KOMPAS - Selasa, 15 Mei 2007 Kerusuhan Mei 1998 Derita yang Tak Juga Berakhir...
M Hernowo Sejak hampir sembilan tahun terakhir, Kewi (65) selalu menolak masuk ke Mall Citra di kawasan Klender, Jakarta Timur. Bahkan, tubuhnya langsung lemas dan kepalanya pusing jika melewati pusat perbelanjaan yang pernah habis dilahap api pada kerusuhan 14 Mei 1998 itu. Saya belum dapat melupakan bagaimana bentuk tubuh Valianto, anak saya, saat ditemukan di lantai II mal itu. Saya masih sakit hati pada mereka yang membakar Valianto hidup-hidup di sana," kata Kewi akhir pekan lalu di rumahnya yang sederhana di Cipinang Muara III, Jakarta Timur. Valianto adalah satu dari ratusan orang yang meninggal akibat kebakaran di Mall Citra pada 14 Mei 1998. Saat peristiwa terjadi, pusat perbelanjaan itu bernama Klender Plaza. Setelah sembilan tahun berlalu, sudah banyak yang berubah di pusat perbelanjaan itu. Tidak hanya namanya yang diganti, sisa-sisa kerusuhan dan pembakaran juga sudah tidak terlihat lagi. Meski demikian, Kewi masih ingat dengan jelas bagaimana Valianto, yang saat itu berumur 20 tahun, pada 14 Mei 1998 pergi dengan teman-temannya untuk melihat kebakaran di Klender Plaza. Dia masih ingat bagaimana keesokan harinya harus melihat tubuh anak ketiganya itu sudah menjadi seperti arang di lantai II mal tersebut. "Saat ditemukan, Valianto dalam posisi meringkuk. Dia dikenali dari bagian baju di bawah ketiaknya yang belum terbakar," katanya. Tewasnya Valianto dengan cara seperti itu membuat hidup Kewi dan keluarganya berubah drastis. Hampir dua tahun dia dan istrinya susah makan dan minum karena stres. Bahkan sampai sekarang, Kewi masih sering mengeluarkan keringat dingin jika ingat Valianto. Beban akibat meninggalnya Valianto makin terasa karena peristiwa itu hanya terjadi dua minggu setelah Kewi pensiun dari pekerjaannya di Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta. "Semua uang pensiun dibayar di muka. Saat itu saya mendapat Rp 5 juta. Namun sekarang sudah habis," ucap Kewi. Tiadanya lagi penghasilan membuat Kewi dan istrinya sekarang harus membuat makanan kecil untuk dijual di warung. "Jika ada Valianto, hidup kami mungkin tidak akan terlalu berat. Setidaknya, akan ada yang membantu membuat peyek seperti yang dahulu sering dilakukan Valianto," kenang Kewi. Sedangkan Nurhasanah (52) mengaku sudah tidak kuat lagi bekerja sejak dua tahun terakhir. Ini akibat kesehatannya yang terus turun semenjak hilangnya Yadin Muhidin, anak keduanya, ketika melihat kerusuhan di Perumahan Griya Inti, Sunter, Jakarta Utara, 14 Mei 1998. "Saya sekarang hanya ingin tahu di mana anak saya. Jika sudah mati, di mana kuburnya?" tutur Nurhasanah yang pada tahun pertama hilangnya Yadin, berat tubuhnya anjlok dari sekitar 80 kilogram menjadi 43 kilogram. Hal ini karena enam bulan pertama sejak Yadin hilang, ia tak mau makan. Stres yang lebih berat dialami Umar, suami Nurhasanah. "Suami saya sampai sering tiba-tiba berlari keluar rumah dan memeluk tiang listrik sambil berteriak-teriak, Ini anak saya, ini anak saya. Ia tiba-tiba sakit darah tinggi dan ginjal sehingga tahun 2002 harus berhenti bekerja di bengkel di Asem Reges, Jakarta Barat," kenang Nurhasanah tentang suaminya yang akhirnya meninggal tahun 2003 karena stres memikirkan Yadin. Pada awal Yadin hilang, Nurhasanah mengaku, pada tengah malam sering ada orang menelepon dan mengaku anaknya akan kembali jika ada uang Rp 5 juta. Tetapi, saat ditanya lebih jauh, telepon langsung ditutup. "Sekarang saya hanya berusaha pasrah, menghibur diri dengan momong cucu. Saya juga berusaha sehat. Kalau sakit, anak saya akan repot," kata Nurhasanah yang juga sakit darah tinggi. Sementara untuk hidup sehari-hari, dia dibantu Teti, anak sulungnya yang bekerja di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur. Sedangkan Ruwiyati (59) mengaku berusaha menghibur diri akibat kematian Eten Karyana, anak sulungnya di Klender Plaza, pada 14 Mei 1998 dengan cara bergabung bersama keluarga korban peristiwa Mei lainnya. Untuk menguatkan diri, ketika bepergian Ruwiyati juga selalu membawa bungkusan plastik berisi kartu tanda penduduk dan catatan identitas Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, atas nama Eten. Tidak ketinggalan pula foto Eten saat masih kuliah di Universitas Indonesia. "Eten itu anak saya satu-satunya yang sarjana. Tahun 1998, dia sudah mengajar di SMU Al Hidayah, Bekasi, sehingga saat itu saya tidak terlalu kerepotan karena dari gajinya, dia sedikit-sedikit dapat membantu sekolah tiga adiknya," papar Ruwiyati. Kematian Eten langsung membuat Ruwiyati harus mencari biaya sekolah untuk ketiga anaknya yang lain. Akibat kekurangan biaya, dari ketiga anaknya sampai sekarang tidak ada yang menyusul Eten menjadi sarjana. Kesulitan ekonomi akibat kematian Eten juga membuat Ruwiyati dan keluarga sampai sekarang harus tinggal di rumah kontrakan bertarif Rp 300.000 per bulan di Kampung Jembatan, Kelurahan Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Dalam usianya yang sudah senja, kadang dia juga masih harus membuat makanan untuk tambahan penghasilan. Sejak tahun 1998, sudah berbagai cara dilakukan Ruwiyati dan teman-temannya untuk mencari keadilan atas kematian anak atau keluarga mereka. Namun, jangankan menemukan dalang di balik kejadian itu atau memperoleh kompensasi untuk membantu meringankan biaya hidup sehari-hari, fakta dari peristiwa yang menewaskan Eten dan teman-temannya itu diduga sekarang justru berusaha ditutup-tutupi oleh sejumlah pihak. "Saya kadang sakit hati kepada pemimpin negeri ini yang tidak mau memerhatikan nasib kami. Sebab, sekarang mereka bisa berkuasa juga karena nyawa anak saya. Tanpa kematian Eten, mereka bukan siapa-siapa. Bahkan mungkin mereka masih harus dikejar-kejar atau diteror," kata Ruwiyati sambil menyebut sejumlah tokoh reformasi yang kini menjadi pemimpin. Indra J Piliang dari Centre for Strategic and International Studies menuturkan, para korban dan keluarganya, seperti Kewi, Ruwiyati, dan Nurhasanah, dapat disebut sebagai ibu kandung dari reformasi. Sebab, dari merekalah reformasi dapat terjadi. Dengan demikian, pengabaian terhadap nasib dan tuntutan korban seperti Ruwiyati merupakan pengkhianatan terhadap reformasi. "Namun memang ada kecenderungan, revolusi atau reformasi akan makan ibu kandungnya sendiri. Ini mentalitas kita yang negatif," tutur Indra. Pengkhianatan ini, lanjut Indra, membuat reformasi yang terjadi hanya berupa pergantian elite dari kekuasaan yang bentuknya tidak banyak berubah. Sementara nasib korban tetap terpinggirkan. Bahkan, korban baru terus muncul, misalnya pembunuhan terhadap Munir, yang terjadi di era reformasi. Memang, entah gajah itu sedang bercinta atau bertarung, rumputlah yang menderita. SUARA PEMBARUAN DAILY -------------------------------------------------------------------------------- THE GLOBAL NEXUS Teror Mei 1998 dan Skenario Darfur Christianto Wibisono engikuti karier aktivis HAM Ester Indahyani Jusuf dan ketegarannya untuk tetap menerbitkan buku Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data & Analisa, saya bersyukur In-donesia masih mempunyai tokoh muda perempuan yang luar biasa. Aktivis ini adalah motor penerbitan buku yang diluncurkan Kamis malam, 10 Mei, di Goethe Institute. Panitia mengungkapkan ada oknum di Komnas HAM yang malah menentang penerbit- an buku. Mengenaskan bahwa Komnas HAM malah membela pelanggar HAM berat. Keberanian Ester untuk tetap meneruskan penerbitan itu membuktikan Ester memang layak mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Award tahun 2000. Sejak zaman Socrates hingga penyaliban Yesus, dan jatuhnya ribuan dan jutaan korban manusia, selalu ada manusia jenis unggul dari segala bangsa, etnis, ras, agama, dan gender yang more than equal. Manusia diciptakan sama, tapi ada jutaan yang hanya jadi pengekor, pengecut, penjilat, pelacur intelektual, dan predator terhadap sesama manusia tanpa malu-malu dan tanpa rasa bersalah sama sekali. Panelis lain ialah tiga tokoh wanita pemberani, Saparinah Sadli, Siti Musdah Mulia, dan Kamala Candrakirana (pu- tri almarhum Soedjatmoko), tiga intelektual Dr J Kristiadi, Faisal Basri, dr Lie Darmawan dengan moderator Ivan Wibowo dan Dr Frans Tschai menutup diskusi. Saparinah Sadli menekankan perlunya temuan buku ini ditindaklanjuti secara konkret, tapi Faisal Basri pesimistis, selama elite bercokol masih disusupi para pejabat yang mestinya bertanggung jawab atas teror biadab Mei 1998. Mereka tidak pernah ditahan atau diinterogasi, naik pangkat dan malah tetap berkiprah untuk merebut kembali jabatan politik. Faisal Basri menyatakan hanya dua fraksi PDI-P dan PKB yang mendukung usulan agar DPR menuntaskan peristiwa Mei. Perkosaan dan pembunuhan oleh oknum aparat negara yang seharusnya melindungi rakyat adalah dosa kuadrat yang sulit diampuni, tapi di Indonesia seolah malah memperoleh impunitas, dilindungi untuk tidak diusut dan diadili. Alasan atau dalih yang dipakai melindungi ialah abstraksi seperti kehormatan korps dan aparatur negara karena meli-batkan petinggi dalam jajaran komando. Justru hierarki itu lebih memperburuk citra Indonesia, sebagai negara predator, pemangsa dan peneror rakyat sendiri. Penembakan mahasiswa Trisakti adalah pemicu yang dibuat oleh oknum sutradara teror predator Mei yang kemudian lepas kendali karena terjadi semacam kudeta dan kontra kudeta antara para pesaing. * Kamis malam itu saya diselipkan dalam satu sequence acara "Kick Andy" bertema misteri pembakaran Yogya Plaza di Klender. Ketika ditanya apakah saya masih dendam karena rumah putri saya dibakar di Kapuk pada teror biadab itu, saya menyatakan saya malah prihatin dengan nasib ratusan dan mungkin ribuan orang yang menjadi korban ambisi predator elite. Politik Teror Mei 1998 seperti juga Malari dan pelbagai "perang saudara" yang disulut di Poso, Palu, Ambon merupakan tingkah laku oknum pengadu domba rakyat untuk merebut kekuasaan. Karena itu mereka harus dihukum berat dan pemerintah harus dihukum membayar ganti rugi kepada keluarga korban tanpa menunggu peradilan dan penangkapan pelaku apalagi otaknya yang berlindung di balik kekuasaan. Elite pengecut yang hanya berlindung di balik kekuasaan resmi negara, kemudian tidak berani mempertanggungjawabkan kepengecutannya telah berulang kali menyulut konflik SARA menjadi pembantaian dan penjarahan berkepenjangan. Rakyat menjadi korban kebencian dan pertentangan yang dicampur-aduk antara kelas (miskin lawan kaya), etnis, dan agama. Negara dibentuk untuk melindungi rakyatnya itu juga termaktub dalam Pembukaan UUD. Kalau aparatur negara gagal melindungi, walaupun diam saja dan tidak berbuat apa-apa, itu sudah merupakan guilty by omission, bersalah karena me- lalaikan fungsi dan layak di- hukum. Pemerintah Daerah tingkat II dan provinsi dan Pemerintah Pusat harus langsung dihukum untuk memberi ganti rugi, dengan menyisihkan dari ABPD dan APBN, dana kompensasi kepada korban pembunuhan, penjarahan bernuansa politik SARA, bila pemerintah gagal melindungi, mencegah dan mengatasi pembantaian yang membunuhi rakyatnya sendiri. Indonesia terancam jadi failed state, negara gagal bila oknum aparatur membajak negara memangsa rakyatnya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan tapi bebas dari hukuman. * Gedung Putih pada Kamis, 3 Mei, mengumumkan bahwa Dubes baru AS untuk Jakarta ialah Cameron R Hume, pejabat Kuasa Usaha AS di Sudan. Mantan Dubes di Afrika Selatan dan Aljazair, bidang politik di Suriah dan Lebanon. Ketika AS mengangkat Dubes Marshall Green maka misinya adalah menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman komunisme PKI dan mencermati suksesi Bung Karno. Jika teriakan Kamala Candrakirana, putri cendekiawan terkemuka Indonesia berkaliber Nobel, Soedjatmoko, tidak didengar dan dilecehkan sebagai Cassandra dalam dongeng Troy, dikhawatirkan impunitas teror Mei 1998 akan melahirkan rentetan pelanggaran HAM berat versi penculikan aktivis, pembunuhan Munir, Ambon, Poso. Atau, penyengsaraan rakyat versi Lumpindo (Lumpur Lapin- do, Red) dan pemiskinan versi Meruya. Oknum aparatur negara meneror dan menyengsarakan rakyatnya sendiri. Ini bukan hanya masalah etnis Tionghoa atau minoritas non-Muslim, ini ada- lah masalah kemanusiaan mendasar. Jika elite politik Indonesia gagal menegakkan supremasi hukum dan membiarkan impunitas bagi kejahatan terhadap kemanusiaan, Indonesia terancam jadi failed state seperti Sudan dan Darfur. Salah satu calon dubes ialah Karl D Jackson, yang pernah mengamati Indonesia di awal Orde Baru dengan disertasi mengenai birokrasi Indonesia. Karl D Jackson dalam suatu seminar pernah menyatakan bahwa SBY itu berhati-hati karena ia tidak mau mengulangi riwayat hidup mertuanya, almarhum Sarwo Edhie Wibowo. Pada awal Orde Baru, Sarwo Edhie sangat populer dan menjabat komandan RPKAD, cikal- bakal Kopassus, dan dikenal karena reputasi bersih dari korupsi. Soeharto khawatir Sarwo bakal mengikuti jejak Kol Gamal Abdel Nasser dari Mesir, yang menggulingkan atasannya, Jenderal Najib. Sebelum Sarwo jadi Nasser, Soeharto menggebuk dulu dengan mencopot Sarwo dari Komandan RPKAD. Dengan batalnya Karl D Jackson menjadi duta besar serta rencana kunjungan Taufiq Kiemas ke AS bersilaturahmi dengan Partai Demokrat (Hillary dan Obama), lobi politik Jakarta-Washington akan semakin sibuk. Menarik untuk mendalami mengapa AS mengirim Dubes Cameron R Hume dan bukan Karl D Jackson yang memahami profil dan riwayat SBY. Semua tentu akan bermuara pada Pilpres 2009! Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional -------------------------------------------------------------------------------- Last modified: 14/5/07 [Non-text portions of this message have been removed] .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/