Mungkin ada yg belum baca:

2 November 2007 | 937 kata
Media
*Blogger, Pluralisme dan Negara Indonesia*
Oleh  Imam Shofwan
**

SABTU itu lebih dari 400 orang, kebanyakan lelaki umur 20an atau 30an tahun,
memadati Mega Blitz, sebuah teater di daerah Kebon Kacang, Jakarta.
Kebanyakan dari mereka mengenakan *blue jeans* dan kaos, tapi ada juga
beberapa oom-oom dengan rambut memutih, ikut datang. Acaranya, "pesta
blogger" dengan *talk show*, diskusi, cekikik-cekakak plus makan siang.
Antrian panjang tapi rapi serta diskusi muncul sana-sini. Para blogger ini
juga saling sapa, ambil foto, ingin tahu siapa-siapa, yang mereka kenal dari
*blog walking*.

Anehnya, dan ini biasa dalam peradaban masyarakat Jakarta, acara ini diberi
label "pertemuan nasional." Pesertanya, diklaim datang dari Kuala Lumpur,
Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Mataram plus dua orang dari Poso,
Sulawesi Tengah. Slogannya, lebih *kemlinti* lagi, "Suara Baru Indonesia."
Peserta terjauh, datang dari Poso, seorang wartawan, yang pernah dituduh
ikut makan uang dana pengungsi Poso bersama Bupati Poso Andi Asikin Suyuti!

Wimar Witoelar, seorang kolumnis-cum-blogger-cum-pemandu *talk show*-cum-mantan
juru bicara presiden Abdurahman Wahid, boleh dibilang jadi pusat perhatian
kerapatan ini. Bukan hanya berkat ukuran badan besar, atau baju warna
jingga, lengan pendek longgar, serta berat suara tawa dia, tapi juga
kelihaian Witoelar memandu perbincangan. Dia buat celetukan lucu, ringan
tapi serius. Dia bikin acara ini bernas, tak slogan melulu. Witoelar duduk
di panggung dengan empat tamu.

Pembukaan, Witoelar bilang dia merasa mendapat kehormatan bisa diundang
anak-anak muda. "Tidak banyak orang tua diundang acara beginian," katanya.
Grrrrrr. Witoelar bilang ada 482 blogger yang bergabung dalam acara di Mega
Blitz pagi itu. Lawan bicaranya tiga blogger—Andrianto Gani, Enda Nasution,
Budi Putra—serta politikus: Menteri Komunikasi dan Informasi Muhammad Nuh.

Witoelar santai saja. "Pak Menteri belakangan," katanya.

Suasana begini mungkin luput dari pemberitaan suratkabar Jakarta. Kebanyakan
wartawan Jakarta, yang belum bisa menghilangkan gaya pemberitaan warisan
Orde Baru, tentu saja, mengutip pejabat dan pejabat. Maka Muhammad Nuh
dikutip dengan mengatakan pemerintah tak akan membredel blogger. "Sudah
bukan zamannya," kata Nuh. Kedua, Muhammad Nuh juga dikutip menyatakan hari
Sabtu itu, 27 Oktober, sebagai "hari blogger nasional … milik kita bersama."
Nuh juga memberi hadiah laptop.

Sebut saja *Koran Tempo*, *The Jakarta Post* dan *Bisnis Indonesia*,
ramai-ramai menaruh omongan Nuh dalam *headline* mereka. Tak ada yang kritis
bertanya: apa pula blogger nasional itu? Tak ada yang usul agar para
blogger, misalnya, dari Lhokseumawe, Singkawang, Tomohon, Maumere, Sorong
atau Niki-niki, diajak bicara dulu sebelum main klaim "blogger nasional."
Soalnya, peradaban Jakarta, dari zaman Soekarno hingga Susilo Bambang
Yudhoyono, dari konglomerat media hingga blogger amatir, belum punya
kebiasaan berpikir kritis soal label "nasional".

"Blogger itu majemuk, ada yang serius, ada yang nggak serius. Ada yang
bermutu, ada yang nggak bermutu," begitu tutur Wimar Witoelar. Para blogger
pun bertepuk tangan.

Lalu dia mengajak tiga blogger bicara. "Pak Menteri, takut macet, silahkan
kalau mau pergi dulu. Ini nggak ngusir lho!" kata Witoelar. Muhammad Nuh
izin pergi dulu. Dia harus mengejar pesawat. Maka Nasution, Budi dan Gani
dapat giliran bercerita. Intinya, mereka ingin blogger bisa jadi media
ekspresi baru, yang mampu menyuarakan pikiran, pendapat dan perasaan para
blogger di Indonesia, dengan lebih bebas dan lebih jujur dari media *
mainstream*—Nasution kemudian menyebut nama harian *Kompas*. Budi bilang
bagaimana pun bagus *hosting*-nya, tapi *content* yang menentukan bagus
tidaknya suatu blog.*

Talk show* riuh-rendah. Banyak yang tanya, banyak yang komentar. Tapi juga
banyak yang plok plok plok. Witoelar senyum terus. Suasana enak. Apalagi
ketika mendekati acara makan siang.

Blog atau weblog mulai masuk dalam kesadaran khalayak media pada 1999 ketika
sebuah perusahaan California, Pyra Labs, meluncurkan Blogger.com. Ia
dirancang sebagai sebuah sistem publikasi internet. Mekanisme kerjanya
dirancang untuk orang yang secara teknologi kurang melek. Ia berkembang
cepat. Pada 2002, orang sudah bisa menerbitkan teks, gambar, suara maupun
video dalam blog mereka. Politikus korban pertama blog adalah Trent Lott,
ketua Partai Republik di Senat Amerika, ketika ucapannya yang rasialis,
menjalar dalam berbagai blog dan mailing list. Lott akhirnya mundur. Blogger
juga membuat Howard Dean jadi kuda hitam dalam pencalonan kandidat presiden
Partai Demokrat pada 2004. Ironisnya, media *mainstream* praktis tak
memperhitungkan blog.

Blogger jadi mencuat dan bersinergi dengan media mainstream ketika tiga bom
meledak di London pada 7 Juli 2005. BBC minta bantuan blogger untuk
memberikan informasi, gambar maupun video. BBC bahkan menyediakan ruang,
baik dalam versi radio, televisi mapun situs web, buat informasi yang datang
dari warga.

Singkatnya, "blogger Indonesia" mungkin harus ditanya, apa arti kata
'indonesia' yang menjadi predikat mereka? Acara blogger ini sendiri digagas,
satu setengah bulan sebelumnya, oleh bukan hanya warga Indonesia. Memang ada
Enda Nasution, Budi Putra dan Gani. Tapi satunya lagi adalah Ong Hock Cuan
dari perusahaan *public relations* Maverick. Ong mantan wartawan harian *Asia
Times* (Bangkok) dan warga negara Malaysia. Ong lama tinggal di Jakarta.
Pertemuan pertama panitia pertemuan ini berlangsung di kantor Maverick di
Jl. Belitung, Jakarta. Ong juga blogger rajin.

Witoelar ringan saja biang, "Kita bukannya mau menyaingi Sumpah Pemuda ha ha
ha…."

Ong pula yang bantu mencarikan tempat, sponsor dan sebagainya. Beberapa
sponsor besar berhasil dirangkul: Microsoft, Nokia dan XL. Masing-masing
membantu sebesar Rp 50 juta. "Tigapuluh juta *cash* dan 20 juta barang,"
tutur Enda Nasution. Selain itu, muncul dukungan dari Kementerian Komunikasi
dan Informasi.

Nasution getol bilang terima kasih untuk para sponsor. Wajar saja. Tanpa Rp
90 juta itu, para undangan tak bisa makan siang. Demokratisnya, setiap kali
nama Microsoft disebut, tanggapan dari khalayak di Mega Blitz adalah … hu hu
huuuuu. Microsoft tampaknya tak punya banyak teman di kalangan blogger Mega
Blitz.Lebih dari itu semua, dari slogan hingga nasionalisme, banyak peserta
yang puas dengan acara ini. Misalnya, Tiara Ischwara, pemilik
www.lolipops.multiply.com, menganggap blog sebagai media alternatif. Tiara
sehari-hari bekerja di Brisbane, Australia. Dia menggunakan blog untuk
berbagi cerita dengan keluarganya di Jakarta. "Lebih bebas mengeluarkan
pendapat, lebih pribadi," tuturnya. Tiara sedang berlibur di Jakarta saat
datang di pesta blogger.

Blogger macam Tiara, mungkin sulit dibayangkan akan bikin Muhammad Nuh dan *
establishment* Jakarta, dag dig dug. Tapi blogger macam Witoelar, yang
langganan dibredel program televisinya, baik zaman Soeharto maupun zaman
Yudhoyono, yang harusnya bisa mengikuti jejak blogger asli di California
sono dan bikin dag dig dug media *mainstream* serta para penguasa.***


*) Imam Shofwan adalah kontributor sindikasi Pantau dan tinggal di Jakarta.



-- 
Rgds,


Kamaruddin Azis
http://daengnuntung.com
ph: +62813-6062-5711

Kirim email ke