Saran saya, secara surat menyurat legal (hukum), tentu saja marga yang digunakan adalah Ang, namun dalam acara kekeluargaan, marga yang digunakan tetap harus marga adopsi, sebagai tanda terima kasih terhadap keluarga angkat, tentunya ini tanpa mengecilkan jasa keluarga kandung. Cuman, kepada anak2 harus diberitahu bahwa mereka masih mempunyai darah keluarga Tan.
Tetapi, saya lihat anda bermarga Oey kalau tidak salah tebak, dari penggunaan nama keluarga Widjaya di nama anda. Rinto Jiang Wiryanto Widjaja wrote: > Menarik juga mengikuti perkembangan soal Marga ini, karena saya sendiri juga > mengalami beberapa point yang disebut Bung Rinto Jiang. > > Ayah saya asli lahir di China, dari keturunan marga Chen (Tan). Datang ke > Indonesia karena diangkat keluarga Yang (Yio). Karena masalah > kewarganegaraan, anak2nya mengikuti WN Ibu yang bermarga Hong (Ang). > > Jadi secara biologis / keturunan darah, saya harusnya bermarga Tan, secara > adapt tionghua saya bermarga Yang, dan secara legal / surat, saya bermarga > Ang. Sering saya bingung kalau ditanya orang2 yang lebih tua, apa margamu? > Saya sebaiknya menyebut apa ya? Apakah sebaiknya saya menggunakan marga Tan > lagi? > > Wiryanto W. > > > -----Original Message----- > From: budaya_tionghua@yahoogroups.com > [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Rinto Jiang > Sent: Saturday, December 16, 2006 11:59 AM > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com > Subject: Re: [budaya_tionghua] Minta saran buat nama Tionghoa > > Saya tertarik untuk menanggapi masalah ganti marga yang dikemukakan oleh > Bung Daz ini. > > Saya kira, marga diciptakan oleh leluhur Tionghoa kuno untuk menekankan > kelangsungan garis keturunan sebuah keluarga. Mengadopsi marga ayah di > dalam kebudayaan Tionghoa yang patrilineal sudah menjadi satu tradisi, > kalau bukan disebut keharusan. Namun, apakah ini tidak ada kecualinya? > Tentu saja ada. > > Sebenarnya, masalah mengadopsi marga bukan hanya semata2 menunjukkan > bahwa si anu itu anak dari si ana, namun lebih luas mencakup: > > 1. Nilai penghormatan kepada keluarga dan leluhur > 2. Simbol kebanggaan dan identitas > 3. Memudahkan untuk melacak kampung halaman, garis silsilah sampai > kepada beberapa ratus tahun yang lalu > 4. Menentukan jauh dekatnya hubungan darah (orang semarga dilarang menikah) > > Untuk mengganti marga, dulu mungkin lebih sulit karena tradisi masih > dipegang erat, karena mengganti marga, tidak mengikuti marga orang tua > merupakan melambangkan sikap tidak berbakti, namun tetap saja ada > pengecualian. > > Setahu saya, di dalam sejarah Tiongkok, penggantian marga di zaman dulu > dapat terealisasi bila: > > 1. Marga baru diberikan orang tua, artinya orang tua menyetujuinya > (leluhur marga Jiang dari klan Liugui mendapatkan marganya dari ayahnya > yang bermarga Weng) > 2. Mendapat marga baru dari Kaisar (Cheng Ho mendapatkan marga Cheng > dari kekaisaran) > 3. Mengubah marga sendiri karena keselamatan keluarga terancam (seorang > pembunuh yang gagal melakukan percobaan pembunuhan terhadap Qin Shihuang > mengubah marga menjadi Diwu demi meyelamatkan diri) > 4. Mengadopsi marga keluarga angkat > 5. Istri dianggap sebagai keluarga suami, dan harus mengadopsi marga > suami (Song Meiling, istri Chiang Kaishek sering disebut sebagai Chiang > Soong Meiling) > > Di zaman Hindia Belanda dan awal kemerdekaan banyak dari orang2 Tionghoa > di pedesaan yang menikah, namun tidak mendaftarkan secara resmi ke > kantor catatan sipil. Secara hukum, pernikahan seperti ini tidak > dianggap legal oleh pemerintah. Oleh karena itu, dalam membuat akte > kelahiran anak dari pasangan seperti itu, marga sang anak tidak > diperbolehkan mengikuti marga sang ayah, melainkan marga sang ibu. Orang > tua saya adalah salah satu contoh nyata. > > Begitu dulu penjelasan saya. > > > Rinto Jiang > > >