Maaf, mungkin sedikit ketinggalan. Saya kira, manusia berkomunikasi kan lewat simbol-simbol. Selain bahasa masih banyak lagi simbol-simbol lain yang digunakan untuk berkomunikasi (gambar, gerak tubuh dlll) seiring dengan perkembangan budaya manusia, semua simbol-simbol itu pun mengalami pergeseran makna dan nilai (menjadi tidak netral lagi!) Misalnya, baliho reklame (di Indonesia) yang mempropagandakan masyarakat untuk taat membayar pajak menampilkan seorang pria gendut, berkulit putih dan bermata sipit! -- Sebagai simbol komunikasi, gambar pria gendut itu tidak lagi netral, tetapi menyampaikan sebuah pesan terselubung, selain pesan agar orang taat bayar pajak!!
Mengenai kata-kata Gui (setan), Kew/Gou (anjing) dll yang digunakan masyarakat Tionghoa untuk menunjuk/menyapa orang lain. Apakah pesan yang mau disampaikan lewat kata-kata itu memang persis seperti makna/arti kata-kata itu sendiri? Artinya memang ingin menghina/merendahkan? Seorang wanita Tionghoa (tradisional) sangat terbiasa memanggil dan membahasakan suaminya sendiri dengan panggilan Si Gui (Si = mati; Gui = Setan), apakah serta merta berarti ia menghina suaminya? Di Indonesia pun sering kita jumpai pakme-pakme (ibu-ibu tua) menyapa suaminya (yang juga sudah tua) dengan kata "Lo Em Si" (Lao Bu Si) yang artinya "Tua Bangka Ga' mampus-mampus". Apakah berarti si Pakme itu menyumpahi suaminya biar cepat mati? Orangtua Tionghoa juga sangat lazim memanggil anak laki-lakinya dengan sebutan Kew/Kaw (artinya anjing). apakah berarti si orangtua Tionghoa bermaksud merendahkan anak laki-lakinya sendiri? Untuk mengerti pesan apa yang sebetulnya ingin disampaikan lewat kata-kata tertentu oleh masyarakat tertentu, hendaknya kita mengerti dulu latar belakang budaya masyarakat tsb. Dan tidak serta-merta menafsirkannya lewat arti kata-kata itu secara harafiah! Salam, Erik ------------------------------------------------------------------------\ --------------------------------------------- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Harry Sanoza" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Setuju sebab setiap dimana mereka berada selalu orang setempat disebut Kui. Contoh: di Holland. Maka jadi Holland Kui . (setan belanda). Di Jepan Nyipun kui ( is setan Jepang) ,di Amrik , Meikuet kui, is setan amric. Cuma mereka yang menyebut dirinya Nyin ( Orang ) jadi yang lain semua setan. Ha ha ha . Ini hanya nambah pengetahuan jangan marah . Gbu HS -------Original Message------- From: King Hian Date: 11/10/2006 8:18:19 PM To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Re:Tenglan-Huana ==> Ida Chant CT: Sedang Huana, yang mestinya dari katan Fan dalam bhs. Tionghoa berarti orang-luar atau asing, yang tidak berkonotasi menghina ataupun merendahkan. Dan tentunya yang dimaksud adalah bukan dari suku-Han, atau non-Tenglang, jadi tidak ada makna hanya ditujukan pada orang yang disebut "pribumi" di Indonesia. Tapi, ... bisa juga Fan disini dalam pengertian orang yang tidak berkebudayaan, orang liar yang kemudian biasa disebut Fankui (setan-liar), yang sering juga kita dengar di Indonesia untuk menghina yang "pribumi". Oleh karena itu disekolah-sekolah Tionghoa dahulu, saya ingat betul, Guru-guru selalu meperingatkan agar anak-anak sekolah tidak menggunakan kata-kata Huana apalagi Fankui dalam menyebutkan yang non-Tionghoa! KH: Huana (bhs Hokkian) berasal dari HUAN (番) dan A (仔). Huan berarti orang asing, a adalah akhiran, yang mempunyai arti anak. Sehingga Huana berarti orang asing -> orang non Tionghoa. Fankui (bhs Hakka) berasal dari FAN (番) dan KUI (鬼). Huan berarti orang asing, kui berarti setan. Fankui berarti setan asing. Sebutan HUANA tidak mengandung arti merendahkan. Dalam bhs Hakka, istilah yang setara dengan HUANA adalah FAN NYIN -> nyin (人) berarti orang. Teman saya yang orang Hakka dari Bangka, mengatakan bahwa mereka menggunakan istilah FANNGIN bukan FANKUI. Menurut saya, yang seharusnya dilarang adalah istilah FANKUI. salam, KH