Hehehe juga. Atau mungkin bisa ditengahi
begini, ya. Puisi yang bernuansa “spiritual” tidak bisa
dipahami secara intelektual, sedangkan puisi “non-spiritual” perlu
dipahami seperti anjuran guru Anda tersebut. Bagaimana? Atau mungkin pendapat
skalaraslah yang paling aman, apapun bentuknya, puisi mesti didekati dengan
memakai belahan otak kiri maupun otak kanan. J Andy From: ulysee
[mailto:[EMAIL PROTECTED] Wah kok beda sama pendapat guru bahasa
indonesia saya dulu yang bilang suatu puisi baru bisa dipahami apabila memakai
semaksimal mungkin pengetahuan intelektual. Hehehe, itu kata dia waktu mbahas
puisi AKU nya Chairil Anwar jaman saya masih SMP dulu, sebab katanyaaaaa
untuk membahas apa yang mau disampaikan oleh si AKU ternyata harus paham
dulu selain biografi pengarang juga latar belakang sejarah, ekonomi dan politik
jaman puisi itu ditulis. ZFY-xiong bukunya udah terbit ya? Judulnya
apa boleh tau ndak? -----Original Message----- Maafkan saya karena ikut
nimbrung. Menurut saya, puisi sebaiknya dinikmati dan dipahami dengan
“bahasa hati”, alih-alih memakai kacamata pengetahuan intelektual
kita. Itulah sebabnya sangatlah sulit bagi kita untuk men’decode’
apa yang ingin disampaikan oleh sang pujangga bila kita mencoba
mengunyah-ngunyah puisinya dengan ‘otak kiri’ kita. CMIIW. Andy .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links
|