http://kompas.com/kompas-cetak/0605/11/utama/2645706.htm
      Kamis, 11 Mei 2006  
     
     
     

      Seni Budaya
      Kambing Hitam Reformasi dalam Ketoprak 


      Susi Ivvaty

      Tuku brondong diwadhahi kanthong/ Bagong kejeglong kesenggol bokong/ 
Timbang ndomblong mendhing nyonthong/ Ngomong-ngomong negara kobong [Membeli 
brondong dimasukkan kantong/ Bagong terperosok tersenggol bokong/ Daripada 
bengong lebih baik ngomong/ Membicarakan negara yang sedang kobong (terbakar)]. 

      Kidungan Tjap Tjonthong itu mengawali pertunjukan ketoprak berjudul Putri 
China oleh Kethoprak Ringkes Tjap Tjonthong Djogdjakarta, Selasa (9/5) di 
Bentara Budaya Jakarta. Pertunjukan yang digelar bersama-sama pameran lukisan 
Hari Budiono dan pameran foto wartawan Kompas tersebut diusung Kelompok Kompas 
Gramedia untuk memperingati sewindu reformasi. 

      Ketoprak Putri China merefleksikan peristiwa di negeri Pedang Kemulan 
menjelang kejatuhan Prabu Amurco Sabdo. Putri China dijadikan kambing hitam 
untuk mengalihkan persoalan dan melanggengkan kekerasan. 

      Isinya serius, tetapi kemasannya sangat jenaka, khas ketoprak. Dengan 
bahasa separuh Jawa separuh Indonesia, ketoprak "mini pemain" ini membuat 
penonton yang memadati pelataran Bentara Budaya Jakarta tak berhenti 
terbahak-bahak. 

      Kelompok yang terbentuk pada tahun 2004 ini memang lahir dari sebuah 
kegelisahan. Budayawan dan rohaniwan Sindhunata kemudian turut serta memberi 
ide-ide—dengan mencairkan isi suatu teori tertentu—untuk berbagai pentas 
kelompok ini. Dengan humor satir, kelompok ketoprak ini mengangkat isu-isu 
kekerasan dengan enteng. 

      Negeri kacau 

      Diawali dengan gunungan dalam siluet, pertunjukan mulai memotret sebuah 
negeri antah-berantah yang tidak tata, titi, tentrem, dan karta raharja 
(tenteram dan sejahtera). Prabu Amurco Sabdo (diperankan Den Baguse Ngarso) di 
Kerajaan Pedang Kemulan digambarkan sebagai sosok yang tamak dan berkuasa. 

      Suatu ketika Prabu beserta Senopati Gurdo Paksi (Marwoto Kawer) dan Patih 
Gagak Abang (Novi Kalur) tengah berkumpul, membicarakan negeri yang makin kacau 
karena banyak demonstrasi. Ketiganya lalu berpesta. 

      Namun, ketika para demonstran makin mendekati istana, Raja kebingungan 
dan memerintahkan Gurdo Paksi dan Gagak Abang menghabisi mereka. Namun, Gurdo 
Paksi menolak. Ia kemudian menjumpai Sioe Lien, warga keturunan Bangau Putih, 
yang sedang resah. 

      Keresahan meluas lantaran beredar kabar bahwa semua warga Bangau Putih 
akan dimusnahkan. Sementara warga Bangau Putih diperkosa dan dibantai, Sioe 
Lien ditangkap, dijadikan kambing hitam permasalahan. 

      Para demonstran berhasil menyerbu istana dan Gurdo Paksi memaksa Raja 
untuk lengser. Raja pun terpaksa lengser dan memilih orang lain menjadi raja 
baru (yang tetap diperankan oleh Den Baguse Ngarso). Intinya, raja berganti, 
tetapi karakternya tetap sama saja. Orangnya bisa berbeda, tetapi peraturan dan 
ketamakannya sama saja. 

      Adegan ini pun oleh mereka masih bisa dibuat kocak. "Lho, kok Prabu 
lagi?" tanya Marwoto. Den Baguse menjawab, "Pemainnya kurang." 

      Sindiran kocak memang selalu disisipkan dalam setiap adegan ketoprak ini, 
yang istilah Jawanya guyon parikeno. Novi Kalur berkata, "Kemiskinan di negeri 
ini berkurang, dari 40 persen menjadi 15 persen." "Yang 25 persen?" tanya Den 
Baguse. "Mati semua," jawab Novi. "Bagus. Kalau begitu, yang 15 persen dibunuh 
sekalian," timpal Den Baguse. 

      Soal demonstrasi, mereka juga menyindir, "Uyak uyuk, lari ke sana kemari 
dibayar Rp 25.000. Nggebuk (memukul) polisi Rp 150.000." 

      Mereka juga menyuguhkan dagelan segar sesuai karakter para pemainnya. 
Marwoto dengan umpatan-umpatannya yang khas, Kirun yang terus mengoceh, juga 
Den Baguse yang biasa melawak dengan intonasi yang khas, sedikit tetapi 
mengena. 

      Lontaran jenaka tersebut, misalnya, ketika Den Baguse berkata, "Justisia 
non erektus, keadilan tak bisa ditegakkan," yang lalu dijawab oleh Marwoto, 
"Four health five completely, empat sehat lima sempurna." Ya tidak nyambung. 

      Kambing hitam 

      Pergelaran Putri China ini berbarengan dengan diluncurkannya buku karya 
Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, di Bentara Budaya Jakarta dan 
Balai Pemuda Surabaya. Lakon Putri China sendiri diangkat dari bagian terakhir 
buku itu. 

      "Bagian itu membahas, bagaimana rivalitas manusia meledak menjadi 
kekerasan di tanah Jawa ini mau tak mau harus dikosongkan. Pengosongan itu 
ditimpakan kepada kelompok yang kebetulan etnis Tionghoa, dan terstigmakan 
sebagai kambing hitam," kata Sindhunata. 

      Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama dalam orasi budayanya mengatakan, orang 
mempunyai kecenderungan meniru orang lain dan ini menimbulkan rivalitas. 
"Rivalitas ini menimbulkan kekerasan dan pada akhirnya akan mencari kambing 
hitam." Siapa yang mau menjadi kambing hitam?
     


      http://kompas.com/kompas-cetak/0605/11/humaniora/2651077.htm
      Kamis, 11 Mei 2006  
     
     
     

      Tonggak
      Tonggak Sejarah Terlupakan Jelang Sumpah Pemuda 


      Jakarta, Kompas - Pelaksanaan Kongres Kebudayaan I di Surakarta tahun 
1918 adalah tonggak sejarah menjelang Sumpah Pemuda yang terlupakan. 

      Demikian penjelasan Sekretaris Umum Badan Kerja Sama Kesenian Indonesia 
(BKKI) Nunus Supardi di Jakarta, Rabu (10/5). Pelaksanaan kongres yang dimotori 
aktivis Budi Utomo itu menggagas kesadaran berbangsa sekaligus berbudaya. 

      "Ketika itu bahkan dua panelis orang Belanda menggagas dan berbicara 
tentang ke-Indonesiaan. Kongres itu dimotori oleh Mangkunegoro VII yang waktu 
itu masih bergelar pangeran. Setahun kemudian beliau dalam Kongres II pun 
berani mengambil sikap menentang perintah Belanda untuk mengadakan seminar 
lebih luas tentang budaya Sunda-Bali dan Madura sehingga melepas identitas 
ke-Jawa-an. Ini adalah manifestasi kebudayaan jauh sebelum kita merdeka tahun 
1945," kata Nunus. 

      Dijelaskan, ini merupakan rangkaian proses dari kelahiran Budi Utomo yang 
mendorong kesadaran berbangsa dan mencapai kulminasi pada Sumpah Pemuda 1928. 

      Kongres itu melahirkan sejumlah rekomendasi yang mendorong kemunculan 
lembaga untuk mendalami kesenian dan kebudayaan sebagai alat penyadaran 
berbangsa. 

      Agenda kongres juga membahas pentingnya pendidikan sejarah bangsa bagi 
masyarakat Bumiputera. 

      Kesadaran itu mendorong agar tidak sekadar menerima pengajaran sejarah 
versi Belanda. Demikian pula ditekankan pentingnya pengajaran bahasa setempat. 

      Semasa penjajahan Belanda, kongres kebudayaan berlangsung pada tahun 
1918, 1919, 1921, 1924, 1926, 1929, dan 1937. 

      Nunus menyayangkan pada perkembangan setelah Indonesia merdeka, kongres 
kebudayaan justru menjadi ajang kepentingan politik kelompok. 

      Lembaga kebudayaan milik partai politik menjadi dominan dan menjadikan 
kongres kebudayaan sebagai medan perang ideologi. Demikian pula pada masa 
sesudah reformasi, Konggres Kebudayaan dipandang sinis karena dianggap dibiayai 
pemerintah. (Ong) 
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Protect your PC from spy ware with award winning anti spy technology. It's free.
http://us.click.yahoo.com/97bhrC/LGxNAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke