersebut rupanya terletak di sebuah pertigaan antara "Jalan Golf Raya-Gunung
Geulis Resort" dan "Jalan Puncak Cipayung". Cahaya samar yang kami lihat
ternyata berasal dari seorang penjual gorengan yang berdagang di emperan
sebuah toko kelontong, menunggu pembeli di awal malam panjang.

Empat Pocari Sweat mengalir lancar ... terasa hangat ... tanpa es batu. Rasa
lapar tidak dapat diajak kompromi lagi. Bakwan goreng habis tanpa sisa
dengan kombinasi singkong goreng yang mulai terasa dingin berminyak.


ambil menyantap makanan yang ada, kami bertanya kepada pemilik toko
kelontong dan penjual gorengan ... tapi tidak satu pun dari mereka yang bisa
memberi gambaran berapa lama jarak tempuh ke Sentul. Yang pasti mereka
mengatakan ... "sebaiknya jangan dilanjutkan kalau tidak membawa lampu ...
!"

Hahh ... semua terdiam ... dan ... inikan malam Jum'at ... tiba-tiba adik
saya mengingatkan. Sial ... gak ada pilihan, balik ke Jalan raya Puncak juga
sudah gak mungkin. Malam semakin pekat ... !


Beruntung sepupu saya punya jalan keluar ... dia kontak teman satu
kompleksnya di Sentul, dan ternyata temannya masih dalam perjalanan pulang
di Tol Jagorawi karena harus mengantar seseorang ke Ciawi. Setelah
dijelaskan dimana lokasi kami berada, akhirnya dia berjanji untuk menyusul
dan mendampingi kami pulang ke Sentul ... Dialah malaikat penolong malam
itu.

Waktu sholat kelima sudah jauh tertinggal ... sang pedagang gorengan pun
berpamitan. "Den ... saya duluan, sudah terlalu malam, dagangan saya sudah
habis" ... Oh ... rupanya si Bapak mengingatkan kami untuk segera membayar.
Setelah dilunasi, lancar meluncur semua nasehat tentang perjalanan malam ...
hati-hati aden semua ... jangan ngomong sembarang di perjalanan nanti. Waduh
bikin tegang aja ... sosok rentanya meninggalkan kami, bayangannya terasa
aneh dibalik temaram cahaya lampu minyak di pikulan tua yang bergerak kian
kemari mengikuti langkah kakinya.

Pemilik toko kelontong sudah ditinggal tidur sedari tadi oleh istrinya. Kami
pun mempersilahkannya untuk segera menutup toko dan beristirahat malam,
sambil minta izin untuk tetap menunggu jemputan teman dari Jakarta di
emperan tokonya. Tiba-tiba muncul cahaya terang ... semakin mendekat ...
sebuah Avanza silver nampak ragu mendekati kami. Syukurlah, mudah-mudahan
itu emergency car yang sudah kami tunggu-tunggu ... penuh harap. Tak lama
turun seorang pria berdasi lepas, setengah baya, wahhhh ... lega ternyata
kami semua mengenalnya ... tetangga sepupu di Sentul. Lepas sudah semua
ketegangan yang menekan satu jam terakhir.

Setelah menceritakan perjalanan sejak siang tadi dan menyampaikan
ketidak-siapan kami melanjutkan perjalanan malam ... tanpa lampu sama sekali
... akhirnya dia menyarankan untuk memasukkan semua sepeda ke dalam mobil.

Muat kok ... gak muat ... bisa kok ... gak bisa ...semua sibuk berargumen.
Tapi nyatanya keempat sepeda kami menggunakan frame light FR dan fork dual
crowns semua. Lagian itu mobil aset kantor, kalau dipaksakan bisa merusak
interior dan tumpukan dokumen di bagasi. Melihat kondisinya mana mungkin
bisa selesai dengan cara adhock ... akhirnya saya beri pilihan terbaik ...
tetap bersepeda dengan dibantu penerangan dari mobil.

Awalnya mereka ragu, tapi akhirnya setuju. Disepakati mobil akan selalu
berada di belakang menyesuaikan kecepatan sepeda. Dan yang gowes akan
mengikuti span of light kendaraan. Semua beban yang memberatkan, termasuk
botol minum dititipkan ke mobil. Tanpa sadar semua berniat bakal FSA ...
Full Speed Abisssss ...

Kurang dari 100 meter dari titik start, kami berbelok ke kiri memasuki Jalan
Cipayung - Gunung Geulis. Sekitar 200 meter selepas tikungan tadi, adik saya
mendekat ke sebelah kanan, setengah berbisik ia meminta saya untuk melihat
sebuah papan hitam dengan tulisan besar berwarna putih ... yang tertangkap
cahaya mobil ... disana tertulis kata-kata yang gak mungkin saya tulis
lengkap disini ... "150 meter Pemakaman K ...." ... Oh rupanya rambu
penunjuk ke suatu pemakaman. Tiba- tiba ...


Tiba-tiba ... grrreeeettttaaaakkkksss ... terdengar suara rantai mendadak
berpindah dari sprocket adik saya. Dia langsung cepat meninggalkan saya,
entah apa yang dilihatnya barusan hingga melakukan manuver seperti itu.

Apa pun yang baru dia liat pastinya lumayan serrrreeeemmmm. Berbeda dengan
dia yang nocturnal ... semakin malam semakin tajam mata ketiganya, saya yang
gak sensi masalah gituan tiba-tiba merinding juga. Tanpa pikir panjang ...
ikutan ngeblast ... mobil di belakang udah berkali-kali kasih peringatan ...
gak peduli ... saya sekarang di urutan terbelakang soalnya!

Selepas melewati sebuah tikungan menuju Jalan Bojong Koneng-Gunung Geulis
(kami tetap ambil lurus) yang berada di sebelah kanan saya, tiba-tiba
terdengar decitan rotor Hayes 8" dipaksa mendadak kerja di jalanan menurun
tajam ... menyusul suara permukaan Maxxis High Roller 235 bergesek keras
dengan aspal kasar berpasir ... zzzrrrroooooogggghhhhh ... berkali-kali ...
!!!

"Apaaa ituuu ... " teriak pengendara emergency car di belakang saya, rupanya
dia sengaja tidak menggunakan AC selama mengikuti kami, kaca yang terbuka
memungkinkan dia ikut mendengar suara keras dari depan. Dan hanya kami yang
ada di sepanjang ruas jalan tersebut ... tak satu pun ada sosok manusia lain
yang terlihat malam itu. Bulan dan bintang malam masih tetap absen sejak
tadi. Begitu cahaya lampu mobil membentuk garis lurus dengan jalan di depan
... wawwwwwhhhhhh ...


Begitu cahaya lampu mobil membentuk garis lurus dengan ruas jalan di depan
... wawwwwwhhhhhh ... terlihat adik saya masih berusaha menghentikan
sepedanya setengah meter dari dinding cadas, di sebuah tikungan tajam ke
arah kiri ... hm ... bisa drifting juga dia kalo lagi kepepet ... !!!

Saya berusaha menyusul, tapi dia langsung kembali mempercepat laju
sepedanya. seingat saya ada 2 tikungan tapal kuda yang saling berhubungan
setelah itu, sehingga membentuk huruf "S" besar. Kemudian beberapa tikungan
tajam berkali-kali kami lewati, sampai akhirnya kami masuk ke Jalan Pelangi
Raya. Jalan cukup mendatar ... tapi saya masih tertinggal dengan mereka
bertiga. Sampai akhirnya mendekati suatu tanjakan panjang di Jalan Pelangi
Raya, mereka semua berhenti kehabisan nafas.

Agak jauh di kanan depan dari tempat mereka berhenti terlihat sebuah
bangunan besar berlantai banyak dalam kondisi terhenti proses
pembangunannya. Saya segera mendekati mereka.

Dari raut muka sepupu dan kakak ipar saya, nampaknya mereka sama sekali
tidak tau apa yang terjadi pada adik saya. Karena mereka memang berniat
balapan sejak awal. Perlahan saya dekati adik, dan menanyakan apa sebetulnya
yang dia liat tadi sampe ngebut gila-gilaan. Nafasnya masih tersengal, hanya
memberi tanda gelengan bahwa dia belum bisa menjawab pertanyaan saya. Well,
saya pahami dia pasti lelah luar biasa. Tapi tiba-tiba seluruh bulu kuduk
saya berdiri ... tak saya acuhkan. Ah ... peduli setan ... yang penting
sebentar lagi bisa sampe Sentul, lagi pula sudah ada lampu merkuri di
beberapa titik jalan pemukiman ini. Sebelum saya sempat melepaskan
pertanyaan yang sama ke adik saya, tiba-tiba air mukanya berubah ...
suaranya sedikit bergetar mengajak kami semua untuk segera melanjutkan
perjalanan.


Aneh ... saya tahu persis, dia pasti belum kuat untuk melanjutkan
perjalanan. Benar saja ... ketika semua bersiap untuk berangkat, tiba-tiba
dia minta untuk ditarik dengan mobil sambil berpegang ke pilar B mobil. Dia
berada di sebelah kanan kendaraan, mobil berjalan pelan menariknya ke arah
tanjakan tajam, beberapa kali pegangannya terlepas. Sedangkan kami masih
mencoba gowes, berhenti, tuntun sepeda, gowes lagi, begitu bolak balik
mencoba sekuatnya. Lelah luar biasa ... ! semua otot motorik dan persendian
udah gak sinkron.


Kira-kira 20an meter lagi mendekati puncak tanjakan, dimana terletak taman
bundar yang menyatukan Jalan Pelangi Raya, Jalan Pelangi Golf, dan Jalan
Pelangi Bulevar ... tiba-tiba saya melihat sekelebat cahaya merah mendahului
kami ke arah bundaran tadi. Saya berusaha membuang pandangan ke tempat lain,
tapi seperti terhipnotis saya pun terpaku melihat ke arah cahaya merah
tersebut.

Seperti proses metamorfosis ... perlahan cahaya merah tadi berubah ...
mewujud jadi sesosok wanita berpakaian panjang merah. Pakaiannya berkelebat
diterpa angin. Saya berada di belakangnya, rambut hitamnya kadang terkembang
ke segala arah. Baru kali ini saya bisa melihat dengan jelas sesuatu yang
gaib di luar mimpi ... !


saya kembali bisa mengendalikan diri, berbalik ke arah adik saya yang masih
ditarik dengan mobil beberapa meter di belakang saya. Ketika kami berdekatan
dia langsung balik bertanya, liat apa barusan ... ? Nah lho ... dasar
indigo!

Gak lama ... dia minta saya liat ke depan lagi ... ke arah bundaran ... Look
man ... no wires ... !!! Gila si wanita masih ada ... melayang ... berputar
sekitar tiga kali di bundaran itu. Setiap kali ujung pakaiannya berkelebat
... selalu menyisakan lidah-lidah cahaya merah! Tapi muka adik saya mulai
terlihat tenang.

Dia lepaskan pegangannya ke mobil dan minta mobil menyusul sepupu dan kakak
ipar yang sudah lebih dulu tiba di bundaran. Setelah itu dia berbisik,
melarang saya agar jangan sampai menoleh atau melihat ke arah kiri jalan ...
bulu kuduk semakin meremang ... !!! Wanita merah yang terbang di bundaran
perlahan menghilang ke arah Jalan Pelangi Golf. Mungkinkah ia berbalik dan
muncul tiba-tiba di belakang kami ... suasana makin mencekat ...
kerongkongan terasa kering ... minuman tertinggal di mobil ... !

Adik saya berjalan lebih santai, dengan tenang dia bilang ... wanita merah
tadi bukan mahluk karbon seperti kita (bodo amat ... rese bener nih anak!)
... energinya sangat besar (sinar photon kalee ... neg juga lama-lama kayak
paranormal kelakuannya!) ... tapi dia muncul untuk tujuan baik, mengingatkan
kita untuk segera meninggalkan lokasi tersebut! Jika masih berada disitu
saat hujan deras akan turun beberapa waktu lagi ... semua hal bisa terjadi
... !!! Ini dia nih yang gw gak demen ... kalo baik kok ujungnya ada
intimidasi ... (ngedumel dalam hati) ... ! Tiba-tiba ...
glleeggggggaaaarrrrrr ... cahaya kilat benderang di kiri langit! Adik saya
berteriak ... "Jangan liat ke kiri ...!!!"

Sial ... hampir saja ... ! Nahan nafas sebentar ... pencet F9, eh salah itu
mah buat recalc ... maksudnya mau refresh (F5) ... gebleg gugup banget.
Merasa gak suka dibawah kendali rasa takut, saya bilang ke adik saya gini
... loe ceritaan aja deh apa yang ada di sebelah kiri ... bodo amat!

Okey dia bilang ... ! Nyesel juga jadinya! Tapi gengsi dong, kan gw duluan
yang kenal planet bumi, gw duluan yang tau bima sakti, dan gw juga yang
duluan bisa naek sepeda! Tapi dia duluan sih yang tau anti-gravitasi ...
kalo anti-aging tanya ama om deh ...

Gw mau nulis dengan tenang nih ... tanpa emosi lagi ... capek juga ternyata
merecall memory. Lanjut ya ...

Jadi menurut adik saya, di rumah kosong sebelah kiri yang baru kami lewati
di tanjakan tadi tinggal sekelompok atau sekeluarga mahluk yang punya
struktur keluarga seperti kita manusia ... ada orang tua ... ada anak-anak
juga. Rupa-rupanya mereka sangat terganggu dengan kedatangan kami. Untungnya
mereka mendapatkan penjelasan dari si wanita merah, bahwa kami hanya
bermaksud lewat saja bukan menetap disana.

Lho kenapa si wanita merah bisa paham bahwa kita dalam perjalanan ... tanya
saya. Jawaban adik saya sungguh bikin sesak nafas ... ! Kan dia udah bareng
sejak masuk Jalan Pelangi Raya. Sekarang dia warning lagi tuh untuk segera
meninggalkan area bundaran ini.

Sok tenang ... bukannya ngasih tau dari tadi! Setelah denger informasi
tersebut saya langsung ajak mereka segera cabut menuruni Jalan Pelangi
Bulevar. Kecepatan kami pasti menembus angka sekitar 50 atau 60 kilometer
per jam melewati jalan menurun tajam, kemudian berbelok ke kanan
dipenghujung turunan. Tiba di ujung jalan, terlihat pos satpam ... oh ini
gerbang utama pemukiman tersebut pikir saya.

Dua satpam terlihat bingung melihat kami muncul tiba-tiba ... gak sempet
berhenti ... hanya sekedar nyampein "malem pak" ...sambil tetap gowes ke
pertigaan Jalan Cijayanti Raya yang berjarak sekitar 100 meteran dari post
satpam. Di situ baru saya putuskan untuk berhenti ... yang penting kan udah
keluar kompleks!

Hampir bersamaan kami berlima masuk melalui dua pintu ke sebuah kedai kecil
di pertigaan itu. Baru saja duduk di bangku panjang ... belum lagi sempat
pesan minuman ... tiba-tiba ... hujan turun seperti tumpah dari langit.
Entah naluri atau rasa takut, saya berusaha duduk merapat ke adik saya!
Penerangan kedai yang seadanya membuat bayang wajah manusia gak seperti
biasanya ... glegar kilat terus bersautan.

Hujan ini yang dimaksud wanita merah tadi ... ? Tanya saya ke adik yang
duduk bersebelahan. Sambil mengangguk meng-iyakan, dia langsung minta saya
kontak sopir yang membawa mobil pick-up dari Sentul. Sambil menunggu
tambahan kendaraan kami berlima hanya diam, tak banyak bicara menikmati teh
panas. Setengah jam kemudian mobil pick-up tiba di lokasi. Sang sopir
menolak ketika kami tawarkan untuk minum ... wajahnya terlihat bicara ...
ingin segera pergi dari situ.

Semua sepeda sudah dinaikkan ke pick-up biru. Adik saya naik ke Avanza,
sedangkan saya dan yang lain tetap naik pick-up menembus malam dan hujan
deras ke Sentul.

Hah ... hanya beberapa ratus meter dari kedai tadi, tiba-tiba hujan berhenti
mendadak. Setibanya di Sentul, semua langsung mandi lalu bersiap pulang ke
Jakarta.

Malam terasa panjang ... banyak pengalaman baru yang diperoleh. Intinya,
jangan pernah melakukan perjalanan jauh dengan sepeda tanpa persiapan yang
matang, lampu adalah perlengkapan vital untuk perjalanan malam, dan alat
komunikasi wajib dibawa.

Dimensi gaib itu memang ada ... tapi yang terpenting jangan meninggalkan
kewajiban kantor hanya karena kebelet pengen nyobain frame atau sepeda baru.
Orang sabar pasti disayang Tuhan.

Ketika dalam kendaraan menuju Jakarta, adik saya berpesan ... kapan dan
dimanapun kita melakukan perjalanan sering-seringlah membaca surat
Al-Ikhlas, selain membaca ayat Kursi.

Asyik juga punya adik kayak dia ... meskipun sedikit autis ... [Cheesy]
[Cheesy] [Cheesy]

S E K I A N



source : http://www.sepedaku.com/forum/showthread.php?t=23866&page=4

Kirim email ke