Demikianlah, pak, dibanyak agama, pengalaman agama yang rutin itu 
tenggelam menjadi ritual.

Saya perhatikan umat disekitar saya kalau ke gereja (Protestantkah 
atau katholikkah), apakah di di Indonesia ataukah (apalagi) di Eropa, 
terjadi semacam automatisme. Umat melaksanakan ritual itu, secara 
automatis, mungkin karena sudah hafal, termasuk menerima hostia.

Lalu mendengar khotbah sambil me-lamun2 atau memikirkan yang lain, 
ada yang menguap.

Waktu berdiri, berdiri, waktu berlutut, berlutut, dan semua mazmur 
alias mantra keluar dari mulut secara automatis.

Keluar dari gereja, kembalilah siumat menjadi manusia se-hari2, buat 
lagi hal hal yang baru saja ditregur dalam khotbah.

Menyedihkan, kalau ritual penerimaan hostia, dianggap suatu langkah 
menuju kesurga. Tuhan harus kita terima kedalam diri kita melalui 
amal dan perilaku kita ("dengan pikiran, perkataan dan perbuatan"). 
Namun, banyak yang menerima seolah hostia itu adalah suatu syarat 
tiap hari minggu, kalau tidak, maka berdosa..

Tak heran, dengan demikian banyaknya gereja, mesjid dan rumah2 ibadah 
lainnya, kemaksiatan dinegeri ini tak berkurang.

Yang dikejar adalah ritual. Bukan amal.

Salam hormat dalam ketidaktahuan

Danardono

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Rinto Jiang <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
> Mang Ucup, KH dan rekan2 lainnya,
> 
> Sebenarnya banyak sekali ritual2 pernak pernik dalam tradisi dalam 
> kebudayaan Tionghoa. Saya sih belum pernah mendengar kui 12 kali 
seperti 
> itu karena pengertian saya akan ritual dalam tradisi juga tidak 
memadai. 
> Buku Lun Yu yang sering saya lihat di perpustakaan juga belum 
pernah 
> saya intip2 dalamnya.
> 
> Kenapa ada kui (berlutut)? Ini bedanya budaya Timur dan Barat. 
Budaya 
> Timur sangat konservatif, mana boleh ada pelukan2 atau cium2an 
dengan 
> orang tua dalam menyatakan rasa sayang, hormat atau penyesalan kita 
> terhadap mereka. Kalau di Barat, berpelukan, berciuman adalah 
lumrah 
> untuk menyatakan rasa sayang terhadap orang tua. Jadi, kui itu 
bolehlah 
> disandingkan dengan pelukan di Barat sono.
> 
> Kebudayaan Tionghoa itu mementingkan etika dalam hubungan antar 
manusia. 
> Ini dijiwai dari ajaran Konfusius yang sebenarnya memang cuma 
mengatur 
> interaksi antar individu dalam sistem sosial. Itu makanya kalau 
ajaran 
> KHC dipaksakan harus punya Tuhan, nabi, kitab suci, surga neraka, 
tempat 
> peribadatan misalnya demi menjadi "agama" dalam kerangka definisi 
agama 
> di Indonesia, saya rasa ini sedikit absurd. Mengapa? Karena tidak 
ada 
> nabi dalam ajaran KHC, kitab suci juga tidak ada. Dalam Lun Yu 
maupun 
> lain2, jarang sekali KHC menyebut Tian (langit) karena ia memang 
cuma 
> menekankan etika interaksi antar manusia. Mau lihat KHC yang lebih 
> murni? Boleh dirujuk ke Korea dan Jepang. Murni di sini dalam arti 
tidak 
> harus dipaksa2 menuruti kerangka suatu agama lain demi menjadi 
sebuah 
> ajaran resmi  yang diakui oleh negara.
> 
> OK, back to the topic. Ritual pernak pernik dalam kebudayaan 
Tionghoa 
> itu sebenarnya hanyalah suatu perwujudan dari etika2 yang diajarkan 
KHC. 
> Setiap ritual mempunyai nilai etika tersendiri yang diharapkan 
dapat 
> dijiwai dan diresapi oleh orang2 yang melaksanakan kebiasaan tadi 
dalam 
> kehidupan sehari2. Namun dalam perkembangannya, banyak ritual2 tadi 
> hanya dilaksanakan tanpa diikuti oleh nilai2  etika yang menjiwai 
ritual 
> tadi. Jadi ritual tinggal ritual bila hanya dilaksanakan karena 
paksaan 
> atau demi menunjukkan bahwa kita ber-kulit-kan etika. Misalnya 
saja, 
> kalau saya soja atau kui pada orang tua, tapi dalam kehidupan 
sehari2 
> tidak berbakti, buat apa soja dan kui kalau itu cuma semacam 
protokoler?
> 
> Jadi, kui 1000 kali, soja 100000 kali kalau besoknya melakukan 
kesalahan 
> lagi, buat apa soja dan kui? Ritual hanyalah satu simbol dari 
sebuah 
> nilai etika. Saya percaya setiap ritual punya nilai tersendiri yang 
> bertolak dari interpretasi manusia itu sendiri. Berkaitan dengan 
kui 
> atau soja ini, dulu ada member di milis yang menceritakan seorang 
ibu 
> yang memohon sambil menangis2 kepada anaknya untuk sembayang dengan 
dupa 
> (hio) kepada sang ayah yang telah almarhum di malam Imlek, namun si 
anak 
> bersikeras tidak mau. Bahkan terakhir permohonan sang ibu supaya 
sang 
> anak membungkuk saja sambil berdiri di hadapan foto sang ayah tetap 
> ditolak sang anak. Alasannya sederhana, tidak boleh menyembah 
kepada 
> siapapun selain Tuhan Allah karena Tuhan Allah itu pencemburu.
> 
> Pemikiran seperti ini saya paling tidak suka. Pemikiran di atas itu 
cuma 
> merendahkan nilai konsep Tuhan itu sendiri. Membungkuk untuk 
> menghormati, sembahyang pake dupa, berlutut, kui atau soja kepada 
> almarhum ayah sendiri dianggap menduakan Tuhan? Ini kan 
interpretasi 
> masing2, kalau saya mau menganggap ayah saya itu Tuhan, maka Tuhan-
lah 
> dia dalam hati saya. Kalau saya menghormati ayah saya cuma sebagai 
ayah 
> yang punya jasa membesarkan saya, maka ayahlah ayah saya itu. Apa 
> kaitannya dengan Tuhan Allah, God or apapun kata dalam ribuan 
bahasa di 
> dunia yang merujuk kepada suatu yang Maha Kuasa di atas sono.
> 
> Siapa bilang orang komunis itu atheis? Mereka itu juga punya Tuhan, 
dulu 
> di zaman Mao, Mao Ze-dong lah Tuhan-nya orang2 Cina sana. Konsep 
Tuhan 
> itu jangan direndahkan menjadi menghormati orang tua saja juga 
dianggap 
> menduakan Tuhan. Demikian sedikit pandangan saya atas benturan 
ritual 
> dan tradisi lokal vs ritual dan tradisi yang dibawa bersama ajaran 
agama.
> 
> Terakhir, balik lagi ke topik semula, saya cuma ingin menekankan 
bahwa 
> ritual apapun tidak penting, yang penting adalah nilai etika yang 
> menjiwai ritual tersebut. Mau kui berapa kali tak penting, yang 
penting 
> adalah rasa penyesalan dan penghormatan terhadap orang tua dalam 
ritual 
> tersebut.
> 
> 
> Rinto Jiang
> 
> 
> 
> King Hian wrote:
> 
> > Mang Ucup,
> > Saya belum pernah mendengar tentang hal ini.
> > Karena saya belum pernah (dan mudah2an tidak) melakukan kesalahan 
> > besar terhadap orang tua. :D
> >  
> > Salam,
> > KH
> >
> > */Mang_Ucup <[EMAIL PROTECTED]>/* wrote:
> >
> >     Pertanyaan mengenai cara kui dan kao?
> >
> >     Apabila kita melakukan kesalahan besar terhadap orang tua
> >
> >     Makan kita diwajibkan kui sebanyak 12 kali apakah benar 
demikian?
> >
> >     Jadi kurang lebih mirip seperti pada saat waktu mengangkat
> >     seseorang jadi guru silat begitu?
> >
> >     Mohon pencerahannya.
> >
> >     Tengkyu
> >
> >     Salam dgn soja
> >
> >     Mang Ucup
> >
> >      
> >
> > ------------------------------------------------------------------
------
> >





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke