ni jalan yg pernah dilewatin kita waktu turing ke arah sukabumi.. jalan belak-belok dengan danau kecil dan pemandangan indahnya.. pernah juga gw nekat gowes nyepeda dari bekasi sampai gadog lewat sini... ternyata menyisakan cerita yg cukup merinding..
Kisah Nyata Untuk +18 Semula hanya jenuh kerja dan ingin istirahat di rumah, tapi karena adik saya kebelet pengen nyobain frame yang baru dia beli di Semeru Bike 3 hari sebelumnya, kejadian deh bolos kantor kolektif - saya, adik saya, kakak ipar, dan seorang sepupu sepakat cabut ke Gunung Mas, Puncak. Ide dadakan tanpa rencana ... ! Berangkat bertiga dengan satu kendaraan dari Jakarta jam 11 siang, terus mampir dulu jemput sepupu yang tinggal di Sentul. Cuaca cerah, jadi diputuskan untuk makan siang dan ngaso sejenak sambil menikmati keasrian lingkungan Sentul yang hijau sebelum lanjut ke Puncak. Seporsi makan siang, segelas kopi panas, dan diselingi obrolan tentang sepeda akhirnya mengundang rasa kantuk luar biasa. Ahh ... ayo berangkat nanti kesiangan, salah satu dari kami mengingatkan yang lain. Sontak yang lain sadar bahwa waktu sudah 15 menit melewati pukul 2 petang. Untungnya semua sepeda sudah loading di atas pick-up biru sebelum makan siang tadi. Saya, kakak ipar, dan sepupu kebagian open air di belakang, karena kami bertiga sengaja memberikan satu-satunya kursi penumpang kepada adik saya yang insomnia kronis, kasihan kalo kena terpaan angin selama perjalanan menuju Puncak ... bisa batal rencana touring! Jalanan lengang, Gadog sudah tertinggal beberapa menit di belakang kami. Pertigaan Taman Safari yang biasanya macet di hari libur juga dengan mudah dilalui. Kendaraan melambat memberi tanda untuk berbelok ke kanan memasuki pintu gerbang Gunung Mas. Permukaan jalan berbatu memaksa kami bertiga di belakang berpegang kuat sambil mempertahankan posisi 4 sepeda ... takut lecet bergesekan antar sepeda ... !!! Saya yang kebetulan bersandar ke dinding batas kabin pick-up sempat mendengar pembicaraan singkat adik dan sopir. "Mas disini kan banyak kuntilanak ... ". Sepi ... rupanya adik saya tidak langsung menanggapi. "Kuntilanak apa ...", akhirnya terdengar adik saya balik bertanya, tapi si sopir hanya tertawa tanpa penjelasan. Kedai bambu berderet panjang di depan sebuah area parkir yang cukup luas. Kami berhenti tepat di muka kedai terujung. Satu persatu sepeda diturunkan, penjaga kedai menawarkan minuman hangat tapi terpaksa kami tolak karena 3 digit angka sudah tersusun urut dan rapi di arloji ... 3:45. Setelah berpisah dengan sang sopir dan mengucapkan terima kasih sambil berpesan agar hati-hati di jalan, kami berempat segera mengenakan helm dan gloves, bersiap gowes turun ke arah Taman Safari sebagai check point pertama. Ouw ... kok bolak-balik ketemu jalan yang sama di sekitar rumah pekerja perkebunan. Jalan berbatu yang licin tertutup lapisan lumut cukup merepotkan juga. Tidak satu pun dari kami yang menguasai jalur sepeda menuju Taman Safari ... karena memang belum pernah sama sekali bersepeda di Puncak. Saya yang kebetulan berjanji membawa potongan peta dari majalah Cycling (yang baru terbit beberapa edisi saat itu), betul-betul lupa ... jangan-jangan tertinggal dalam tas pakaian di Sentul. Ah ... siapa yang mau pusing urusan jalan, mental sedang tinggi ... yang penting lanjut gowes aja ... toh banyak "GPS warung" di sepanjang jalan ... begitu pikir kami ... bersepeda memang menyenangkan dan bisa bikin irasional ... !!! Coba pikir aja, bolos kerja hari Kamis ... kan tinggal tunggu satu dua hari udah ketemu Sabtu .... ! Beberapa cluster vila mewah dan menengah kami lewati ... wah kok gak beda dengan bersepeda di kompleks pemukiman ... ada rasa kecewa karena gak berhasil menemukan track bersepeda di Puncak yang katanya sangat menantang menyusuri hutan skunder. "GPS Warung" bolak balik justru mengarahkan kami ke Jalan Raya Puncak ... ada apa ... pikir kami saat itu. Akhirnya persis di suatu pertigaan kecil, yang ke arah kirinya menuju Taman Safari, dan ke kanannya menuju Jalan Raya Puncak, kami terpaksa berhenti di sebuah bangunan semi permanen bekas bengkel kendaraan bermotor. Rantai sepeda adik saya mengalami gangguan teknis, sehingga tidak bisa pindah ke gear yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Setelah diperiksa, ternyata ada salah satu pin mata rantai yang patah. Empat sekawan gak kehabisan akal, walaupun gak bawa potongan rantai serep. Dua mata rantai terpaksa dikorbankan, yang punya sepeda hayu aja ... dan gak ikut kerja! Pemalas ... manja ... diam-diam semua menggerutu ... ! Dia memang rada ebleng, ada gangguan di jalan ya tinggal telpon sopir atau panggil taksi ... ! Dasar pria sederhana miskin petualangan ... ! eres urusan teknis, kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Jalan Raya Puncak. Berbaur dengan kendaraan umum, motor, dan mobil pribadi ... kami turun menyusuri Jalan raya Puncak. Sekitar 50 meter setelah jalan yang terpisah dua arah, dua ruas, tiba-tiba ada yang punya ide gila. Kakak ipar memutuskan untuk membeli beberapa buah tangan untuk istrinya ... butuh pembuktian bahwa dia pernah bersepeda di Puncak ... ! Selesai belanja, semua kaget lalu bingung ... terkesima dengan adzan Maghrib yang tiba-tiba terdengar lantang memenuhi langit merah. Si pria sederhana alias manusia simple tanpa pikir panjang langsung mengajukan ide untuk telpon sopir, tapi sepupu saya bersikeras melanjutkan perjalanan dengan sepeda melalui jalan pintas di sekitar Gadog yang bisa tembus ke Sentul. Hm ... menarik juga tawarannya. Negosiasi singkat memutuskan untuk melanjutkan bersepeda menempuh jalur Gadok - Sentul. Sebagian kendaraan sudah menyalakan lampu kecil ketika kami bergiliran menyeberangi Jalan Raya Puncak ke arah kanan. Tiba di seberang, "GPS warung" membenarkan bahwa Jalan Puncak Cipayung tersebut bisa tembus sampai ke Sentul. Mungkin ini petualangan sesungguhnya ... dengan semangat semua bersiap melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama kami tiba di sebuah pertigaan, ke kiri atau lurus ... ? "Lanjut ke kiri" teriak sepupu saya. Tapi 5 menit kemudian, dia sendiri yang minta berhenti dan kembali bertanya ke "GPS warung". Ternyata salah jalan ... kami berada di ruas Jalan pasir Angin 3. Berbalik arah melanjutkan perjalanan pulang ke Sentul. Melewati pertigaan tadi, kami berbelok ke kiri menelusuri Jalan Puncak Cipayung yang mulai berkelok dan menanjak. Birama nafas perut dan paru bergantian semakin kerap terdengar dan meninggi setiap kali melewati tanjakan tajam. Adik saya tertinggal cukup jauh di belakang, fisiknya memang paling lemah diantara kami berempat ... karena jarang tidur. saya sengaja berhenti untuk menunggunya di titik tertinggi sebuah tanjakan. Hitam aspal jalanan semakin sulit terlihat, ketika saya melihat dia mulai turun dan menuntun sepeda ke arah saya. Keluhannya panjang lebar silih berganti dengan nafas terbatas ... Senin ... Kamis ... Senin lagi. Dia minta berhenti ... menyerah total ... tapi berhasil saya ajak melanjutkan perjalanan. Permintaannya untuk berhenti sebetulnya sangat logis karena dia myopia, minus 3.5 ... dan ... tidak satu pun dari kami berempat yang membawa lampu sepeda ... ! Bulan tak berfungsi penuh malam itu, hanya terlihat dua warna ... bayangan hitam dan abu-abu tua yang mendominasi semua objek di kanan kiri jalan. Beberapa menit memaksakan diri bersepeda di kegelapan tersebut, akhirnya kami menyerah juga ketika terlihat samar-samar lampu templok di sebuah bangunan sederhana, sama sekali tidak terlihat detail bangunan. Bangunan tersebut rupanya terletak di sebuah pertigaan antara "Jalan Golf Raya-Gunung Geulis Resort" dan "Jalan Puncak Cipayung". Cahaya samar yang kami lihat ternyata berasal dari seorang penjual gorengan yang berdagang di emperan sebuah toko kelontong, menunggu pembeli di awal malam panjang. Empat Pocari Sweat mengalir lancar ... terasa hangat ... tanpa es batu. Rasa lapar tidak dapat diajak kompromi lagi. Bakwan goreng habis tanpa sisa dengan kombinasi singkong goreng yang mulai terasa dingin berminyak. ambil menyantap makanan yang ada, kami bertanya kepada pemilik toko kelontong dan penjual gorengan ... tapi tidak satu pun dari mereka yang bisa memberi gambaran berapa lama jarak tempuh ke Sentul. Yang pasti mereka mengatakan ... "sebaiknya jangan dilanjutkan kalau tidak membawa lampu ... !" Hahh ... semua terdiam ... dan ... inikan malam Jum'at ... tiba-tiba adik saya mengingatkan. Sial ... gak ada pilihan, balik ke Jalan raya Puncak juga sudah gak mungkin. Malam semakin pekat ... ! Beruntung sepupu saya punya jalan keluar ... dia kontak teman satu kompleksnya di Sentul, dan ternyata temannya masih dalam perjalanan pulang di Tol Jagorawi karena harus mengantar seseorang ke Ciawi. Setelah dijelaskan dimana lokasi kami berada, akhirnya dia berjanji untuk menyusul dan mendampingi kami pulang ke Sentul ... Dialah malaikat penolong malam itu. Waktu sholat kelima sudah jauh tertinggal ... sang pedagang gorengan pun berpamitan. "Den ... saya duluan, sudah terlalu malam, dagangan saya sudah habis" ... Oh ... rupanya si Bapak mengingatkan kami untuk segera membayar. Setelah dilunasi, lancar meluncur semua nasehat tentang perjalanan malam ... hati-hati aden semua ... jangan ngomong sembarang di perjalanan nanti. Waduh bikin tegang aja ... sosok rentanya meninggalkan kami, bayangannya terasa aneh dibalik temaram cahaya lampu minyak di pikulan tua yang bergerak kian kemari mengikuti langkah kakinya. Pemilik toko kelontong sudah ditinggal tidur sedari tadi oleh istrinya. Kami pun mempersilahkannya untuk segera menutup toko dan beristirahat malam, sambil minta izin untuk tetap menunggu jemputan teman dari Jakarta di emperan tokonya. Tiba-tiba muncul cahaya terang ... semakin mendekat ... sebuah Avanza silver nampak ragu mendekati kami. Syukurlah, mudah-mudahan itu emergency car yang sudah kami tunggu-tunggu ... penuh harap. Tak lama turun seorang pria berdasi lepas, setengah baya, wahhhh ... lega ternyata kami semua mengenalnya ... tetangga sepupu di Sentul. Lepas sudah semua ketegangan yang menekan satu jam terakhir. Setelah menceritakan perjalanan sejak siang tadi dan menyampaikan ketidak-siapan kami melanjutkan perjalanan malam ... tanpa lampu sama sekali ... akhirnya dia menyarankan untuk memasukkan semua sepeda ke dalam mobil. Muat kok ... gak muat ... bisa kok ... gak bisa ...semua sibuk berargumen. Tapi nyatanya keempat sepeda kami menggunakan frame light FR dan fork dual crowns semua. Lagian itu mobil aset kantor, kalau dipaksakan bisa merusak interior dan tumpukan dokumen di bagasi. Melihat kondisinya mana mungkin bisa selesai dengan cara adhock ... akhirnya saya beri pilihan terbaik ... tetap bersepeda dengan dibantu penerangan dari mobil. Awalnya mereka ragu, tapi akhirnya setuju. Disepakati mobil akan selalu berada di belakang menyesuaikan kecepatan sepeda. Dan yang gowes akan mengikuti span of light kendaraan. Semua beban yang memberatkan, termasuk botol minum dititipkan ke mobil. Tanpa sadar semua berniat bakal FSA ... Full Speed Abisssss ... Kurang dari 100 meter dari titik start, kami berbelok ke kiri memasuki Jalan Cipayung - Gunung Geulis. Sekitar 200 meter selepas tikungan tadi, adik saya mendekat ke sebelah kanan, setengah berbisik ia meminta saya untuk melihat sebuah papan hitam dengan tulisan besar berwarna putih ... yang tertangkap cahaya mobil ... disana tertulis kata-kata yang gak mungkin saya tulis lengkap disini ... "150 meter Pemakaman K ...." ... Oh rupanya rambu penunjuk ke suatu pemakaman. Tiba- tiba ... Tiba-tiba ... grrreeeettttaaaakkkksss ... terdengar suara rantai mendadak berpindah dari sprocket adik saya. Dia langsung cepat meninggalkan saya, entah apa yang dilihatnya barusan hingga melakukan manuver seperti itu. Apa pun yang baru dia liat pastinya lumayan serrrreeeemmmm. Berbeda dengan dia yang nocturnal ... semakin malam semakin tajam mata ketiganya, saya yang gak sensi masalah gituan tiba-tiba merinding juga. Tanpa pikir panjang ... ikutan ngeblast ... mobil di belakang udah berkali-kali kasih peringatan ... gak peduli ... saya sekarang di urutan terbelakang soalnya! Selepas melewati sebuah tikungan menuju Jalan Bojong Koneng-Gunung Geulis (kami tetap ambil lurus) yang berada di sebelah kanan saya, tiba-tiba terdengar decitan rotor Hayes 8" dipaksa mendadak kerja di jalanan menurun tajam ... menyusul suara permukaan Maxxis High Roller 235 bergesek keras dengan aspal kasar berpasir ... zzzrrrroooooogggghhhhh ... berkali-kali ... !!! "Apaaa ituuu ... " teriak pengendara emergency car di belakang saya, rupanya dia sengaja tidak menggunakan AC selama mengikuti kami, kaca yang terbuka memungkinkan dia ikut mendengar suara keras dari depan. Dan hanya kami yang ada di sepanjang ruas jalan tersebut ... tak satu pun ada sosok manusia lain yang terlihat malam itu. Bulan dan bintang malam masih tetap absen sejak tadi. Begitu cahaya lampu mobil membentuk garis lurus dengan jalan di depan ... wawwwwwhhhhhh ... Begitu cahaya lampu mobil membentuk garis lurus dengan ruas jalan di depan ... wawwwwwhhhhhh ... terlihat adik saya masih berusaha menghentikan sepedanya setengah meter dari dinding cadas, di sebuah tikungan tajam ke arah kiri ... hm ... bisa drifting juga dia kalo lagi kepepet ... !!! Saya berusaha menyusul, tapi dia langsung kembali mempercepat laju sepedanya. seingat saya ada 2 tikungan tapal kuda yang saling berhubungan setelah itu, sehingga membentuk huruf "S" besar. Kemudian beberapa tikungan tajam berkali-kali kami lewati, sampai akhirnya kami masuk ke Jalan Pelangi Raya. Jalan cukup mendatar ... tapi saya masih tertinggal dengan mereka bertiga. Sampai akhirnya mendekati suatu tanjakan panjang di Jalan Pelangi Raya, mereka semua berhenti kehabisan nafas. Agak jauh di kanan depan dari tempat mereka berhenti terlihat sebuah bangunan besar berlantai banyak dalam kondisi terhenti proses pembangunannya. Saya segera mendekati mereka. Dari raut muka sepupu dan kakak ipar saya, nampaknya mereka sama sekali tidak tau apa yang terjadi pada adik saya. Karena mereka memang berniat balapan sejak awal. Perlahan saya dekati adik, dan menanyakan apa sebetulnya yang dia liat tadi sampe ngebut gila-gilaan. Nafasnya masih tersengal, hanya memberi tanda gelengan bahwa dia belum bisa menjawab pertanyaan saya. Well, saya pahami dia pasti lelah luar biasa. Tapi tiba-tiba seluruh bulu kuduk saya berdiri ... tak saya acuhkan. Ah ... peduli setan ... yang penting sebentar lagi bisa sampe Sentul, lagi pula sudah ada lampu merkuri di beberapa titik jalan pemukiman ini. Sebelum saya sempat melepaskan pertanyaan yang sama ke adik saya, tiba-tiba air mukanya berubah ... suaranya sedikit bergetar mengajak kami semua untuk segera melanjutkan perjalanan. Aneh ... saya tahu persis, dia pasti belum kuat untuk melanjutkan perjalanan. Benar saja ... ketika semua bersiap untuk berangkat, tiba-tiba dia minta untuk ditarik dengan mobil sambil berpegang ke pilar B mobil. Dia berada di sebelah kanan kendaraan, mobil berjalan pelan menariknya ke arah tanjakan tajam, beberapa kali pegangannya terlepas. Sedangkan kami masih mencoba gowes, berhenti, tuntun sepeda, gowes lagi, begitu bolak balik mencoba sekuatnya. Lelah luar biasa ... ! semua otot motorik dan persendian udah gak sinkron. Kira-kira 20an meter lagi mendekati puncak tanjakan, dimana terletak taman bundar yang menyatukan Jalan Pelangi Raya, Jalan Pelangi Golf, dan Jalan Pelangi Bulevar ... tiba-tiba saya melihat sekelebat cahaya merah mendahului kami ke arah bundaran tadi. Saya berusaha membuang pandangan ke tempat lain, tapi seperti terhipnotis saya pun terpaku melihat ke arah cahaya merah tersebut. Seperti proses metamorfosis ... perlahan cahaya merah tadi berubah ... mewujud jadi sesosok wanita berpakaian panjang merah. Pakaiannya berkelebat diterpa angin. Saya berada di belakangnya, rambut hitamnya kadang terkembang ke segala arah. Baru kali ini saya bisa melihat dengan jelas sesuatu yang gaib di luar mimpi ... ! saya kembali bisa mengendalikan diri, berbalik ke arah adik saya yang masih ditarik dengan mobil beberapa meter di belakang saya. Ketika kami berdekatan dia langsung balik bertanya, liat apa barusan ... ? Nah lho ... dasar indigo! Gak lama ... dia minta saya liat ke depan lagi ... ke arah bundaran ... Look man ... no wires ... !!! Gila si wanita masih ada ... melayang ... berputar sekitar tiga kali di bundaran itu. Setiap kali ujung pakaiannya berkelebat ... selalu menyisakan lidah-lidah cahaya merah! Tapi muka adik saya mulai terlihat tenang. Dia lepaskan pegangannya ke mobil dan minta mobil menyusul sepupu dan kakak ipar yang sudah lebih dulu tiba di bundaran. Setelah itu dia berbisik, melarang saya agar jangan sampai menoleh atau melihat ke arah kiri jalan ... bulu kuduk semakin meremang ... !!! Wanita merah yang terbang di bundaran perlahan menghilang ke arah Jalan Pelangi Golf. Mungkinkah ia berbalik dan muncul tiba-tiba di belakang kami ... suasana makin mencekat ... kerongkongan terasa kering ... minuman tertinggal di mobil ... ! Adik saya berjalan lebih santai, dengan tenang dia bilang ... wanita merah tadi bukan mahluk karbon seperti kita (bodo amat ... rese bener nih anak!) ... energinya sangat besar (sinar photon kalee ... neg juga lama-lama kayak paranormal kelakuannya!) ... tapi dia muncul untuk tujuan baik, mengingatkan kita untuk segera meninggalkan lokasi tersebut! Jika masih berada disitu saat hujan deras akan turun beberapa waktu lagi ... semua hal bisa terjadi ... !!! Ini dia nih yang gw gak demen ... kalo baik kok ujungnya ada intimidasi ... (ngedumel dalam hati) ... ! Tiba-tiba ... glleeggggggaaaarrrrrr ... cahaya kilat benderang di kiri langit! Adik saya berteriak ... "Jangan liat ke kiri ...!!!" Sial ... hampir saja ... ! Nahan nafas sebentar ... pencet F9, eh salah itu mah buat recalc ... maksudnya mau refresh (F5) ... gebleg gugup banget. Merasa gak suka dibawah kendali rasa takut, saya bilang ke adik saya gini ... loe ceritaan aja deh apa yang ada di sebelah kiri ... bodo amat! Okey dia bilang ... ! Nyesel juga jadinya! Tapi gengsi dong, kan gw duluan yang kenal planet bumi, gw duluan yang tau bima sakti, dan gw juga yang duluan bisa naek sepeda! Tapi dia duluan sih yang tau anti-gravitasi ... kalo anti-aging tanya ama om deh ... Gw mau nulis dengan tenang nih ... tanpa emosi lagi ... capek juga ternyata merecall memory. Lanjut ya ... Jadi menurut adik saya, di rumah kosong sebelah kiri yang baru kami lewati di tanjakan tadi tinggal sekelompok atau sekeluarga mahluk yang punya struktur keluarga seperti kita manusia ... ada orang tua ... ada anak-anak juga. Rupa-rupanya mereka sangat terganggu dengan kedatangan kami. Untungnya mereka mendapatkan penjelasan dari si wanita merah, bahwa kami hanya bermaksud lewat saja bukan menetap disana. Lho kenapa si wanita merah bisa paham bahwa kita dalam perjalanan ... tanya saya. Jawaban adik saya sungguh bikin sesak nafas ... ! Kan dia udah bareng sejak masuk Jalan Pelangi Raya. Sekarang dia warning lagi tuh untuk segera meninggalkan area bundaran ini. Sok tenang ... bukannya ngasih tau dari tadi! Setelah denger informasi tersebut saya langsung ajak mereka segera cabut menuruni Jalan Pelangi Bulevar. Kecepatan kami pasti menembus angka sekitar 50 atau 60 kilometer per jam melewati jalan menurun tajam, kemudian berbelok ke kanan dipenghujung turunan. Tiba di ujung jalan, terlihat pos satpam ... oh ini gerbang utama pemukiman tersebut pikir saya. Dua satpam terlihat bingung melihat kami muncul tiba-tiba ... gak sempet berhenti ... hanya sekedar nyampein "malem pak" ...sambil tetap gowes ke pertigaan Jalan Cijayanti Raya yang berjarak sekitar 100 meteran dari post satpam. Di situ baru saya putuskan untuk berhenti ... yang penting kan udah keluar kompleks! Hampir bersamaan kami berlima masuk melalui dua pintu ke sebuah kedai kecil di pertigaan itu. Baru saja duduk di bangku panjang ... belum lagi sempat pesan minuman ... tiba-tiba ... hujan turun seperti tumpah dari langit. Entah naluri atau rasa takut, saya berusaha duduk merapat ke adik saya! Penerangan kedai yang seadanya membuat bayang wajah manusia gak seperti biasanya ... glegar kilat terus bersautan. Hujan ini yang dimaksud wanita merah tadi ... ? Tanya saya ke adik yang duduk bersebelahan. Sambil mengangguk meng-iyakan, dia langsung minta saya kontak sopir yang membawa mobil pick-up dari Sentul. Sambil menunggu tambahan kendaraan kami berlima hanya diam, tak banyak bicara menikmati teh panas. Setengah jam kemudian mobil pick-up tiba di lokasi. Sang sopir menolak ketika kami tawarkan untuk minum ... wajahnya terlihat bicara ... ingin segera pergi dari situ. Semua sepeda sudah dinaikkan ke pick-up biru. Adik saya naik ke Avanza, sedangkan saya dan yang lain tetap naik pick-up menembus malam dan hujan deras ke Sentul. Hah ... hanya beberapa ratus meter dari kedai tadi, tiba-tiba hujan berhenti mendadak. Setibanya di Sentul, semua langsung mandi lalu bersiap pulang ke Jakarta. Malam terasa panjang ... banyak pengalaman baru yang diperoleh. Intinya, jangan pernah melakukan perjalanan jauh dengan sepeda tanpa persiapan yang matang, lampu adalah perlengkapan vital untuk perjalanan malam, dan alat komunikasi wajib dibawa. Dimensi gaib itu memang ada ... tapi yang terpenting jangan meninggalkan kewajiban kantor hanya karena kebelet pengen nyobain frame atau sepeda baru. Orang sabar pasti disayang Tuhan. Ketika dalam kendaraan menuju Jakarta, adik saya berpesan ... kapan dan dimanapun kita melakukan perjalanan sering-seringlah membaca surat Al-Ikhlas, selain membaca ayat Kursi. Asyik juga punya adik kayak dia ... meskipun sedikit autis ... [Cheesy] [Cheesy] [Cheesy] S E K I A N source : http://www.sepedaku.com/forum/showthread.php?t=23866&page=4