Jadi pendeta itu, bila cerdik dan 'tahu diri', sesungguhnya sangat menyenangkan. Sebagai penggembala para domba, ia terpuaskan keinginan psikologisnya akan 'power', bayangkan aja: ketika sang Penggembala sedang berkhotbah, para domba duduk manis sambil sekali-sekali menyambutnya dengan tepuk tangan sukacita, apapun yang dikatakannya para hadirin selalu meng'amin'inya. Pak Pendeta sama sekali tidak perlu naik darah kayak Pak SBY yang 'khotbah'nya sering di'cuek'I oleh beberapa hadirin (yang tipe 'penjilat' sih menahan-nahan kantuknya). :-) Selain itu, tidak usah pusing-pusing memikirkan perusahaan seperti layaknya para pengusaha lainnya, pak Pendeta setiap bulan menerima perpuluhan (10% dari penghasilan kotor loh!) dari para domba. Ia tidak perlu takut didatangi orang KPK, ia tidak perlu was-was diperiksa oleh auditor atau didatangi petugas pajak. And last but not least, surga adalah tempat abadinya yang tentu saja sangat nyaman tidak ada duanya. Semoga teman-teman di sini tidak ada yang iseng-iseng tanya.."kenapa kalo gitu elo sendiri kagak mo jadi pendeta???" :-)
Salam fakta, als _____ From: Tantono Subagyo [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, October 08, 2008 7:37 PM To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Ajaran Budaya Tionghua tentang memaafkan. Pertanyaan sederhana: Buat apa anda menjadi pendeta? kan lebih baik berkarya nyata yang langsung terlihat manfaatnya, semua orang sebaiknya dikerahkan untuk mendirikan sekolah atau yayasan sosial membantu fakir miskin, tak usah menghabiskan waktu berkotbah segala? Lha, jadi pendeta agar saya dapat mengabdi sepenuhnya kepada Tuhan. Disamping jadi pendeta saya juga berkarya nyata kok, ada sekolah yang sudah saya dirikan, kalau saya jadi pendeta nanti disamping berkotbah saya juga masih akan berkarya nyata, bersama teman-teman di LSM dan dirikan sekolah lagi. Dengan kotbah saya bisa ajak orang lain untuk berkarya nyata, jadi yang berkarya nggak cuman saya tapi juga banyak orang. Salam, Tantono