Seorang kawan berkomentar, 
dia sulit memahami puisi-puisi purnama di bukit langit
sulit menghayati

mencoba membahas satu puisi, 
gue menyadari, buat gue lebih mudah menikmati 
karena terbiasa dengan terjemahan cerita silat
satu kata satu arti 
walaupun diantaranya tidak ada kata penghubung
justeru mempermudah imajinasi

heheheh zhou xiong, mau tanya
apakah waktu menterjemahkan puisi2 purnama di bukit langit
ada pengaruh dari terjemahan cerita cerita silat yang pakai bahasa 
melayu pasar ke dalam terjemahan puisi Anda?

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Akhmad Bukhari Saleh" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> ----- Original Message ----- 
> From: Skalaras
> To: [EMAIL PROTECTED]
> Sent: Tuesday, May 22, 2007 2:23 PM
> Subject: [tjersil] Puisi dan cerita silat
> 
> Maklumlah kalau Herman sangat terkesan dengan puisi "Sepasang 
Belibis"-
> nya Yuan Haowen, memang puisi inilah yang mengilhami Jin Yong
> menciptakan "tokoh" dan kisah tragedi sepasang rajawali di kisah 
Sin Tiauw 
> Hiap Lu.
> Di situ dikisahkan sang rajawali yang ditinggal mati pasangannya 
ikut bunuh
> diri masuk jurang.
> Sebenarnya dalam STHL ini banyak bertaburan puisi2 klasik dalam 
bentuk
> syair, terutama syair cinta, seolah mengukuhkan warna utama STHL 
yang
> memang merupakan Legenda Cinta, berlainan dengan Sia Tiauw Enghiong
> yang merupakan epos sejarah.
> 
> Ini dua buah syair yang mewarnai ikut mewarnai perjalanan Yoko dan
> Siaoliongli dalam STHL.
> 
> Salam,
> ZFy
> 
> - - - - - - - - - - - - - - -
> 
> CATATAN MIMPI
> Su Shi (1036-1101; Song)
> 
> Sepuluh tahun antara hidup mati hampa meremang,
> meski tiada mengingat, tak mudah melupakan.
> Ribuan li pusara sunyi,
> tiada tempat mencurahkan pilu.
> Walau saling bersua pasti tak akan dikenali:
> wajah dipenuhi debu, cambang seputih salju.
> Semalam tiba-tiba bermimpi pulang ke rumah,
> di samping jendela kecil, sedang berias wajah.
> Saling menatap tanpa kata,
> hanya ribuan baris air-mata.
> Mudah diduga tempat meradang tahun ke tahun:
> di malam bulan purnama, di bukit kecil pohon cemara.
> 
> - - - - - - - - - - - - - - -
> 
> ODE SEPASANG BELIBIS
> Yuan Haowen (1190-1257;  Yuan)
> 
> Semesta ku bertanya,
> apakah gerangan cinta
> yang terus menyuruh berjanji sehidup semati?
> Sejoli kelana melintasi langit selatan bumi utara,
> panas dingin berulang menerpa sayap yang renta.
> Suka dalam cengkerama,
> duka dalam perpisahan,
> ternyata ada putra putri yang begitu kerasukan!
> Lantas engkau pun mengadu,
> ribuan kilo mega tiada bertepi,
> ribuan bukit salju di petang hari,
> kepada siapakah bayang tunggal menuju?
> Jalanan Fen melintang,
> tambur seruling tahun itu berubah hampa,
> Bumi Chu senantiasa diratai kabut belantara.
> Apa gunanya arwah Chu berusaha diundang,
> hantu gunung pun ikut meratapi badai hujan.
> Langit pun cemburu,
> belum juga percaya,
> bukankah kenari dan seriti telah menjadi tanah!
> Seribu tahun sepanjang masa,
> menanti para penyair yang resah,
> yang mereguk tuntas bernyanyi lepas,
> datang berkunjung ke tempat belibis dikubur..
> 
> -------------------------------------------------------------------
-
> 
> ----- Original Message ----- 
> From: herman ardiyanto
> To: [EMAIL PROTECTED]
> Sent: Tuesday, May 22, 2007 10:28 PM
> Subject: Re: [tjersil] Puisi dan cerita silat
> 
> Sebetulnya dulu cayhee bukan penggemar Sin Tiauw Hiap Lu, apa lagi
> nyanyian Lie Mo Tjioe tersebut.
> 
> Justru melihat kecintaan Robin sianseng pada puisi tersebut, 
ditambah lagi
> uraian Aris Tanone cianpwee waktu itu, baru cayhee bisa membebaskan
> keindahannya dari kerangka Sin Tiauw.
> Sekarang pun, walau menggandrungi syair tersebut, cayhee masih 
menempatkan
> Sin Tiauw di bawah Siau Go Kang Ouw atau Ie Thian To Liong.
> 
> Herman
> (catatan tentang puisinya dicicil aja ya biar cukup
> sampai buku berikutnya terbit)
>


Kirim email ke