Pak Asahan yang baik,

Maaf karena keluar kota dan sekembalinya banyak timbunan kerjaan, 
baru sekarang sempat membalas email pak Asahan.

Terus terang saya tidak punya waktu ikuti detail setiap tulisan, 
tetapi apa yang ungkapkan bukan saya ambil dari "thin air" seperti 
kata orang sini. Semua yang saya tuliskan adalah  kesimpulan saya 
dari kata-kata pak Asahan sendiri.

Berikut ini saya kutipkan bagian yang saya maksudkan itu. Saya 
bintangi di awal ****** kata-kata dalam tulisan di bawah dan di 
ekornya ****** untuk menunjukkan bagian yang saya anggap 
melatarbelakangi rasa dendam pak Asahan sampai membuat pak Asahan 
menarik kesimpulan tersebut:

http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/14172

==== quote ======== 
Dan bila terjadi bentrok etnis yang bersifat rasial, sudah pasti 
etnis yang lebih kecillah yang menderita korban lebih banyak. Dan 
bila sudah begitu, yang menderita lebih banyak, tentu memerlukan 
pertolongan, memerlukan sokongan moril dan materil yang dalam    hal 
ini etnis pribumilah yang bisa dijadika sandaran. Simpati pribumi 
mutlak diperlukan, yang akan melindungi, membela hak-hak 
mereka ,korban kerusuhan. Adalah kewajiban rakyat Indonesia 
melindungi dan membela etnis yang lain yang ditimpa kemalangan dan 
korban kerusuhan rasial bukan hanya terhadap etnis Cina saja. Tapi 
pembela-pembela, terutama dikalangan elit, haruslah juga membela 
dengan   tulus hati, tidak berlebihan menjadi fanatik, menjadi 
agresiv, menjadi berpihak secara berlebih-lebihan apalagi dengan 
emosi yang meluap-luap ******karena biasanya yang begini kalau suatu 
ketika dikecewakan oleh etnis yang pernah dibelanya, lalu membalik 
jadi anti setengah mati.****** Dalam membela , juga orang harus 
melihat timbangan ekstrimitas agar tidak mencapai ke puncak 
fanatisme. Karena kita juga harus waspada. ******Cina punya sifat 
menghianati teman.****** Pengalaman internasional menunjukkan juga 
hal itu. Partai Komunis Indonesia yang bersahabat dengan Partai 
Komunis Cina di masa sebelum kejatuhannya adalah persahabatan yang 
telah mencapai ke puncak fanatisme dan bahkan juga dogmatisme di 
bidang politik. Apa yang dibilang Cina lalu ditelan mentah-mentah dan 
semuanya harus menurut jalan Cina dari garis politik hingga ideologi, 
semuanya harus Cina  dan karena persahabatan yang telah begitu 
kentalnya, juga   telah membuat geram musuh musuh Cina, membuat geram 
Amerika dan CIA-nya, membuat geram Rusia yang ketika itu sedang 
menjad imusuh Cina nomor satu, membuat geram kaum reaksioner dalam 
negeri Indonesia sendiri. Dan ketika kegeraman itu memuncak, 
terkosentrasi dalam aliansi yang tidak jelas bentuknya yang bekerja 
sama dengan kaum reaksioner dalam    negeri, maka hancurlah PKI dalam 
waktu singkat, merata, total, habis-habisan. Dan apa yang diperbuat 
si sahabat kental?. Diam. Tanpa uluran tangan apalagi bantuan 
kongkrit. Penghianatan yang tak kelihatan itu sangat sukar dikatakan, 
sukar dibuktikan, sukar dibeberkan tapi juga sebuah penghianatan 
terhadap teman yang tak terbilangkan kejinya. 

==== end quote ===========
Menurut saya dalam menuliskan bahwa ~{!0~}Cina punya sifat
menghianati teman~{!1~} pak Asahan sudah memukul rata dan ini sangat 
tidak fair buat orang lain selain Mao yang tidak ada sangkut paut 
dengan pengkhianatan PKC terhadap PKI menurut pendapat pak Asahan itu.

Seingat saya, ada yang pernah menyinggung bahwa dalam setiap suku 
bangsa itu pasti ada orang yang jahatnya. Mungkin dalam salah satu 
tulisan saudara Rinto. (Maaf, saya tidak sempat mengeceknya lagi.) 
Soal pengkhianatan Mao terhadap orang sekitarnya sudah ada banyak 
bukunya. Termasuk di sini Liu Shaoqi yang mati di penjara dan 
jenazahnya hanya dipindahkan pakai jeep sampai kakinya menyorok 
keluar padahal itu mantan presiden. Jenderal He Long yang rasanya 
juga mati di penjara dan pernah harus minum kencingnya sendiri karena 
tidak dikasih minum. Ada lagi Marsekal Peng Dehuai yang dicopot dari 
jabatan saat kongres di Lushan. Begitu juga Deng Xiaoping yang di 
kirim suruh cuci otak dua kali. Sayang mungkin belum begitu banyak 
buku begini yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.  Kalau 
membaca sejarah penghianatan Mao terhadap teman-teman 
seperjuangannya,  saya rasa predikat ~{!0~}penghianatan keji~{!1~} itu
sudah selayaknya ditimpakan kepada Mao namun itu bukan predikat untuk 
semua orang Cina. Bagi saya pemukulrataan itu kesimpulan yang terlalu 
jauh. Sama jauhnya dengan membayangkan bahwa penulis Merantau Cina 
adalah Cina ganti nama yang memasukkan unsur melankolik gaya Cina 
(yang menurut saya lolos sensor PKC) ke dalam ceritera itu. 

Soal keberterusterangan orang Indonesia, saya koq punya pikiran pak 
Asahan ini belum pernah tinggal di Yogya atau Jawa Tengah. Ataukah 
ini yang dimaksudkan pak Asahan sebagai pengecualian?

Soal reaksi spontan pak Asahan dan keinginan membuka hati, OK-lah. 
Saya bisa mengerti dan saya sambut dengan baik. Saya juga berharap 
pak Asahan bisa maklumi bahwa tidak semua orang punya waktu teliti 
kalimat per kalimat dan jangan heran kalau tulisan pak Asahan bisa 
memberikan kesan yang berlainan dari yang pak Asahan harapkan, 
seperti halnya pendapat saya dari tulisan pak Asahan sendiri. Saya 
mohon maaf kalau keterusterangan saya itu tidak berkenan di hati pak 
Asahan. 

Sekian dulu komentar saya, dan salam kembali buat pak Asahan. 

Aris Tanone



--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "BISAI" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
> 
> Bung Aris Tanone yang baik,
> Ah, ya nggak dong. Masa saya benci sama semua orang Cina. Orang-
orang Cina 
> yang baik, saya perlakukan sama seperti juga orang Indonesia yang 
baik. Ya, 
> itulah, mungkin karena perbedaan kebudaayaan di antra kita, hingga 
mudah 
> terjadi salah paham. Saya sangat tahu hati orang-orang Cina yang 
baik. 
> Keluarga saya semuanya bersahabat dengan orang Cina. Saya tidak 
punya alasan 
> untuk membenci semua orang Cina, apalagi sampai mendarah mendaging. 
Tapi 
> saya tidak suka bersahabat dengan siapapun secara fanatik seperti 
yang 
> dilakukan abang sulung saya itu. Persahabataan yang "tak lekang di 
panas dan 
> tak lapuk di hujan"adalah persabatan yang bisa melihat buruk baik 
di dua 
> belah pihak dan saling berterus terang bila ada sesuatu yang 
mengganjal di 
> hati. Nah, barangkalo di sinilah letak perbedaan kultur kita hingga 
bisa 
> menimbulkan bentur budaya. Orang Indonesia lebih suka berterus 
terang 
> daripada menyimpan sesuatu di dalam hati. Tentu saja keterus 
terangan orang 
> Indonesia tidak sehebat atau setegas keterusterangan orang 
Barat.Cobalah 
> perhatikan, kalau orang Indonesia merasa senang, air mukanya cepat 
berseri 
> seri dan tidak sedikitpun menyembunyikan perasaan senangnya. Tapi 
sebaliknya 
> bila ia merasa tidak suka, atau tersinggung, dengan serta merta 
mukanya 
> merah, atau cemberut, tidak menyembunyikan ketidak sukaannya dengan 
muka 
> tetap manis misalnya. Itulah budaya umum orang Indonesia. Tentu 
saja selalu 
> ada perkecualiannya. Saya merasa antara budaya Cina  dan budaya 
Indonesia 
> cukup banyak perbedaannya. Tapi itu bukan berarti kita harus selalu 
> bertengkar dan bermusuhan karena berbeda. Saya termasuk orang 
Indonesia yang 
> punya keterus terangan yang sering muncrat dan spontan. Jadi 
mungkin saya 
> ini produk budaya Indonesia yang dosisnya kelebihan. Mungkin karena 
itulah 
> telah terjadi kesalah pahaman, salah mengerti serta salah 
penafsiran di 
> antara kita. Sebenarnya bila semua tulisan saya itu dibaca dengan 
teliti dan 
> seksama serta dengan kepala dingin, tidak seoranpun yang bisa 
membuktikan 
> bahwa saya anti Cina atau benci Cina. Tapi saya memang mengkritik 
> sifat-sifat negatif yang ada pada orang Cina. Apakah tidak boleh?. 
Ya, kalau 
> tidak boleh, tidak lagi akan saya lakukan di milis ini. Cobalah 
pikirkan 
> dengan tenang, kalau memang budaya kita masing-masing memang ada 
perbedaan, 
> tapi apakah bila setiap salah satu dari kita mengkritik kelemahan 
atau 
> kekurangan diri kita masing-masing lalu cepat saja dituduh anti, 
atau 
> rasialis atau kebencian ras. Kalau selalu begitu, kan, lama-lama 
kata -kata, 
> anti atau benci atau rasialis itu tidak akan ada artinya sama 
sekali dan 
> tidak akan didengarkan orang. Tapi baiklah, kita akan bertengkar 
seumur 
> hidup bila kita tidak mau membuka hati secara lapang, adil dan 
dengan rasa 
> ingin bersahabat lebih baik.Tapi kalau memang itu belum tercapai, 
biarin 
> ajalah segitu dulu. Biarkan sajalah dulu  bahwa menurut anda saya 
ini anti 
> Cina, benci Cina sudah mendarah mendaging. Kan masih banyak orang 
lain yang 
> berpikir lain tentang saya. Namun saya dengan tulus mengirimkan 
salam 
> persahabatan pada anda meskipun dalam hati anda saya adalah musuh 
bangsa 
> anda.Wassalam; asahan aidit.
> 
> 
> ----- Original Message ----- 
> From: "kribo1" <[EMAIL PROTECTED]>
> To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
> Sent: Tuesday, August 30, 2005 4:35 AM
> Subject: Re: Fw: [budaya_tionghua] Merantau Cina
> 
> 
> > Pak Asahan yang baik,
> >
> > Ada pepatah Cina, es setebal 3 kaki bukan karena dingin sehari.
> > Makanya saya tidak heran membaca tulisan-tulisan pak Asahan yang
> > bertolak belakang dengan tulisan pak Sobron dan belakangan ini 
isinya
> > menyebarkan kebencian pak Asahan melulu.
> >
> > Tadinya saya berusaha mengikuti ceritera-ceritera yang pak Asahan
> > kirimkan ke milis ini, tetapi koq makin lama makin mumet membaca
> > tulisan pak Asahan, karena setiap tulisan akan mengingatkan saya 
pada
> > kata-kata "the angry young man!"
> >
> > Saya sendiri punya darah tinggi jadi kalau baca tulisan pak 
Asahan,
> > saya suka merasa, kayaknya bapak ini lupa nggak minum obat darah
> > tingginya. Maaf, itu kesan pribadi saya dan saya ungkapkan di sini
> > tidak dengan maksud menghina. Ini berdasarkan pengalaman pribadi.
> > Ketika masih punya banyak waktu nongkrong di Internet dulu, kadang
> > per saya terlepas juga, dan kadang sempat mencak-mencak juga 
seperti
> > pak Asahan, walaupun tidak sedahsyat gelombang sungai Asahan dan
> > biasanya marah-marahnya juga dalam urusan yang berbeda.
> >
> > Gini deh pak, jangan cepat marah dulu pak.
> >
> > Memang susah membuang bayangan yang sudah mendarah-daging dalam 
diri
> > kita. Tapi buat apa kita darah tinggi untuk urusan yang sepele?
> >
> > Coba kita lihat lagi uraian pak Asahan soal Merantau Cina. Kenapa
> > begitu cepat pak Asahan simpulkan bahwa yang menulis itu pasti 
Cina?
> >
> > Pengalaman pak Asahan dengan Revolusi Kebudayaan itu gimana koq
> > begitu saja diterapkan kepada semua orang Cina?
> >
> > Andaikan betul, Damhuri Muhammad itu Cina yang ganti nama, berapa 
sih
> > kira-kira umurnya sekarang? Bagaimana dia bisa dipengaruhi oleh 
sifat
> > melankolis berlebihan yang memaksa orang mengucurkan airmata itu 
yang
> > notabene menurut pak Asahan sendiri terjadi di tahun 70-an saat 
pak
> > Asahan menjadi tamu Ketua Mao dan pengawal merah sehingga bisa
> > keliling ke segala penjuru kecuali Sin Kiang?
> >
> > Buat saya ini kesimpulan yang sangat tak masuk akal, tetapi bisa 
saja
> > terjadi karena memang dalam benak pak Asahan yang ada hanyalah 
satu -
> > kebencian pada Cina yang ibarat hawa dingin yang membekukan es, 
bukan
> > dingin sehari. Kebencian pada Paman Mao yang menghianati abang pak
> > Asahan juga dibagi-bagikan juga kepada setiap orang Cina tidak 
peduli
> > siapa dia. Pokoknya apa-apa, yang ada di benak pak Asahan itu cuma
> > satu, "dasar cina!" Apa itu istilah vietnamnya? Tham No? Tham Lo? 
Ah,
> > sayang ya pak Asahan. Tapi itu kebebasan pak Asahan akibat dingin
> > yang bukan sehari. Tak ada guna kita bicara karena tak bakal 
merubah
> > pandangan pak Asahan yang sudah mendarah daging. Cina itu pasti 
jelek
> > jadi asal bau Cina atau ada bunyi Cina pun, itu pasti Cina. Dan 
jelek!
> >
> > Terus terang baca komentar pak Asahan malam ini saya jadi ingat
> > ceritera yang beberapa waktu lalu saya baca di Internet. Detailnya
> > sudah lupa. Tentang seorang ibu yang beli biskuit waktu mau naik
> > pesawat terbang, tetapi kurang ajar sekali, lelaki yang duduk di
> > dekatnya malah buka biskuit itu dan memakannya waktu ibu itu tidak
> > perhatikan. Tentu hal itu membuat ibu itu jengkel terus dia juga
> > memakan biskuit itu. Betul-betul kurang ajar, sudah tinggal satu
> > malah ditawari apakah ibu itu mau makan potongan yang terakhir. 
Tentu
> > saja ibu itu melalap sambil melerok jengkel. Bukankah itu hal yang
> > sering terjadi? Kalau sudah punya prasangka, menganggap seseorang 
itu
> > pencuri, pola tingkah, gerak gerik, bahkan helaan napas pun
> > mencerminkan helaan napas pencuri. Sama kurang ajarnya dengan 
lelaki
> > tak tahu malu yang sudah melalap biskuit ibu itu. Tapi setelah di
> > pesawat, waktu buka tasnya, ternyata biskuitnya sendiri masih utuh
> > dan orang yang duduk di ruang tunggu tadi tidak satu pesawat. 
Waduh!
> >
> > Sayang saya tidak bisa merubah pandangan pak Asahan tentang Cina 
yang
> > busuk dan jahat, sampai tulisan Merantau Cina yang ditulis penulis
> > bernama Damhuri Muhammad pun dicurigai tulisan Cina pakai cara
> > penulis-penulis yang lolos sensor PKC, bicara tentang dendam klas
> > segala. Memangnya semua orang Cina hasil produk PKC, pak? Apakah 
film
> > Cina lain sama-sama mengobralkan air mata? Bagaimana dengan film
> > India yang juga banyak cucuran air matanya?
> >
> > Saya pikir usia pak Asahan pasti jauh di atas usia saya. Daripada
> > menulis yang mencak-mencak, marah-marah terus pak, mbok tulis dong
> > yang bikin kita baca tidak usah kerutkan kening sih Pak?
> >
> > Oh ya, jangan lupa. Sering-sering periksa dong tekanan darahnya 
pak.
> > Seriusan nih. Kalau dikasih obat darah tinggi sama dokter jangan 
lupa
> > minum dong pak. Mbok sudahlah, kalau baca tulisan yang pak Asahan
> > anggap itu menghina pak Asahan, tinggalkan dulu komputernya, besok
> > baru baca lagi. Sayang dong kalau ulah lelucon tentang ibu dengan
> > biskuit itu terulang dalam tulisan pak Asahan.
> >
> > Salam,
> >
> > Aris Tanone
> >
> > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "BISAI" 
<[EMAIL PROTECTED]>
> > wrote:
> >>
> >> ----- Original Message ----- 
> >> From: ChanCT
> >> To: budaya_tionghua@yahoogroups.com ; WAHANA
> >>
> >> Bung ChanCT Yang sangat baik;
> >>
> >> Ah, mungkin saya terlalu spontan hingga bung seperti merasa
> > bersalah. Tapi baiklah kita ambil hikmahnya saja buat hanya tujuan
> > baik. Untuk saya pokok permasaalahan dalam cerita ini adalah
> > melankolisme dalam melukiskan penderitaan yang sangat tipikal 
dalam
> > cerita-certia Cina. Berpuluh-puluh tahun lalu, tepatnya di tahun
> > 1972, saya berada di Cina dan diatur dalam satu perjalanan jauh 
dan
> > panjang keseluruh provinsi-provinsi Cina, kecuali satu: Provinsi
> > Sinkiang karena provinsi ini, ketika itu belum boleh dikunjungi 
tamu
> > asing. Tahun 1972 adalah masih hangat-hangatnya RBKP. Saya merasa
> > bahagia bisa turut menyaksikan dari dekat peristiwa bersejarah itu
> > meskipun saya juga merasa tidak bahagia ketika mendengar langsung
> > atau memyaksikan secara langsung hal-hal yang merusak kebudaayaan
> > (dus, kebudayaan-tionghua) dalam peristiwa besar itu. Selama
> > kunjungan enam bulan putar-putar seluruh Cina itu, saya banyak
> > menyaksikam atau menonton fillm-film Cina yang diputar husus untuk
> > kami maupun yang kami tonton di bioskop-bioskop. Puluhan film 
kalau
> > tidak mau dikatakan ratusdan film yang saya saksikan selama emam
> > bulan itu. Suatu hari saya menonton sebuah film di sebuah bioskop 
di
> > sebuah provinsi dimana Ketua Mao dilahirkan, yaitu di ibu kota
> > provinsi itu, saya lupa namanya. Nama film yang saya lihat, kalau
> > tidak salah judulnya adalah"Gadis penjual bunga". Selesai menonton
> > film itu, seorang teman berkata dengan separuh bergurau separuh
> > serius: "Siapa yang tidak mengucurkan air mata, sudah jelas tuan
> > tanah". Saya termasuk yang mengucurkan air mata, jadi saya tidak
> > termasuk tuan tanah, menurut teman yang memeriksa setiap muka kami
> > ketika itu. Dan untuk selanajutnya film-film pengucur air mata itu
> > luar biasa banyaknya yang membuat kami jadi "kebal"air mata. 
Inilan
> > yang saya maksudkan melankolisme dalam melukiskan penderitaan,
> > kemalangan, korban penindasan yang dibuat oleh sang penulis 
demikian
> > rupa hingga penderitaan yang sesungguhnya menjadi berlipat dua 
atau
> > tiga untuk mendapatkan efek tertentu seperti untuk menguatkan rasa
> > dendam kelas, perjuangan dua garis atau semata keinginan menimba 
air
> > mata dari pengarang atau penulisnya. Aliran seni atau sastra 
demikian
> > sangat banyak saya jumpai di Cina. Yang dilukiskan menderita dan
> > tertindas itu hampir semuanya tidak berdaya, hampir semuanya tanpa
> > perlawanan , hampir semuanya dalam keadaan pasrah dan baru bisa
> > diselematkan bila sang juru selamat tiba yang juru selamat itu 
tentu
> > saja Partai bila terjadi di Cina daratan. Cerita yang barusan kita
> > baca ini adalah persis demikan. Si Abak yang bekerja keras untuk
> > menghidupi keluarganya setelah kehilangan pekerjaan lalu 
membanting
> > tulang menanam sayuran bersama anaknya tapi hasilnya dirampas oleh
> > sang istri kejam bahkan tidak ada uang untuk membeli sebatang 
rokok
> > kuning atau Dji Sam Soe. Alangkah melankoliknya penggambaran
> > penderitaan si Abak. Padahal dalam kehidupan nyata mungkin saja si
> > Abak bisa bilang pada istrinya, umpamanya begitin: "lu gimana sih,
> > gue nyang kerja setengah mati, beli rokok sebatang aja nggak 
dikasi,
> > padahal  lu sendiri cuma tiduran di rumah nggak ngerjain apa-apa".
> > Mengapa si Abak tidak bisa bilang begitu tapi tetap membiarkan
> > dirinya diperas seenaknya oleh istrinya. Saya melihat melankolisme
> > penulisnya dalam menggamabarkan ketidak berdayaan si Abak yang 
tanpa
> > perlawanan atau bela diri serambutpun. Maaf beribu maaf, sama 
sekali
> > tanpa prasangka buruk, tapi saya menduga penulis cerpen ini adalah
> > seorang warga dari etnis  Cina meskipun namanya sudah Indonesia. 
Bila
> > saya salah maafkan karena dugaan saya itu adalah berdasarkan
> > melankolisme  yang sangat menonjol dalam cerita-cerita Cina dalam
> > menggambarkan penderitaan..Dan adanya melankolisme ini pada 
cerrita-
> > cerita maupun dalam karya seni lainnya hampir selalu cerita
> > bertendens. Masaalahnya apakah melankolisme dalam penderitaan ini
> > masih merupakan aliran sastra dan seni di abad kita yang sekarang 
ini
> > dan masih menemukan pembaca dengan selera demikian. Bung Chan yang
> > baik, ini sudah panjang meskipun pendek saja dan sekali lagi 
terima
> > kasih atas perhatian bung dan maaf kalau saya tampak keburu nafsu
> > lagi. Salam sehangat-hangatnya dari saya.
> >> asahan.aa.
> >>
> >>
> >> Sent: Monday, August 29, 2005 4:27 AM
> >> Subject: Re: [budaya_tionghua] Merantau Cina
> >>
> >>
> >> Bung Bisai yb,
> >>
> >>     Terimakasih atas kritik yang diajukan. Seandainya peluncuran
> > tulisan "Merantau Cina" dianggap tidak pantas bagi milist <Budaya-
> > Tionghoa>, tentunya masalahnya ada pada diri saya. Maafkan.
> >>
> >>     Baik-buruk satu tulisan tentu bisa dipandang dari berbagai
> > segi, dan siapa saja berhak menilai sesuai dengan titik pandang
> > masing-masing. Dan, ... tentunya siapa saja juga berhak memberikan
> > komentar dan pendapat-pendapatnya dimilis. Siapa tahu bisa saling
> > bersambut untuk tukar pikiran, sebagai sarana untuk saling belajar
> > meningkatkan pengertian kita masing-masing. Itulah maksud saya
> > melempar tulisan-tulisan di milis ini. Jadi, tidak berarti saya 
harus
> > lebih dahulu setuju atau pada pokoknya sependapat dengan isi 
tulisan
> > itu. Hendaknya setiap tulisan yang meluncur dari satu milist, 
tidak
> > dipandang sebagai tulisan yang mewakili pendapat dan pikiran 
milist
> > tersebut. Tidak mesti begitu! Jadikanlah sekadar sebagai bahan
> > informasi untuk dipertimbangkan. Dan kalau suka dan kebetulan ada
> > waktu bisa memberikan komentar dan pendapat-pendapat yang lain.
> >>
> >>     Salam,
> >>     ChanCT
> >>   ----- Original Message ----- 
> >>   From: BISAI
> >>   To: BUDAYA TIONGHUA ; WAHANA
> >>   Sent: Sunday, August 28, 2005 11:07 PM
> >>   Subject: Fw: [budaya_tionghua] Merantau Cina
> >>
> >>
> >>   Sulit untuk mengerti tendens cerita ini bila dimasukkan ke 
suatu
> > milis seperti milis <budaya -tionghua> yang lalu menimbuklkan
> > pertanyaan: kemana tendens cerita ini akan diarahkan. ataukah 
sekedar
> > ada kata "Cina"yang seperti judulnya sendiri "Merantau Cina". Tapi
> > bila cerita ini tidak dipindahkan ke milis ini dan tetap berada di
> > tempat asalnya (?) maka orang bisa dengan tenang
> > mengartikan "merantau cina"itu sebagai pergi merantau yang tak 
akan
> > kembali. Netral. Cuma sebuah judul. Tapi fantasi manusia tak 
seorang
> > manusiapun yang bisa mengendalikannya, sejenis demokrasi absolut 
di
> > kepala manusia.
> >>   Demikian pula kemungkinan tendensi- tendensi yang terkandung
> > dalam cerita ini setelah dia dimasukkan dalam suatu budaya husus
> > untuk menawarkan penafsiran-penafsiran tertentu untuk sampai ke 
arah
> > tendensi-tendensi yang diharaapkan.
> >>   Kemungkinan-kemungkinan ide yang terkandung dalam cerita ini:
> >>   - yang menimbulkan pertanyaan adalah mengapa istri si Abak
> > dijahatkan begitu saja dengan hanya satu pernyataan, seperti
> > perempuan mata duitan atau diberikan sebuah alternastif pepatah
> > Melayu : Habis manis sepah dibuang.
> >>   - Abak begitu sabar dan budimannya di hadapan seorang istri 
yang
> > digambarkan kejam, tamak, dan tidak berhati manusia. Menerima 
begitu
> > saja perlakuan sang istri yang tidak adil
> >>   tanpa sepatah bantahan, tanpa sedikitpun membela diri dan tanpa
> > setetes perlawanan dan ongkang begitu saja menurutkan pengusiran 
sang
> > istri secara damai dan pasrah. Apakah tidak akan terkesan bahwa si
> > Abak seorang pria bodoh, lemah, tidak mampu membela kebenaran dan
> > keadilan yang begitu elementer di hadapan seorang istri yang tiba-
> > tiba begitu saja dijahatkan oleh sang penulis.
> >>   - Pembaca yang normal maupun yang agak kritis pasti tidak akan
> > begitu saja bisa dibawa oleh sang penulis menurut kemauan  atau 
arah
> > yang akan ditunjukkannya meskipun secara remang-remang, tanpa
> > memberikan gambaran atau latarbelakang yang cukup jelas pada tokoh
> > istri jahat dan suami yang halus budi tanpa perlawanan di hadapan
> > kekejaman sang istri.
> >>   -Atau mungkinkah tendensi yang akan diarahkan dengan adanya 
kata"
> > Cina" dalam judul cerita ini sebagai, inilah nasib perantau Cina 
yang
> > punya istri pribumi ( memang tidak disebut dalam cerita), 
karenanya
> > cerita ini bukanya kebetulan dimasukkan ke milis <budaya-tionghua>
> > ini untuk meresapi nasib si Abak yang malang dan terusir dan untuk
> > mengutuk istrinya yang kejam dan tamak oleh hanya sepatah kata 
dari
> > penulisnya.
> >>   Saya tidak terburu-buru menuduh si penulis cerita ini sebagai
> > punya tendensi yang negatif atau menurut istilah RBKP-nya masa 
silam
> > itu sebagai tulisan mengandung"rumput beracun". Tapi saya juga 
tidak
> > rela rasanya kalau sebuah tulisan yang tanpa tendens negatif lalu
> > dilemparkan ke suatu klub tertentu untuk diberi warna gelap secara
> > halus bahkan tanpa komentar demi tujuan tertentu.
> >>   asahan aidit.
> >>
> >>
> >>
> >>
> >>
> >>
> >>
> >>
> >>
> >>
> >>
> >>   ----- Original Message ----- 
> >>   From: Ambon
> >>   To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> >>   Sent: Sunday, August 28, 2005 11:24 AM
> >>   Subject: [budaya_tionghua] Merantau Cina
> >>
> >>
> >>   http://www.suarapembaruan.com/News/2005/08/28/index.html
> >>
> >>   SUARA PEMBARUAN DAILY
> >>   Merantau Cina
> >>
> >>   Oleh Damhuri Muhammad
> >>
> >>
> >>   Senja nyaris redup. Pucuk pohon kelapa tua meliuk-liuk 
mengikuti
> > arah angin yang berkesiur. Dedaunan kering berguguran di halaman
> > rumah tua yang tampak kusam. Tiang-tiang penyangga tak terbilang 
usia
> > mulai lapuk. Atap rumbia seakan tak mampu lagi menahan hentakan
> > rintik musim hujan. Seperti sangkar tua yang sudah ditinggalkan
> > burungnya. Terbang, nun ke langit entah. Apakah gunanya sangkar 
tanpa
> > burung di dalamnya? Lambat laun bakal hancur digilas waktu. Musnah
> > jadi puing tak berguna.
> >>
> >>   Perempuan ringkih berselendang putih duduk menegun sambil
> > berjuntai kaki. Sulit membedakan putih warna selendang yang
> > terselempang dengan putih uban-uban di kepalanya. Guruh yang
> > mengantar hujan senja itu tak dihiraukannya. Diam, tak terusik 
dalam
> > lamun. Hanya ia yang tersisa. Perempuan renta, pemilik rumah usang
> > yang tak jelas ahli warisnya. Di usia yang sudah berkepala 
delapan,
> > guratan kekuasaan masa lalu masih membekas di raut mukanya. Ia
> > seperti ingin hidup puluhan tahun lagi. Tak peduli pada aroma
> > kematian yang kian menyengat.
> >>
> >>   *
> >>
> >>
> >>   Payakumbuh, 1979
> >>
> >>   "Jika hanya akan makan dan tacirik 1), pergi sajalah kau dari
> > rumah ini!"
> >>
> >>   Dengan berat hati seorang lelaki melangkah terbata-bata. Enyah
> > untuk arah yang tak jelas.
> >>
> >>   "Abak! 2) Buyung ikut abak. Tunggu bak!" teriak bocah kerempeng
> > sambil terisak-isak.Tersedu-sedu.
> >>
> >>   "Bak, jangan pergi baaaaak!"
> >>
> >>   "Diam kau Buyung!" hardik perempuan itu dengan mulut 
menyeringai
> > dan mata membelalak,
> >>
> >>   "Buyung sayang abak. Kenapa abak pergi ndak ngajak Buyung?"
> >>
> >>   "Diam kau Buyung!"
> >>
> >>   Sudah lama lelaki itu tak beroleh kesempatan meracit 3). Panen
> > tembakau gagal akibat kemarau berkepanjangan. Hendak menggarap
> > ladang, tak punya lahan. Menjadi kuli angkut padi, panen gabah 
juga
> > tak bisa diharapkan karena serangan hama tikus. Maka, ia hanya
> > bertanam aneka sayur mayur; bayam, peria, terung, kacang panjang 
di
> > lahan tidur milik keluarga istrinya.
> >>
> >>   "Kenapa abak ndak pernah menghisap rokok warna kuning? 4)" 
tanya
> > si Buyung. Polos
> >>
> >>   "Harganya mahal ya bak?"
> >>
> >>   "Ya, mahal. Karena, kita belum mampu membelinya. Jika kita 
sudah
> > mampu membeli, berarti sudah tidak mahal lagi, bukan?"
> >>
> >>   Sudah tiga hari abak tidak turun ke kebun. Ia bergabung dalam
> > kerja bakti bersama orang-orang sekeliling, membangun pentas untuk
> > acara Qasidah dalam memeriahkan perayaan khatam Qur'an di kampung
> > itu. Kebun sayur tinggal menunggu panen saja. Setelah acara 
khataman
> > usai, abak dan Buyung baru akan turun ke kebun lagi.
> >>
> >>   Celaka! bayam, peria, terung, kacang panjang yang sedianya 
bakal
> > dipanen hanya tinggal tunggul-tunggulnya saja. Serumpun pun tak
> > bersisa. Abak langsung tanggap, siapa lagi yang mencukur gundul 
kebun
> > sayurnya kalau bukan emak si Buyung. Istrinya sendiri. Mentang-
> > mentang abak berkebun sayur di lahan milik keluarganya, tak segan-
> > segan perempuan itu membabat habis hasilnya, bahkan tanpa 
memberitahu
> > abak lebih dulu.
> >>
> >>   "Semoga Buyung tak datang ke kebun hari ini" batin abak, was-
was
> >>
> >>   Betapa tidak? Sejak mulai bertanam hingga sayur-sayur itu 
tumbuh
> > dan tinggal panen, Buyung bersetia membantu abak di kebun itu.
> > Menyiangi rumpun-rumpun peria, terung dan kacang panjang dari 
ilalang-
> > ilalang liar. Buyung memendam keinginan sederhana, setelah kebun
> > sayur itu membuahkan hasil. Ia ingin melihat abaknya dapat 
menghisap
> > rokok warna kuning. Buyung ingin membanggakan abak pada teman-
> > temannya. Meski hidup susah, abak tetap bisa beli rokok warna 
kuning.
> > Tapi apa mau dikata, hasil kebun yang hendak dipikul dan dijual ke
> > pasar sayur sudah ditebas emak, tinggal tunggul-tunggulnya saja.
> >>
> >>   Buyung seperti kesetanan. Ia menangis berguling-guling di atas
> > tunggul-tunggul kebun sayur itu.
> >>
> >>   "Abak ndak jadi beli rokok warna kuning, abak ndak jadi beli
> > rokok warna kuning, hu........hu........hu....."
> >>
> >>   "Emak uangnya banyak, tapi hasil kebun abak ditebasnya
> > juga.....hu.....hu....!"
> >>
> >>   "Sudahlah, Yung! Kita masih bisa tanam lagi" bujuk abak
> >>
> >>   "Buyung hanya ingin abak punya rokok warna kuning.
> > hu..........hu......"
> >>
> >>   Abak tak pernah mampu membeli rokok warna kuning seperti angan-
> > angan Buyung. Hasil penjualan bayam, peria, terung, kacang panjang
> > dirampas emak. Dimakannya sendiri. Tak serupiah pun diberikan pada
> > abak dan Buyung.
> >>
> >>   Sialnya, tiba-tiba saja abak jatuh sakit. Persendian kakinya
> > lemas. Seperti hilang rasa. Berdiri saja abak tak kuat. Seperti
> > hilang tenaga. Tubuh kurusnya terbaring menelentang di kasur 
lusuh.
> > Buyung murung. Tak henti-hentinya ia memijat kaki abak. Bersusah
> > payah ia mencari tahu ramuan obat yang dapat menyembuhkan sakit 
abak.
> > Tapi, Buyung gagal. Ia terus menjaga abak. Duduk berlama-lama, 
tidur
> > pun selalu di samping pembaringan abak.
> >>
> >>   "Bak, sembuhlah bak! kalau abak sakit terus, Buyung sama 
siapa?"
> >>
> >>   "Kapan abak bisa beli rokok warna kuning kalau berdiri saja 
abak
> > ndak kuat?"
> >>
> >>   "Abak sakit apa?"
> >>
> >>   "Abak ndak apa-apa Yung, jangan cemas, Nak!"
> >>
> >>   "Jika abak sudah sembuh, kita bisa ke kebun lagi, bukan?"
> >>
> >>   Sejeda mereka terdiam, karena tiba-tiba emak datang. Raut muka
> > perempuan itu masam. Sudah lama abak dan Buyung tidak pernah lagi
> > menatap keteduhan di rona mukanya. Ya, sejak abak tak meracit
> > tembakau. Sejak abak menganggur.
> >>
> >>   "Kalau hanya akan menghabiskan beras dan menyusahkan, lebih 
baik
> > mati saja, kau!" maki emak dengan nada suara tinggi.
> >>
> >>   "Hidup makin payah, kok malah sakit. Jangan-jangan kau pura-
pura
> > sakit ya?"
> >>
> >>   Merah padam muka Buyung mendengar cercaan emak. Ia seperti 
hendak
> > berontak. Ia tak bisa menerima perlakuan emak yang sudah 
keterlaluan.
> > Jangankan mempedulikan abak yang sedang sakit parah, justru setiap
> > hari telinga abak disumpalnya dengan caci maki, cela dan sumpah
> > serapah.
> >>
> >>   Sejatinya, tanpa diusir pun diam-diam abak sudah menyimpan
> > keinginan meninggalkan rumah itu. Meninggalkan carut marut yang
> > terpacak dari mulut perempuan mata duitan itu. Tapi, karena 
kakinya
> > belum kuat melangkah, abak belum beranjak dari pembaringannya.
> > Perempuan yang disebut Buyung sebagai emak itu benar-benar tidak 
tahu
> > diuntung, begitu suaminya sudah sakit-sakitan, tak menghasilkan 
uang,
> > hendak diusirnya begitu saja. Ada uang abak disayang, tak ada uang
> > abak ditendang.
> >>
> >>   Tak lama berselang, abak hengkang juga. Ia tak sanggup lagi
> > mendengar makian yang keluar dari mulut kasar emak. Abak datang 
tak
> > membawa apa-apa dan pergi juga tanpa membawa apa-apa. Maka,
> > terjadilah prosesi perpisahan yang sederhana. Terbata-bata ia
> > mengayun langkah-langkah lelah. Tak tampak sedikitpun rona 
keharuan
> > di wajah emak pada saat abak mengayunkan langkah pertama 
meninggalkan
> > rumah itu. Buyung menjerit, meronta-ronta, menghentak-hentak 
hendak
> > mengikuti abak. Mengikuti ke mana saja lelaki itu hendak pergi. 
Tapi
> > abak sudah terlanjur jauh, ia sudah menghilang tertelan gelap 
malam.
> > Buyung tak mungkin lagi mengejarnya.
> >>
> >>   "Abak ndak salah apa-apa, kenapa emak mengusirnya?"
> >>
> >>   "Emak menjual hasil kebun abak, abak tak jadi beli rokok warna
> > kuning. Lalu abak sakit payah, dan emak mengusirnya. Apa salah 
abak?"
> >>
> >>   "Emak berdosa telah mengusir abak"
> >>
> >>   "Diam kau, Buyung! Tahu apa kau soal dosa? Kalau mau pergi,
> > carilah abakmu itu, Ayo, tunggu apa lagi, anak setan!"
> >>
> >>   Akhirnya, Buyung pun pergi. Hengkang seperti abak yang telah
> > lebih dulu menghilang. Entah ke mana tujuan si Buyung. Entah ke 
mana
> > tujuan abak. Tapi yang jelas, hingga kini abak dan Buyung tak 
pernah
> > pulang. Kepergian mereka seperti merantau Cina. Sekali pergi, tak
> > bakal kembali.
> >>
> >>   *
> >>
> >>   Setahun, dua tahun, berpuluh tahun, perempuan itu hidup
> > bersendiri, hingga tubuhnya mulai ringkih. Hari ini entah bilangan
> > tahun yang ke berapa sejak rumah usang itu terselimuti sunyi.
> > Lengang, tanpa abak, tanpa Buyung. Kini, setelah uban-uban 
memutih di
> > kepalanya, ia merasakan desau rindu yang menyesak di dada. Rindu
> > ingin bertemu dengan dua lelaki yang terusir. Tentu, kini Buyung
> > sudah dewasa. Sulit ia membayangkan seperti apa guratan kedewasaan
> > Buyung saat ini. Tentu, Buyung sudah punya anak-istri. Di mana 
Buyung
> > kini?. Begitu pun abak, mungkin lelaki itu masih hidup meski sudah
> > tumbuh pula uban-uban di kepalanya. Sudah renta. Mungkin pula abak
> > sempat punya istri lagi dan tentu sudah punya buyung-buyung yang
> > lain. Di mana abak kini?
> >>
> >>   Perempuan tua berselendang putih yang sejak tadi duduk 
berjuntai
> > kaki itu, tersentak dari lamun. Perlahan-lahan ia berdiri dan
> > melangkah masuk ke dalam rumah usang itu. Malam kian larut dalam
> > hening. Selarut perempuan tua itu dalam rindu yang sudah mustahil
> > diraih. Hujan tak kunjung reda. Terus mengguyur, memecah lengang.
> > Perempuan tua tak sungguh-sungguh lelap, pikirannya menerawang
> > bersama desau rindu yang menggebubung. Kadang terbayang isak-sedu
> > Buyung di samping pembaringan abak. Kadang tergambar langkah-
langkah
> > berat abak sesaat sebelum ia beranjak hendak meninggalkan rumah 
itu.
> > Abak bukan saja telah terusir dari rumah itu, tapi juga terusir 
dari
> > hati perempuan keparat itu.
> >>
> >>   Pelan-pelan, mata perempuan tua pun terpejam. Dalam tidur, ia
> > bermimpi melihat Buyung sedang berlari-lari kegirangan, sambil
> > membawa sebungkus rokok berwarna kuning yang hendak diberikannya 
pada
> > abak.
> >>
> >>
> >>   yogyakarta, April 2003
> >>
> >>
> >>
> >>   Catatan kaki:
> >>
> >>   1) Buang hajat besar. makan dan tacirik artinya menganggur,
> >>
> >>   2) Sebutan untuk ayah atau bapak, asal katanya dari bahasa 
Arab ;
> > Abu, kemudian mengalami perubahan menjadi abak
> >>
> >>   3) memotong daun tembakau hingga menjadi benang-benang kecil,
> > pekerjaan ini menjadi profesi di beberapa daerah penghasil 
tembakau
> > di Sumatera Barat, seperti di Taram,
> >>
> >>   Situjuh (Kab.50 Kota). Dalam bahasa daerah setempat, profesi 
ini
> > disebut juga nahodo.
> >>
> >>   4) Di daerah yang dijadikan latar cerita ini, Dji Sam Soe biasa
> > disebut pelat kuning, karena pita yang melingkari bagian pangkal
> > batangan rokok tersebut berwarna kuning. Dji Sam Soe adalah rokok
> > paling mahal bagi para pecandu di daerah itu.
> >>
> >>
> >>   Last modified: 26/8/05
> >>
> >
> >
> >
> >
> >
> >





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a difference. Find and fund world-changing projects at GlobalGiving.
http://us.click.yahoo.com/j2WM0C/PbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke