Dear all, 
Saya kirimkan artikel untuk Majalah Mediator, yang dikelola para frater Praja 
Keuskupan Purwokerto. Silakan kalau ada yang mau mengomentari atau menambah 
gagasan.

Have a nice weekend,
Blasius Slamet Lasmunadi Pr

Ekaristi dan budaya:
sebuah usaha untuk evangelisasi baru
 
Ilustrasi
“Romo Sinten,  saya mengusulkan setiap minggu ke-5 diadakan Misa dengan bahasa 
Jawa (Yogya-Solo). Jadi cukup 4 kali dalam setahun!” begitulah usul Ibu 
Jerawati dalam pertemuan tim liturgi dari lingkungan dan stasi Paroki Terang 
Bulan. Romo Sinten tidak langsung menjawab, melainkan memberikan kesempatan 
kepada Bapak Jujur, koordinator Tim liturgi paroki untuk menanggapi terlebih 
dahulu. Dengan tenang, Pak Jujur menanggapi usulan tadi, “Begini Romo, Bapak 
Ibu, rasanya liturgy itu bukan soal boleh dan tidak, melainkan kita mesti 
mencari dan menemukan kemungkinan apakah Misa dalam bahasa Jawa itu memang 
dapat dilaksanakan. Misalnya, berapakah jumlah orang yang mengerti bahasa Jawa, 
sementara itu para imam kita itu, Romo Sinten dan Romo Kudhu, asal dari tanah 
pasundan Jawa Barat, dan dibesarkan juga di sana, jadi tentu lebih menguasai 
bahasa Jawa Sunda. Pendek kata, saya tidak akan mengatakan boleh dan tidak, 
tapi sekali lagi, manakah “kemungkinannya”: adakah potensinya,
 mungkinkah menggunakan bahasa Jawa (Metaraman) tapi sementara ada banyak orang 
yang sudah tidak lagi memahami?” 
Mendengar jawaban Pak Jujur, Romo Kudhu yang ikut rapat juga ikut “nimbrung”, 
“Saudara-saudara, saya hanya akan menambahkan beberapa hal dari penjelasan 
Bapak Jujur tadi yang telah membuka sebuah jalan untuk membuat keputusan. Saya 
menambahkan pertimbangan ini, kalau dengan bahasa Jawa, sabda Tuhan hanya 
terdengar tetapi tidak dapat dimengerti oleh umat beriman yang merayakan 
Ekaristi, masihkah bahasa Jawa menjadi “relevan”? Sementara, pemahaman akan 
sabda Tuhan yang dibacakan dan diulas dalam homili menentukan makna rohani saat 
orang beriman berpartisipasi dalam doa syukur agung dan menyantap Tubuh dan 
Darah Kristus. Bagaimanakah “santapan surgawi” itu bermakna bagi pribadi mereka 
kalau tidak memahami “keseluruhan tema perayaan ekaristi”? 
Dengan mendengarkan pertimbangan Romo Kudhu, Romo Sinten, sebagai Pastor 
Paroki, mengangguk-angguk, dia pun lalu menambahkan, “Terima kasih Romo Kudhu. 
Saya melanjutkan saja, pertanyaannya adalah mungkinkah orang sampai pada 
kesadaran akan tugas perutusan, “Marilah kita pergi kita diutus”. Bagaimana ia 
mengerti diutus kalau tidak memahami pokok-pokok iman yang mesti diwartakan? 
Bagaimana dapat memahami, kalau bahasa pengantar saja kurang dimengerti?”
            Singkat cerita, Romo Sinten dan Romo Kudhu serta Pak Jujur, tidak 
memberikan keputusan melainkan memberikan berbagai pertimbangan untuk 
diputuskan sendiri oleh Ibu Jerawati. Ibu itu akhirnya mengatakan, “Para Romo 
dan para anggota Tim Liturgi, terima kasih atas pertimbangan yang diberikan 
tadi! Tanpa mengatakan setuju atau tidak atas usul saya, saya memahami pendapat 
Romo atas usul saya!”.  Rapat liturgy kali ini berakhir tanpa keputusan 
melainkan berakhir dengan “belajar membuat pertimbangan”!
 
 
Dari ilustrasi di atas, dapat ditarik, sekurang-kurangnya 3 tema menarik dalam 
rangka memahami kaitan antara ekaristi dan budaya 
 
  Ekaristi dan Budaya: berpusatkan pada pengaruh Ekaristi bagi seluruh hidup 
manusia.
Liturgi bukanlah aspek hidup menggereja yang dapat dihayati secara parsial 
terpisah dengan aspek kerygma, koinonia, maupun diakonia, melainkan sebuah 
aspek hidup menggereja yang menantang orang beriman untuk “melanjutkan” 
perayaan iman yang liturgis menuju perayaan iman yang “hidup”, yakni iman yang 
nyata terwujud dalam tindakan moral. “Kelanjutan ” itu bukan meninggalkan 
liturgy lalu mengganti dengan tindakan moral melainkan membuat “persatuan 
dengan Kristus melalui santapan Tubuh dan Darah-Nya” menjadi nyata dengan hidup 
yang diwarnai gaya hidup Kristus. Bagaimanakah pengertian itu sampai menyentuh 
rasa perasaan, akal budi, dan kehendak hati umat kalau “kotbah dan homili” 
tidak dapat dimengerti, meski dengan bahasa pengantar yang dimengerti 
sekalipun. 
            Bahasa “liturgis” bukan sekedar bahasa pengantar, yang dapat 
dimengerti melainkan “bahasa simbolis” yang membuat orang mampu menangkap makna 
rohani. Dalam bahasa simbolis itulah, kekayaan budaya setempat akan menambah 
kazanah symbol liturgy. Misalkan budaya pertanian: tim liturgy dapat 
menggunakan “pohon bamboo dengan akar-akarnya” sebagai pengganti pohon cemara 
pada hari Natal nanti. Mengapa? Menurut para petani, pohon bamboo mampu menawar 
racun dalam kolam ikan atau menjadi pembersih air. Bukankah Yesus yang lahir 
juga menjadi penawar racun “dosa” yang sudah berurat akar dalam hidup manusia? 
“ Contoh lain, awal puasa, Rabu Abu, sekitar altar dapat dihias dengan tebu, 
kelapa cengkir, dan pohon pisang. Dalam bahasa Jawa tebu merupakan singkatan 
dari “antebing kalbu” (kemantapan hati: tekad bulat), cengkir itu “kenceng ing 
piker” (berpegang pada prinsip yang benar), dan jadilah seperti pohon pisang, 
yang selalu berusaha memberikan orang lain kesempatan untuk
 tumbuh dan berkembang, juga kalau dirinya belum berbuah. 
Itulah sebuah wujud dari cinta persahabatan yang membebaskan. Cinta yang 
membebaskan itu tidak memaksa kehendak pribadi pada orang lain melainkan 
sebaliknya justru mengajak orang lain untuk belajar menentukan keputusannya 
sendiri. Bukankah itu sebuah cara pembelajaran untuk kaderisasi, sebagaimana 
dibuat oleh Rm Sinten, Rm. Kudhu dan Pak Jujur dalam ilustrasi tadi?
 
 Ekaristi dan Budaya : menyangkut sebuah “ujian” terhadap nilai budaya tertentu 
demi kepentingan Evangelisasi baru
Dengan menemukan bahasa- bahasa symbol yang ada dalam kebudayaan kita setempat, 
kita belajar untuk mengangkat bahasa symbol itu sebagai sebuah sarana 
“menjembatani” antara nilai budaya dan nilai Injili. Itulah proses inkulturasi 
yang tidak sekedar mengambil alih symbol lahiriah ditempatkan pada hiasan altar 
melainkan sebuah usaha menempatkan “peranan kateketis” atau aspek pewartaan 
dalam liturgy. Itulah artinya Evangelisasi baru: tujuannya bukan pertama-tama 
menambah baptisan baru melainkan justru mewartakan nilai Injili dalam 
kebudayaan, tempat umat beriman hidup dan berkembang. Wajah dan bentuk hasil 
kebudayaan itu barangkali sama, tetapi artinya menjadi berbeda, justru karena 
diberi “pemaknaan Injili”. Misalnya lagi, kebiasaan calon pasutri dengan 
pakaian adat Jawa biasanya mempelai laki-laki memakai keris yang diselipkan di 
pinggang belakang. Keris itu sebaiknya tidak diselipkan dulu sementara 
merayakan sakramen perkawinan dan berjanji satu sama lain dengan mempelai
 perempuan di hadapan Tuhan dan Gereja. Mengapa? Keris itu menjadi symbol 
“kewaspadaan terhadap musuh yang dapat datang menyerang tiba-tiba”, namun 
berhadapan dengan calon isteri dan Tuhan serta Gereja, justru “ semestinya 
tidak ada lagi sikap pembelaan diri   agar memiliki kesempatan menjadi orang 
yang rapuh, yakni siap untuk diarahkan dan diperbaharui oleh Tuhan dan Gereja, 
juga oleh isterinya”. 
 
 Ekaristi dan Budaya : menyangkut sebuah pembelajaran membangun komunitas yang 
mampu “ber-discernment”.
Kepribadian yang “rapuh” bagaikan “harta dalam bejana tanah liat” sebenarnya 
justru pribadi yang siap untuk belajar “ber-discernment”. “Discernment” 
bukanlah khas untuk para biarawan-biarawati atau para rohaniwan, melainkan 
kekhasan dan keistimewaan orang beriman yang dewasa. Keistimewaannya terletak 
dalam kesediaannya untuk selalu belajar “mempertanyakan peristiwa hidupnya” 
dalam keutuhan terang Injil, Tradisi dan Ajaran Magisterium.
 
Belajar bertanya itu mesti dimulai dari “observasi participants”, mengamati 
dengan terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat setempat untuk menemukan 
keprihatinan manusiawi. Langkah kedua, adalah mencari peluang pewartaan di 
balik keprihatinan manusiawi itu. Di balik keprihatinan ada “undangan Tuhan” 
untuk terlibat menindaklanjuti keprihatinan itu sebagai “tanah” yang dapat 
ditaburi benih-benih nilai Injili.  Langkah ketiga, membuat sebuah program 
pastoral yang nyata agar “penaburan benih injili dalam situasi keprihatinan” 
itu menjadi sebuah “tindakan umat beriman dalam sebuah jaringan kerja”. 
Akhirnya langkah keempat, program itu mesti menjadi sebuah “aksi” umat beriman. 
Setelah aksi tentu tidak lupa ada sebuah evaluasi untuk menemukan “kesadaran 
baru” lagi agar terjadi proses “bertanya” lagi.
 
Dalam proses discernment itu akhirnya, “belajar bertanya” merupakan cirri khas 
orang beriman, sebagaimana dikatakan Anselmus Canteburry, “Fides quarens 
intellectum”. Iman yang mencari pengertian, justru itulah inti proses 
evangelisasi baru. Evangelisasi baru itu bukanlah memprioritaskan penambahan 
jumlah umat,melainkan membumikan iman umat agar mengakar sehingga tumbuhlah 
kerajaan Allah di muka bumi. Karena itu, iman mesti mengakar pada budaya 
setempat. Proses pengakaran terjadi saat orang beriman  mau mengaitkan antara 
budaya dan liturgi. Proses Evangelisasi ini bukan sekedar menempelkan hiasan 
yang bernuansa budaya local, melainkan sebuah “proses komunikasi antar umat 
beriman dengan situasi budaya di mana dia tinggal”. Komunikasi itulah yang 
memungkinkan penemuan “potensi-potensi bahasa symbol yang dapat digunakan untuk 
mewartakan nilai-nilai luhur kemanusiaan.” Kalau kita dapat menemukan “bahasa 
symbol” entah dalam bentuk bahasa pengantar, hasil kebudayaan: pakaian dan
 “assesori”, atau upacara-upacara adat, pokok-pokok kebijaksanaan, “ di situlah 
ada “jembatan” untuk berinkulturasi. 
 
Akhir kata
Ekaristi dan kebudayaan menemukan titik temu dalam diri orang beirman. Justru 
karena menjadi tempat “titik temu itulah” orang beriman, setelah menyantap 
“tubuh dan darah Kristus” ditantang untuk “missionaris” sebagai orang yang 
diutus terlibat  mengakarkan nilai-nilai Injili dalam kebudayaannya. Tugas 
perutusan itu sebuah “commandment”, bukan perintah dalam arti majikan kepada 
bawahan melainkan sebuah kepercayaan yang dianugerahkan Tuhan kepada orang 
beriman, “ite missa est”.   Karena itu, inkulturasi sebuah tindakan orang 
beriman terus menerus untuk membumikan imannya, sehingga inkulturasi itu bukan 
sekedar penempelan lahiriah segala hasil budaya. Inkulturasi itu membutuhkan 
proses komunikasi yang mengangkat nilai-nilai budaya setempat, -sejauh 
mencerminkan kerinduan akan nilai-nilai Injili,-   menjadi “sarana” untuk 
mewartakan Injil. Karena itulah “inkulturasi mesti menjadi sarana kateketis 
dalam liturgy.”. 

Sumber inspirasi: Adhortatio “Sacramentum Caritatis” dari Paus Benedictus XI 
(22 Feb 2007) art. 77-78 tentang kaitan antara Spiritualitas dan budaya 
ekaristis dan Ekaristi dan evangelisasi budaya-budaya
Spirituality and eucharistic culture
77. Significantly, the Synod Fathers stated that "the Christian faithful need a 
fuller understanding of the relationship between the Eucharist and their daily 
lives. Eucharistic spirituality is not just participation in Mass and devotion 
to the Blessed Sacrament. It embraces the whole of life." (216) This 
observation is particularly insightful, given our situation today. It must be 
acknowledged that one of the most serious effects of the secularization just 
mentioned is that it has relegated the Christian faith to the margins of life 
as if it were irrelevant to everyday affairs. The futility of this way of 
living – "as if God did not exist" – is now evident to everyone. Today there is 
a need to rediscover that Jesus Christ is not just a private conviction or an 
abstract idea, but a real person, whose becoming part of human history is 
capable of renewing the life of every man and woman. Hence the Eucharist, as 
the source and summit of the Church's life and mission, must be
 translated into spirituality, into a life lived "according to the Spirit" (Rom 
8:4ff.; cf. Gal 5:16, 25). It is significant that Saint Paul, in the passage of 
the Letter to the Romans where he invites his hearers to offer the new 
spiritual worship, also speaks of the need for a change in their way of living 
and thinking: "Do not be conformed to this world but be transformed by the 
renewal of your mind, that you may prove what is the will of God, what is good 
and acceptable and perfect" (12:2). In this way the Apostle of the Gentiles 
emphasizes the link between true spiritual worship and the need for a new way 
of understanding and living one's life. An integral part of the eucharistic 
form of the Christian life is a new way of thinking, "so that we may no longer 
be children tossed to and fro and carried about with every wind of doctrine" 
(Eph 4:14).
The Eucharist and the evangelization of cultures
78. From what has been said thus far, it is clear that the eucharistic mystery 
puts us in dialogue with various cultures, but also in some way challenges 
them. (217) The intercultural character of this new worship, this logiké 
latreía, needs to be recognized. The presence of Jesus Christ and the 
outpouring of the Holy Spirit are events capable of engaging every cultural 
reality and bringing to it the leaven of the Gospel. It follows that we must be 
committed to promoting the evangelization of cultures, conscious that Christ 
himself is the truth for every man and woman, and for all human history. The 
Eucharist becomes a criterion for our evaluation of everything that 
Christianity encounters in different cultures. In this important process of 
discernment, we can appreciate the full meaning of Saint Paul's exhortation, in 
his First Letter to the Thessalonians, to "test everything; and hold fast to 
what is good" (5:21).


       
____________________________________________________________________________________Looking
 for a deal? Find great prices on flights and hotels with Yahoo! FareChase.
http://farechase.yahoo.com/

Kirim email ke