----- Original Message -----
Sent: Saturday, August 13, 2005 12:39
AM
Subject: [budaya_tionghua] Zhang Yimou
Road Home
Kawan Herman,
Aku mencoba memberikan tulisan singkat mengenai inti film "The Road Home"
tersebut, tentunya dari sudut pandangku sendiri.
Pertama, perlu diketahui, Zhang Yimou (55 tahun) adalah sineas besar
China yang sering dituduh Pemerintahnya sendiri sebagai pembangkang, penentang
kebijaksanaan komunis. Akibatnya sebagian filmnya dicekal, dilarang beredar di
dalam negeri sendiri (!).
Sejak film debutnya sebagai sutradara, "Red Shorgum" (1988) disusul
kemudian; "Ju Dou", "Raise the Red Lantern", "Not One Less", "Story of Qiu
Ju", sampai yang terbaru, "Hero" (2003) dan "House of the Flying Dagger"
(2004), hakekatnya dengan lihai ia selalu menyusupkan kekhasan tradisionil
budaya China.
Menurut hematku, Zhang seperti mau bilang pada seluruh dunia, "Jangan
percaya kalau 1,5 miliar penduduk RRC adalah lahir-bathin komunis semuanya!"
Terus-terang masih ratusan juta orang yang beragama Islam, Kristiani, Buddha,
dan lain-lainnya. Terlebih lagi yang masih menjunjung tinggi budaya
leluhur dari Khong Hu Cu.
Nah, kembali pada fokus utama kita film "The Road Home" yang diangkat
dari novel "Remembrance" ("Wo De Fu Qin Mu Qin", Kisah Ayah dan Ibuku) karya
asli Bao Shi. Secara sangat halus Zhang memasukkan unsur-unsur kepercayaan
tradisionil.
Antara lain; ketika penduduk desa bergotong-royong membangun rumah
sekolah, maka seorang gadis, Zhao Di (diperani Zhang Zhiyi), menenun kain
merah untuk diletakkan di bubungan. Ini kepercayaan rakyat untuk mengusir
bala, agar rumah tersebut awet. Maka Pak Guru Luo Changyu (diperani Hao Zheng)
tak mau memasang plafon (langit-langit) agar ia bisa memandangi kain merah
tenunan gadis bermantel merah itu.
Setelah Changyu meninggal, Zhao Di yang sudah tua (dimainkan oleh Yulian
Zhao) memaksakan diri menenun kain penutup peti matinya. Padahal anaknya,
Yusheng (Sun Honglei), yang sudah menjadi pengusaha kaya, ingin membeli
kain serupa di toko.
Zhao Di tua juga berkeras menolak peti mati dibawa dari rumah sakit di
kota ke kampungnya dengan menggunakan mobil atau traktor. Menurut kepercayaan
leluhur peti mati itu mesti digotong kembali ke jalan kampungnya sampai ke
pemakaman. Yusheng mematuhi kehendak ibunya dan meminta Kepala Desa membayar
tukang gotong peti mati, kalau perlu menyewa orang dari
kampung tetangga.
Namun ternyata mantan-mantan murid mendiang Pak Guru berdatangan hingga
jumlahnya lebih dari 100 orang dan mau bergantian menggotong peti
mati sambil bersorak di setiap persimpangan jalan, sesuai adat zaman
dulu.
Perlu ditekankan, cerita ini bersetting tahun 1960-an ketika pemerintah
komunis dengan kejam melarang semua acara tradisionil dan kepercayaan yang
mereka tuduh takhayul. Bagi yang melanggarnya bisa dikenakan sanksi dan
hukuman berat!
Namun semua penduduk desa mendukung kemauan Nenek Zhao Di, termasuk
Kepala Desa, juga tak mempedulikan larangan pemerintah komunis, tetap bertekad
mewujudkan berbagai ritual tersebut ...
Begitu pesan yang tersirat dan disampaikan oleh Zhang Yimou bersama
Bao Shi di balik romantisme percintaan tempo doeloe antara seorang guru
pendatang dengan gadis desa nan mengharu-biru! Hebatnya Zhang menyampaikannya
dengan sangat halus hingga pihak sensor dari pemerintah sekali lagi
terkelabui. Pesan yang baik memang disampaikan dengan secara tak menggurui
namun terselimuti, bak pil pahit yang dibungkus dengan gula ...
Yan