Sabtu, 28 Januari 2006 |
|
|
|
LAPORAN KHUSUS PERSPEKTIF
REGIONAL Globalisasi dan Semangat
Imlek
René L Pattiradjawane dan Abun
Sanda
Sejak masa reformasi Tahun Baru Imlek dijadikan sebagai
hari raya nasional, dan tahun ini Imlek jatuh pada hari Minggu, 29 Januari
2006. Dibutuhkan waktu lama untuk membuktikan dan meyakini bahwa nilai
kepercayaan, adat istiadat, maupun kebudayaan tidak bisa dibendung siapa
pun, baik oleh rezim kekuasaan apalagi individu.
Jadi, sebenarnya sangat mengherankan apabila perilaku
diskriminatif masih tetap menjadi bagian praktik pemerintahan, mulai dari
perlunya surat kewarganegaraan bagi orang-orang Tionghoa untuk mengurus
paspor atau kartu tanda penduduk (KTP) sampai praktik ”lampu merah” dalam
mengimpor barang-barang ke Indonesia, hanya karena pemiliknya keturunan
Tionghoa yang kebanyakan pedagang atau pengusaha.
Nuansa Imlek sekarang ini mungkin berbeda dengan
sebelumnya. Tahun Baru China menjadi bagian penting dari proses
globalisasi yang saat ini menjadi perdebatan, pembicaraan, serta
memengaruhi kehidupan berbisnis dan bernegara. Kemajuan RRC yang sangat
pesat telah mengubah semua aktivitas kita yang tidak lagi bisa menghindar
dari pertumbuhan China yang sangat pesat.
Boleh dibilang, tak ada produk atau barang yang kita
gunakan di sekeliling kita yang bukan buatan China, mulai dari odol, sabun
mandi, sampai perangkat stereo. Dan pada saat perayaan Imlek (yang juga
dirayakan di seluruh bagian dunia), seminggu sebelum dan sesudahnya
seluruh aktivitas bisnis dan perdagangan yang berkaitan dengan China
terhenti.
Emily dan Alfredo Hui dari PT Astrindo Senayasa dalam
percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu mengatakan, tidak bisa
dihindari bahwa kehidupan sehari-hari di bawah bayang-bayang globalisasi
tidak akan terlepas kaitannya dengan China.
Bagi Emily dan Alfredo yang bergelut pada distribusi
teknologi informasi dengan pabrik manufaktur di daratan China, selama 7-10
hari (dalam rangka Imlek) praktis tidak ada kegiatan bisnis yang bisa
dilakukan. ”China dan globalisasi menjadi sangat dahsyat dan bisa
dibayangkan berapa miliar dollar AS bisnis yang terhenti selama perayaan
Imlek ini,” kata Alfredo.
Kesempatan dan bahaya
Begitu besarnya pengaruh China di era globalisasi sekarang
ini, kita pun berpikir ulang apakah diskriminasi masih relevan hanya atas
nama persaingan ekonomi dan bisnis maupun kecemburuan sosial? Globalisasi
adalah masalah risiko dan peluang. Mereka yang berani mengambil risiko dan
peluang yang akan menikmatinya, sesuai dengan ungkapan kata risiko
(fengxian) dalam aksara China memiliki karakter yang artinya kesempatan
dan juga karakter yang artinya bahaya.
Menurut Franciscus Welirang (54), Direktur PT Indofood
Sukses Makmur Bogasari Flour Mills, di era globalisasi sekarang ini
asal-usul seseorang menjadi tidak penting sejauh ada nilai-nilai kerja
yang disepakati dalam kelompok-kelompok yang saling
berhubungan.
Pemikiran ini tercermin pada generasi pertama usahawan
keturunan Tionghoa di Indonesia yang berkomunikasi dengan publik maupun
keluarganya melalui bahasa kerja. Generasi ini menekankan kualitas kerja.
Mereka tidak suka panggung dan lebih memilih bermain di belakang
layar.
Eka Tjipta Widjaja (85) dalam beberapa kesempatan kepada
Kompas, misalnya, menyatakan, usahawan berkomunikasi dengan publik melalui
hasil kerja nyata. Misalnya, menghasilkan produk unggulan yang
mengharumkan nama bangsa dan membuka lapangan kerja.
Usahawan lain yang menunjukkan spirit hebat adalah Sudono
Salim. Pria santun yang tahun ini memasuki usia 91 tahun itu mempunyai
elan yang sukar diukur dalamnya. Kendati kondisi kesehatannya kini jauh
dari prima, Oom Liem, begitu ia sering disapa, masih suka melakukan
aktivitas layaknya orang sehat.
Pada banyak kesempatan Sudono Salim suka menitip pesan,
jangan mencari musuh dan carilah kawan sebanyak mungkin. ”Ada yang disebut
barang bekas, tetapi tidak ada bekas teman,” katanya. Jadi, sambungnya,
berkawanlah. Jangan konflik. Kalau Anda sabar dan tabah, kelak Anda akan
tahu manfaatnya.
Dalam merayakan Imlek yang jatuh pada Tahun Anjing
sekarang ini menjadi tidak penting lagi apakah kita seorang Tionghoa atau
bukan. Thamura, pembuat barongsai dari Persaudaraan Gie Say di Vihara
Widhi Sakti Sukabumi, mengatakan, sekarang ini kebanyakan pribumi yang
memainkan barongsai, yang rata-rata beratnya 4-6 kg. ”Orang Tionghoa-nya
sudah jarang yang mau memainkan barongsai karena memang latihannya berat,”
ucap Ketua Gie Say Wan Gust Halim.
Trihatma Kusuma Haliman, Chief Executive Officer Grup
Agung Podomoro, pun memiliki pandangan serupa dan mengatakan bahwa di era
sekarang ini tidak lagi penting persoalan etnik ini. ”Kita perlu melakukan
blending,” kata Trihatma Kusuma Haliman, yang dengan bangga menceritakan
bagaimana kepala finansialnya yang pribumi selalu ngotot membela
dia.
Semangat dan etika
Globalisasi dan kemajuan RRC memberikan kita petunjuk
perlunya kerja sama antaretnis secara lebih luas dan mendalam untuk bisa
bersaing di panggung internasional yang semakin transparan. Orang-orang
Tionghoa bukan lagi sapi perahan akibat sebuah sistem yang tercipta karena
Perang Dingin dan persaingan ideologi.
Sekarang sistem itu tidak ada. Imlek dirayakan oleh orang-
orang Tionghoa dan pribumi. Seperti dijelaskan Oom Liem mengenai peran dia
setelah tidak lagi aktif berbisnis, tetapi memberikan semangat,
mengajarkan filosofi usaha, serta etika. Dan kita perlu itu
semua. |
SUARA PEMBARUAN DAILY
Mencari Sosok Tionghoa Indonesia
Oleh Stevanus Subagijo
AHUN Baru Imlek 2557 berdasarkan kalender jatuh pada 29 Januari 2006
(Tahun Anjing Api). Sambutan luar biasa perayaan Tahun Baru Cina, Imlek atau Sin
Cia - dengan salam Gong Xi Fat Cai marak di berbagai media dan mal.
Berbagai asesoris seperti pakaian, kartu ucapan, amplop ang pao, lampion, kue
keranjang, musik mandarin, sarana upacara ritual menjadi simbol eksistensi
kalangan Tionghoa yang 30 tahun lebih mengalami represi budaya. Imlek menjadi
puncak legitimasi dari pernik budaya seperti liong-barongsai, wayang potehi,
media berbahasa mandarin, parpol Tionghoa sampai soal feng shui.
Apalagi Imlek oleh pemerintah sudah ditetapkan menjadi hari libur nasional.
Namun ditengah kemeriahan Imlek, bagaimana dengan sosok Tionghoa Indonesia
sendiri. Apakah sosok Tionghoa Indonesia juga mengalami kebaruan demi kebaruan
dari waktu ke waktu ? Berikut kita coba cermati sosok Tionghoa yang berbeda dari
analisa akademis.
Periode Mei Lan-Ahong
Sosok Tionghoa Indonesia pertama sangat kuat dicitrakan dengan tokoh Mei Lan
dalam film boneka si Unyil, Ahong dalam sinetron Si Doel Anak Betawi atau dalam
aktor lawak yang memerankan seorang Tionghoa. Tionghoa dalam periode ini tetap
menjadi seorang yang asing dalam budaya lokal yang melingkupi. Sesuatu yang
asing dengan demikian mempunyai banyak perbedaan bahkan pertentangan. Tak heran
selalu ada saja yang ditertawakan seperti logat bicara, kesulitan mengucapkan
huruf r (cedal/celat). Tentu saja stereotip tentangnya juga ditonjolkan seperti
kaya tapi kikir dan berorientasi pada keuntungan atau uang. Tionghoa seperti
seorang perantau yang mampir dalam komu- nitas budaya lokal yang berbeda.
Dalam periode Mei Lan-Ahong ini tidak ada pilihan lain bagi Tionghoa kecuali
berbaur dengan masyarakat yang melingkupinya. Tionghoa yang eksklusif akan
dicitrakan buruk (biasanya digambarkan dengan tidak mau ikut ronda atau
siskamling), sedangkan mereka yang inklusif dan mau berbaur dihargai. Tak heran
pada periode ini dikalangan Tionghoa dikenal pameo, dudu cino nek durung
njawani (belum menjadi China kalau belum bisa bersikap seperti orang
Jawa).
Di Bandung pernah muncul istilah cina tapi nyunda (China tapi seperti
orang Sunda). Upaya untuk membaur terutama juga disokong oleh kebijakan rezim
Orba. Tak heran banyak Tionghoa dituntut juga mengganti nama tiga suku katanya
dengan nama Indonesia. Namun identitas ketionghoaannya masih dipertahankan
minimal bisa ditandai. Tionghoa marga Oey misalnya yang dilafalkan uwi/wi
memakai nama Indonesia Wijaya, Wiyono. Lim menjadi Salim, Halim. The menjadi
Tejo atau Teguh. Bahkan marga yang jarang didengar, seperti Ang menjadi Anggono.
Uniknya Mei Lan dan Ahong belum juga ganti nama pahadal rezim Orba
mengharuskan itu. Mungkin karena mengurusnya sulit, lama dan ekonomi biaya
tinggi. Upaya untuk mempertahankan ketionghoaan secara minim tetap tergerus oleh
wacana pembauran yang sangat kuat dan menjadi satu-satunya model asimilasi
Tionghoa yang dianggap ideal, dengan motif utama kekuatiran menjadi isu SARA.
Namun justru dengan pola Mei Lan-Ahong ini, hubungan dengan masyarakat luas bak
keramik China yang gampang retak dan pecah. Karena interaksi sosial tidak asli,
direkayasa dengan topeng dan kebijakan rasial.
Periode Acong
Perkembangan sosok Tionghoa berikutnya diwarnai dengan hadirnya sosok Acong
dalam ''blantika'' ketionghoaan nasional. Acong yang berteman sejak kecil dengan
Joko (Jawa) dan Sitorus (Batak) mencuat dalam ikan layanan masyarakat pasca
kerusuhan Mei 1998. Joko kalau tak salah menjadi dokter, Sitorus menjadi
pengacara dan Acong menjadi pengusaha dan terus berteman hingga dewasa. Periode
tiga sahabat karib berbeda etnis ini menjadi tonggak baru dalam memandang sosok
Tionghoa.
Yakni sejak kecil Tionghoa sudah dan tetap diakui sebagai Tionghoa. Tanpa
harus risih atau ewuh pakewuh dengan ketionghoaannya yang sudah takdir.
Demikian juga dengan Joko dan Sitorus, melihat ketionghoaan Acong sebagai bawaan
dari sananya dan kultur Joko dan Sitorus yang merupakan kultur dominan
melingkupi kehidupan Acong juga tidak mempersoalkan perbedaan itu, tetapi
menjadikannya sebagai elemen kultural baru yang memperkaya.
Pastilah dalam pergaulan ketiganya gesekan kultural bisa terjadi, karena
memang masing-masing berangkat dari kultur yang berbeda. Namun justru dengan
persentuhan dan interaksi yang apa adanya, mereka bisa saling mengerti
keberadaannya masing-masing dan tetap membuka upaya untuk menjalin hal-hal yang
sama dan bukan sebaliknya mempertentangkan hal-hal yang berbeda.
Periode Gie
Periode sosok Tionghoa berikutnya ialah periode Gie (Soe Hok Gie) yang
berkarakter kuat apalagi setelah muncul film tentangnya yakni Gie. Soe Hok Gie
sendiri sebetulnya hadir sebagai Tionghoa yang nyata. Ini berbeda dengan Mei
Lan, Ahong atau Acong yang merupakan tokoh fiktif dan hanya ada di film,
sinetron dan iklan. Gie sungguh-sungguh ada dan itupun terjadi beberapa puluh
tahun lalu ketika ketionghoaan sebetulnya masih menjadi problem kesatuan bangsa.
Namun Gie menampilkan sosok Tionghoa yang justru sangat ideal, terlebih kini.
Buat Gie, ketionghoaan tampaknya sudah selesai, dan yang diperlukan ialah apa
yang akan dilakukan oleh seorang Gie bagi bangsanya. Interaksi sosialnya tidak
harus distigmakan oleh kecinaannya tapi oleh prinsip-prinsip kebenaran yang
diyakini Gie. Herannya saat itu sosok Gie mungkin masih dipandang hanya sebagai
seorang aktivis mahasiswa keturunan dan bukan sebagai sosok Tionghoa masa depan.
Kini Gie menjadi kiblat banyak Tionghoa terdidik, mereka mbuh ora weruh
dengan ketionghoaannya, yang lebih dipedulikan ialah berprestasi bagi bangsanya.
Dari menjadi juara bulu tangkis sampai menjadi juara olimpiade fisika, yang tak
peduli apakah punya Surat Bukti Kewarganega- raan Republik Indonesia (SBKRI)
atau tidak. Prestasi apa saja sebagai karya yang bisa diterima dan bermanfaat
bagi banyak orang menjadi tujuan sosok Tionghoa baru. Orang tidak akan melihat
ketionghoaannya, tetapi pada manfaat apa yang bisa ia berikan.
Seloroh Babah
Dari itu semua, tidak ada sosok Tionghoa yang paling ideal. Tidak juga bisa
dikatakan bahwa Tionghoa kini sudah mencapai periode Gie, karena Tionghoa di
daerah tertentu dengan Tionghoa dari daerah lain, mempunyai perkembangan yang
berbeda-beda. Ini tergantung dari interaksi dengan budaya lokalnya entah itu
Jawa, Sunda, Batak dst. Namun melihat perkembangan sosok Tionghoa yang makin
beragam muncul optimisme melihat masalah ketionghoaan akan berakhir dengan
banyaknya pilihan menjadi Tionghoa.
Guyon Babah (Tionghoa peranakan ) di Jawa mengatakan lung guan swe, tan
po guan yang dalam pengucapan lisannya beraksen Tionghoa tetapi
sebenarnya penuh muatan bahasa Jawa. Kalimat itu mempunyai kepanjangan
lungguhan wis suwe ora nompo (tanpo) suguhan, yang artinya
"duduk-duduk sudah lama, tapi tidak menerima hidangan". Hubungan Tionghoa dengan
masyarakat budaya lokal yang melingkupi seperti guyon diatas adalah
"duduk-duduk" bersama yang sudah sangat lama. Namun masih belum ada hidangan
yang keluar.
Hidangan disini mempunyai makna prestasi atau kebaikan apa saja yang bisa
diberikan oleh Tionghoa, juga anak-anak bangsa lainnya Joko, Sitorus, Asep yang
bisa dinikmati bersama-sama. Sekarang saatnya "hidangan yang enak-enak" itu
dikeluarkan, ditengah makanan basi seperti korupsi, pornografi, formalin, harga
naik atau bencana alam. Angpao sosial Imlek ialah mengambil langkah pertama
untuk memperbaiki apa saja yang bisa diperbaiki di bangsa ini, tak peduli dia
itu masih Mei Lan, Ahong, Acong atau sudah Hok Gie. Selamat Imlek. *
Penulis adalah peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
Last modified: 27/1/06
Imlek dan Berkah Kue
Keranjang
Oleh Yuyuk
Sugarman
YOGYAKARTA – Sebentar lagi, warga Tionghoa akan
merayakan tahun baru Imlek 2557 yang jatuh pada 29 Januari 2006. Pada awalnya,
Imlek atau Sin Tjia merupakan perayaan yang dilakukan para petani di China yang
biasanya jatuh pada tanggal 1 di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini
berkaitan dengan pesta petani menyambut musim semi. Para petani di China ini
dalam menyambut Imlek biasanya melakukan sembahyang kepada Sang Pencipta dan
mengadakan perayaan Cap Go Meh. Semua ini dilakukan sebagai perwujudan syukur
dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak. Dalam
menyambut Imlek, mereka menyajikan berbagai jenis makanan, biasanya 12 jenis,
untuk menjamu leluhur. Selain itu, mereka juga menggunakan hari itu sebagai
sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Kedua belas macam makanan atau
kue ini mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Di China, hidangan
yang wajib adalah mi panjang umur (siu mi) dan arak. Di Indonesia, hidangan yang
dipilih biasanya hidangan yang mempunyai arti ”kemakmuran”, ”panjang umur”,
”keselamatan” atau ”kebahagiaan”, dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur.
Ada suatu kepercayaan bahwa kue-kue yang dihidangkan lebih manis daripada
biasanya. Hal ini dimaksudkan agar kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih
manis. Di samping itu, dihidangkan pula kue lapis sebagai perlambang rezeki yang
berlapis-lapis. Kue mangkok dan kue kekeranjang juga merupakan makanan yang
wajib dihidangkan pada waktu persembahyangan menyambut datangnya tahun baru
Imlek. Maka, tak heran jika banyak pengusaha kue atau roti yang membuat kue
kekeranjang untuk dijual secara partai kecil atau partai besar, bahkan banyak
yang menerima pesanan. Salah satu yang membuat kue keranjang di Yogyakarta
adalah Ny Siauw Lie Tjen (60) yang meneruskan usaha ayahnya, Siauw Boen Tjiauw
yang merintis sejak tahun 1930-an. “Sudah menjadi tradisi, setiap perayaan
Imlek harus ada kue keranjang. Keberadaan kue keranjang sama dengan keberadaan
ketupat dan opor dalam perayaan lebaran umat Islam. Untuk itu, kami membuat kue
keranjang ini,” kata Siauw Lie Tjen, pengusaha Kue “Mapan” ini. Sejak tiga
minggu menjelang Imlek, ia telah kebanjiran permintaan dari berbagai kota,
misalnya Magelang, Semarang dan Banyumas. “Saya tak bisa merambah Jakarta atau
Surabaya karena di sana juga sudah banyak pengusaha yang membuat kue keranjang.
Tak mungkin kami bersaing dengan mereka yang punya modal dan jaringan besar,”
ujarnya. Hingga Minggu (22/1), Ny Siauw Lie Tjen telah menghabiskan 1,5 ton
tepung ketan dan 1,5 ton gula pasir untuk membuat kue keranjang. Permintaan ini
akan terus meningkat hingga empat hari menjelang Imlek. “Biasanya banyak yang
memesan kue keranjang tingkat. Perkiraan saya sampai puncak perayaan Imlek bisa
meghabiskan 4 ton tepung beras ketan dan 4 ton gula,” katanya. Setiap hari
Siauw Lie Tjen dibantu sepuluh karyawan, mampu mengolah 300 kg tepung beras
ketan dan 300 kg gula menjadi 1.200 kue keranjang berukuran kecil dan besar.
Untuk ukuran kecil, kue keranjang ini dijual seharga Rp 5.000, sedangkan kue
kekeranjang bertingkat ukuran lebih besar dijual Rp 50.000. Untuk
menghasilkan kue keranjang, dibutuhkan proses cukup lama. Setelah tepung ketan
dan gula diadoni, lantas dikukus selama delapan jam, tidak lebih dan tidak
kurang. “Lebih dari delapan jam hasilnya terlalu keras. Kurang dari delapan jam
kuenya tidak tahan lama,” tuturnya. Setelah itu, kue yang telah matang
didinginkan dan dicetak dalam sebuah kaleng yang telah disiapkan, lalu
diangin-anginkan, bahkan bila perlu dijemur. Agar terlihat menarik, setelah kue
itu dibungkus ditambah dengan hiasan lampion. “Imlek merupakan berkah bagi kami
sekeluarga,” ujar Ny Siauw Lie Tjen. n
.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.
.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.
.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.
.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.
SPONSORED LINKS
YAHOO! GROUPS LINKS
|