Dirgahayu

jawaban kawan Asahan Aidit untuk bung Chan CT 
sangat menarik. saya banyak mendapat pelajaran
dan informasi dari uraian bung Asahan Aidit ini.
sehingga perkenankan saya untuk menambahkan
diskusi baik antara kawan Asahan Aidit vs bung
Chan CT.

masalah istilah untuk menamakan diri suatu etnis
adalah sepenuhnya HAK ETNIS BERSANGKUTAN. pemaksaan
penamaan untuk seseorang, sekelompok etnis, sebuah
bangsa adalah sebuah bentuk represif yang sangat
vulgar. kolonial belanda pernah menamakan rakyat
indonesia dgn istilah 'inlander'. tetapi harian
SIN PO akhirnya menolak penggunaan kata 'inlander'
dan menggantinya dengan istilah INDONESIA. harian
SIN PO ini adalah harian pertama yang menggunakan
kata INDONESIA dalam tajuk beritanya. 

SIN PO tidak memaksakan kata INDONESIA. tetapi karena
terdapat konsensus di antara para pejuang kemerdekaan
saat itu yang memilih kata INDONESIA maka SIN PO
telah bertindak benar dengan menolak kata 'inlander'
dan menggantinya dengan kata INDONESIA. sekalipun SIN PO
adalah terbitan golongan etnis tionghoa tetapi ternyata
kalangan SIN PO sangat menghormati, kooperatif dan
menunjukkan solidaritasnya terhadap perjuangan kemerdekaan
INDONESIA. 

bung Asahan Aidit perlu mengetahui bahwa selain 
penindasan fisik terdapat juga penjajahan psikologis
dan represif bahasa/istilah. Lenin memberi perhatian
yang sangat besar untuk masalah POLITIK ISTILAH. kawan
DN. Aidit mengetahui hal ini. sehingga setau saya,
hanya PKI saja yang paling baik menggeluarkan begitu
banyak slogan perjuangan. 

golongan tionghoa telah membuktikan diri sebagai 
golongan yang sangat toleran, sekalipun belum tentu
bersimpati dan mendukung, terhadap rezim orde baru
dengan tidak terlalu memaksakan kehendak ketika dirinya
diberi-nama CINA, demi semata-mata menghindari konflik
horisontal dan memperparah jalannya kehidupan berbangsa
pasca tragedi 65 yang begitu berdarah dan keji. tetapi 
saat ini masanya sudah agak berbeda. diktator suharto
telah mundur sekalipun tak tersentuh, dan sudah saatnya
kita kembali pada proses nation-building yang pernah 
diintervensi oleh soehato dan orde baru. salah satu
usaha itu adalah dengan menghormati pilihan penamaan
diri untuk etnis tionghoa. 

saatnya, kita menegaskan bahwa bukan hanya golongan
etnis tionghoa saja yang perlu berkontemplasi spt
yang selalu bung Asahan Aidit serukan. tetapi proses
kontemplasi ini harus dilakukan oleh seluruh golongan
rakyat Indonesia. agar kerukunan, saling menghormati
sesama saudara sebangsa dll dapat mulai dipraktekan
oleh seluruh golongan dan latar belakang. 

dan sebagai orang yang telah berpihak untuk menentang
segala bentuk penjajahan, saya mengira, kawan Asahan
Aidit pun akan menentang jenis penjajahan 'bahasa'. 
sebagai orang muda, saya hendak belajar banyak dari
sikap anti-penjajahan dari para senior saya spt bung
Asahan Aidit ini. sehingga saya pun berusaha dengan
objektif dan terbuka menentang usaha-usaha segregatif
sebuah rezim mulai dari pola-pola represif sampai pada 
kebijakan penggunaan istilah yang tampaknya remeh. 

sebagai seorang nasionalis kebangsaan indonesia, bung
Asahan Aidit seharusnya tidak mudah terjebak masuk
jerat parochialisme segregatif yang mengutamakan politik
etnisitas. nasionalisme kebangsaan tentu saja memiliki
bobot lebih tinggi dari politik etnis sehingga yang perlu
diutamakan adalah nasionalisme kebangsaan dan pola 
identifikasi diri sebagai BANGSA sehingga maksud-maksud
dan usaha-usaha untuk merenggangkan harmonisasi antar
golongan etnis dan usaha membagi rakyat ke dalam golongan
etnis dengan sistem berlapis spt terlihat dalam proyek
penggunaan istilah "pribumi" dan "non-pribumi" harus
DITOLAK, DIHARAMKAN, DILAWAN.... 

Mayat




--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "BISAI" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
> Bung ChanCT yang sangat baik.
> 
> 
> Saya dapat menangkap makna yang terpositif  dari uraian bung: 
memblokir rasialisme di semua sudut dan pintu-pintunya yang terkecil 
sekalipun. Tapi yang tersisa, juga masih memerlukan peneropongan 
lebih lanjut. Di luar karantina, masih ada faktor-faktor terselubung 
lainnya yang selalu siap menyebarkan virus gelap dengan berbagai 
cara yang salah satunya adalah elitisme, dengan kata  atau 
phraselogisme, terminologi, yang itu biasanya dilakukan oleh 
penguasa dan pejabat tinggi.
> Kata <pribumi> sebagai kata biasa di antra puluhan ribu kata 
lainnya di dalam bahasa Indonesia  sebenarnya lebih banyak dikaitkan 
dengan istilah Antropologi yang bersinonim dengan  <penduduk asli> 
atau  < bumiputera>. Itu juga yang saya maksudkan dengan arti netral 
atau arti sesungguhnya dari kata <pribumi>. Tapi lalu kata itu 
diberi warna politik oleh para elit bangunan atas yang tentu saja 
untuk tujuan politik atau keuntungan politik. Melalui instrusksi, 
atau mungkin Peraturan Pemerintah  atau Keputusan Presiden atau 
rencana Undang-Undang dan sebagainya, sebuah kata netral direnggut 
dari kamus umum bahasa Indonesia dan dipindahkan ke kamus Politik. 
Kamus umum bahasa Indonesia bertambah menipis sedangkan kamus 
Politik bertambah tebal. Salah satu budaya bangsa kita adalah budaya 
akronim, budaya phraseologi, budaya semboyan dan budaya verbalisme. 
Tapi semua budaya itu dimaksudkan untuk membuat tabir kabut, 
filsafat semu sebagai senjata buram penguasa bila berhadapan dengan 
rakyatnya yang mereka anggap masih bodoh, tidak kritis. Kita ambil 
contoh dari yang paling hangat sekarang ini. Perundingan antara 
Pemerintah dengan GAM telah diahiri dengan persetujuan yang disebut 
MoU itu. Pemerintah NKRI sudah jelas kalah dan mendapat banyak 
kritik dari kalangan masyarakat luas di Indonesia. Saya pribadi 
menganggap kekalahan itu adalah kekalahan positif karena saya selalu 
berpihak kepada semua rakyat yang berontak untuk melawan ketidak 
adilan. Lalu apa yang dikatakan oleh salah seorang perunding penting 
dari Pihak Pemerintah atas kritik bahwa NKRI tak disebut-sebut dalam 
persetujuan itu yang itu juga berarti GAM telah punya senjata 
strategis di masa yad untuk kemungkinan memerdekakan diri secara 
penuh dan tidak ada keterikatan dengan NKRI. Sang Perunding 
mengatakan, itu kan cuma soal "semantik". Dia mengambil dari istilah 
Linguistik untuk menghindari kata <penafsiran> karena kalau kata itu 
yang dia gunakan risikonya akan lebih besar untuk dikrubutin banyak 
orang. Tapi kata <semantik> tidak semua rakyat jelata mengenalnya 
yang berarti sang perunding ingin menyemukan kekalahan besarnya dan 
berharap sudahlah untuk apa diributkan dan jawabannya cuma sebegitu 
saja, masak rakyat mau repot-repot lihat kamus.
> Saya kembali ke istilah <pribumi>. Penguasa ingin mengusir kata 
itu dari kamus umum Bahasa Indonesia ,ke kamus Politik dengan diberi 
arti rasialisme lalu melarang penggunaan kata itu untuk yang katanya 
melawan rasialisme. Nasib kata <pribumi>  agak sedikit sama dengan 
kata < CINA> yang juga oleh penguasa di suatu periode diganti dengan 
kata "TIONGKOK" atau "TIONGHOA" 
> Diinstruksikan bahwa kata<Cina> puya sifat penghinaan, 
rasialistis. Ini tidak lebih dari sebuah komidi omong penguasa yang 
bahkan di bidang bahasapun ingin main diktator. Mungkin di masa yang 
akan datang yang tidak terlalu jauh akan ada lagi instruksi tidak 
bolen menyebut kata < JAWA> untuk etnis Jawa, karena kata itu 
mengandung penghinaan, karena di tengah pasar ada dua orang anak 
yang bertengkar yang berlainan etnis, lalu yang satu bilang: "Jawa 
lu!!!" dan yang lain bilang: " Dasar lu Batak!!!", Dan ketika ada 
yang melerai salah seorang pembela bilang: "Lu Sunda jangan ikut-
ikut!!!". Dan ketika pertengkaran itu bubar seorang dewasa yang lain 
bilang sebagai kesimpulan: "Payah deh Melayu...". Bukankah itu semua 
mengandung penghinaan ras dan lalu apakah kata: Jawa, Batak, Sunda 
dan Melayu harus diganti menurut instruksi Presiden hasil Pilpres 
2009?. Kalau kita menuruti norma-norma yang berlaku di pasar atau di 
lorong-lorong kampung yang dikuasai geng- geng atau para jagoan yang 
mempunyai jargon-jargonnya sendiri dan lalu dijadikan standar umum 
bahasa Indonesia dan lalu dikebiri oleh para elit penguasa bangunan 
atas untuk tujuan-tujuan politik gelap mereka, maka beginilah nasib 
bangsa Indonesia, terpuruk disegala bidang. Ingin memerangi 
rasialisme, ahirnya jadi rasialis. Ingin jadi rasialis sejati, eh, 
kok dianggap anti rasialis akibat berputar putar di lingkaran setan 
istilah bahasa yang diperumit sendiri, sedangkan para elit 
menggunakannya sebagai senjata tak terlihat, senjata wasiat untuk 
mengadu domba rakyatnya sendiri demi mengeruk keuntungan dan 
menyembunyikan
> dosa-dosa mereka agar tak terlihat oleh rakyatnya. Saya setuju 
dengan ajakan: Kembalikan  kata kepada asalnya yang semula. Tapi 
tidak dalam pengertian membikin puisi absurd yang hakekatnya 
menegasi semua ujud kata menjadi nihil dan tak berfungsi.
> 
>      Apakah etnis Cina memang paling banyak menderita 
diskriminasi? Ini pertanyaan saya yang timbul dari uraian bung 
ChanCT sendiri, tidak bisa saya jawan dengan pasti. Mungkin relatif 
ya, mungkin juga relatif bukan. Jawaban yang mendekati kebenaran 
obyektif adalah dari hasil jajak pendapt dan statistik yang akurat. 
Tapi dari gejala yang lepas dan tersebar di sana sini, jumlah 
milyuner Cina dari segi kwalitas jauh lebih banyak dari milyuner 
pribumi( ah maaf kalau saya melanggar instruksi ex Presiden Habibi, 
tapi betul saya masih belum ada selera lain untuk mengharamkan kata 
<pribumi>; hak setiap orang apakah saya akan dituduh rasialis atau 
tidak).Tapi bahwa etnis Cina juga menderita akibat diskriminasi 
rasialis, itu tidak bisa dibantah. Tapi juga harus dilihat dan 
diakui pula bahwa setiap etnis  atau seluruh etnis di Indonesia juga 
menderita ras diskriminasi di antara mereka sendiri, oleh Penguasa, 
bahkan termasuk didiskriminasi etnis Cina juga. Itu juga hal yang 
tak bisa dibantah. Oleh karena itu seperti yang juga saya tulis 
dalam tulisan sebelum ini, masaalah diskriminasi rasial adalah 
masaalah bersama, masaalah seluruh etnis-etnis di Indonesia, 
masaalah seluruh bangsa Indonesia  dan Etnis Cina bukan satu-satunya 
korban. Ini tak akan saya bicarakan lebih banyak. Soal persaingan di 
antara etnis-etnis untuk suatu kehidupan yag lebih baik. Dari 
pendapat umum Internasional memang diakui bahwa Bangsa Cina adalah 
bangsa yang ulet, rajin bekerja dan punya tekad yang luar biasa 
dalam mencapai tujuannya. Karenanya, di manapun mereka hidup, mereka 
selalu atau hampir selalu menang dalam persaingan yang paling 
sengitpun dengan pribumi(maaf) bangsa manapun terutama di Asia. Tapi 
apakah rakyat Indonesia bukan rakyat yang ulet dan rajin bekerja?. 
Kalau kita melihat kehidupan tani miskin di desa-desa yang bekerja 
keras turun temurun yang entah sudah berapa puluh keturunan, tapi 
tetap saja miskin, miskin dan miskin hingga detik ini. Apakah mereka 
selalu kalah bersaing? Dengan siapa mereka bersaing? Tentu saja yang 
pertama-tama dengan tuan tanah atau tani kaya dan juga tidak jarang 
dengan tani-tani Cina yang jauh lebih ulet dari mereka ,dan nasib 
tani miskin ini sudah berabad-abad selalu kalah bersaing.Kemiskinan 
seolah abadi dan memang begitulah kenyataannya. Bila tidak ada 
campur tangan rasa keadilan, rasa senasib sepenanggungan sebagai 
satu bangsa, maka persaingan yang tidak seimbang itu memang akan 
menimbulkan kecemburuan sosial dan pada gilirannya lalu menuju ke 
kecemburuan ras dan ini termasuk hukum alam. Perjuangan untuk hidup 
selalu menegasi kehidupan yang lain untuk mempertahankan hidup 
sendiri. Hal itu hanya bisa dihindari dengan campur tangan rasa 
keadilan, rasa senasib sepenanggungan, rasa sebangsa dan tentu saja 
rasa sosial yang tebal.Yang menang suka membagi sedikit hasil 
kemenangannya pada yang dikalahkan. Karena dalam persaingan 
membangun hidup bermasyarakat yang harmonis, keadilan tidak diukur 
dari siapa menang berhak menikmati kemenangannya seratus persen 
sedangkan yang kalah, matipun tiada ada yang bisa disalahkan. Kalau 
begitu, namanya sudah hukum rimba.
> Tentang politik Teng siau Ping yang membikin lokomotif dari orang-
orang yang telah menang bersaing dan telah menjadi kaya lebih duluan 
dan sah-sah saja kekayaannya, memang sudah menjadi kenyataan di 
Cina. Tapi saya kira tidak bisa diterapkan di Indonesia. Kaum 
borjuasi dan konglomerat Indonesia telah dulu  dulu dan sejak dulu 
sudah kaya-kaya dan Indonesia tidak pernah menjadi negeri Sosialis 
seperti Cina atau Vietnam.Pabrik orang kaya di Indonesia umurnya 
jauh lebih tua dari umur pabrik orang kaya di negeri Sosialis Cina 
maupun Vietnam. Kalaupun mereka mau dianggap lokomotif, maka 
lokomotif mereka secara historis cuma menarik gerbong-gerbong 
bangkai rakyatnya sendiri untuk dijadikan pupuk alam di seluruh bumi 
Indonesia yang sudah semakin gersang itu. Tapi di Cina sekalipun, 
lokomotifnya Teng Siau Ping dalam perjalanannya yang masih jauh 
belum tentu selalu menarik gerbong-gerbongnya ke desa-desa yang maha 
luas itu sambil membagi bagikan harta para multi milyuner yang jadi 
masinis itu  kepada tani miskin yang masih luar biasa banyaknya di 
Cina. Bisa saja  lokomotif - lokomotif para Multi milyuner itu 
berlalu dengan kecepataan ekspres dan non stop dan para masinis 
milyuner cuma melambai-lambaikan tangan pada tani miskin sambil 
kadang-kadang melemparkan kue tahun baru dan lalu lenyap begitu 
saja. Perbedaan antara super milyuner di Cina dengan kemiskinan 
rakyat diseluruh negri adalah mega bak puncak gunung Himalaya dengan 
pasir di dasar lautan Atlantik. Mengikuti jalan Cina, Indonesia 
sudah punya pengalaman meskipun itu cuma dilakukan oleh PKI. 
Kegagalan dan kehancuran PKI justri karena PKI ingin menterapkan 
revolusi Cina di Indonesia. Saya tidak anti pikiran ketua Mao, saya 
pernah mempelajarinya secara kolektif yang diselenggarakan Partai 
secara amat intensif di Cina sendiri maupun di Vietnam. Pikiran 
ketua Mao adalah baik dan tidak ada yang jelek. Tapi tidak mungkin 
Pikiran ketua Mao dijadikan pedoman revolusi untuk Indonesia karena 
Indonesia punya kehususan sendiri sebagai negeri, bangsa dan adat 
istiadat.Lain dengan negeri Cina. Begitu pula apa yang sedang 
dilakukan di Cina sekarang ini, menurut saya tidak bisa diterapkan 
di Indonesia meskipun orang Indonesia bisa menarik pelajaran dan 
belajar dari Cina meskipun itu bukan berarti harus menurut jalan 
Cina, karena bila demikian ,Indonesia akan sesat jalan seperti di 
waktu yang lalu lalu itu. Belajar bukan berarti menuruti tanpa pikir 
dan fanatik pada sang guru tapi selalu mencari solusi yang sesuai 
dengan keadaan obyektif dan subyektif diri sendiri. Jalan Cina tidak 
bisa menjadi jalan Indonesia. Ini bukan soal diskriminasi rasial 
atau anti Cina. Saya sangat setuju antara Indonesia dan Cina membina 
dan  memelihara hubungan yang baik dan sungguh-sungguh, saling 
menguntungkan, saling menghormati dan sama derajat dan juga 
memajukan perdagangan di antara kedua bangsa. Tapi tidak main jiplak 
betapapun hebatnya Cina yang akan datang.
> Bung ChanCT yang saya hormati, inilah beberapa pikiran saya yang 
juga sebagai tanggapan atas uraian bung. Saya berpendapat bahwa 
keterus terangan  di antara kita lebih penting daripada perbedaan 
pendapat. Saya berani berterus terang kepada bung karena saya tidak 
memasang jarak antara pribumi  dan non pribumi melainkan sebagai 
orang sebangsa dan setanah air dan mungkin juga senasib.
> Salam yang sehangat hangatnya dari saya.
> asahan aidit.





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving.
http://us.click.yahoo.com/V8WM1C/EbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke