http://www.sinarharapan.co.id/berita/0901/19/nus04.html
Etnis Tionghoa Korban Penumpasan PGRS/PARAKU di Kalbar Oleh Aju Singkawang - Masyarakat etnis Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) yang akan merayakan Imlek 2560, Senin (26/1) dan ditutup dengan perayaan Cap Goh Meh, Minggu (8/2), pernah menjadi korban tragedi kemanusiaan paling memilukan sepanjang sejarah Indonesia. Pada 14 Oktober 1967, ketika pemerintah gencar menumpas sisa-sisa aktivis komunis yang tergabung dalam Pasukan Gerakan Rakyat Sarawak/Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/PARAKU) di sepanjang perbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, etnis Tionghoa dikondisikan diusir dan dibunuh masyarakat Suku Dayak secara membabi-buta. Akibatnya etnis Tionghoa mengungsi dan melarikan diri di pusat perkotaan. Kota Singkawang, 143 kilometer sebelah utara Pontianak, dijadikan salah satu tempat pengungsian paling banyak. Dalam buku Tandjoengpoera Berdjoeng, 1977, disebutkan setidaknya ada 27.000 orang mati dibunuh, 101.700 warga mengungsi di Pontianak dan 43.425 orang di antaranya direlokasi di Kabupaten Pontianak. Eksodus pun terjadi secara besar-besaran ke luar Kalbar. Sampai sekarang belum terungkap pihak yang paling bertanggung jawab terhadap aksi pengusiran dan pembunuhan sadis itu. Sementara itu, Presiden Soeharto, dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1968 malam, secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Suku Dayak di Kalbar yang telah membantu pemerintah menumpas tuntas sisa-sisa gerombolan PGRS/PARAKU di Kalbar. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa persoalan hubungan antaretnis merupakan permasalahan yang masih sangat peka di Kalbar. Pelaksanaan rekonsiliasi membutuhkan waktu, kesabaran prima dan mesti disertai sikap kehati-hatian semua pihak. Pascakerusuhan antaretnis Februari-April 1999, masih ada 10.369 keluarga mencakup 59.932 jiwa etnis Madura belum bisa kembali ke Kabupaten Sambas. Sementara itu, konflik etnis di Kalbar tidak terhitung sudah berapa kali terjadi sejak tahun 1948. Subandrio Istilah PGRS/PARAKU merupakan implikasi dari sikap tidak setuju Presiden Soekarno terhadap Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak, masuk Federasi Malaysia tahun 1963. Soekarno menghendaki Sabah dan Sarawak jadi negara sendiri. Soekarno menilai pembentukan Federasi Malaysia melalui referendum tanggal 16 September 1963, bagian dari imprealisme barat yang dimotori Inggris, Selandia Baru dan Australia untuk menguasai Asia Tenggara. Implikasinya Soekarno menabuh genderang konfrontasi bersenjata dengan Federasi Malaysia. Untuk mendukung invasi militer, Indonesia merekrut tokoh komunis di Sarawak, untuk dilatih secara militer lewat organisasi PGRS/PARAKU. PGRS/PARAKU dibentuk Sheik AM Azahari yang mengklaim sebagai Perdana Menteri Nasional Kalimantan Utara dari Brunei Darussalam, dan kelompok Yap Chung Ho, Wong Hon, Liem Yen Hwa, Jacoob dari Partai Komunis Sarawak (PKS) yang lebih dikenal dengan Sarawak Advance Youth Association, Kuching, Sarawak. PGRS/PARAKU disokong Subandrio, Wakil Perdana Menteri, merangkap Menteri Luar Negeri, dan Pimpinan Komando Pertahanan Daerah Perbatasan (Koperdasan). Subandrio datang ke Pontianak untuk secara khusus menemui Azahari dan Yap dkk, 2 Desember 1963. Kelompok Azahari dan Yap dkk kemudian dilatih secara militer oleh Badan Pusat Intelijen (BPI) di Bogor. Ketika Indonesia-Malaysia rujuk tanggal 11 Agustus 1966, disepakati penanganan sisa aktivis PGRS/PARAKU diserahkan kepada negara masing-masing. TNI melakukan tindakan militer terhadap sisa aktivis PGRS/PARAKU pascarujuk karena dari 739 anggota yang dicatat, hanya 99 orang di antaranya yang bersedia menyerahkan diri. Malah kelompok pembangkang terus melakukan perlawanan bersenjata. Tanggal 16 Juli 1967 malam, PGRS/PARAKU menyerbu Pangkalan TNI Angkatan Udara di Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang. Insiden penyerangan menewaskan empat prajuit piket TNI dan merampas ratusan pucuk senjata api. Semenjak itu intensitas kontak senjata PGRS/PARAKU-TNI terus meningkat. Kemudian, Maret 1967, seorang guru orang Dayak ditemukan dibunuh di Sungkung, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang. Tanggal 3 September 1967 ada sembilan orang Dayak diculik di Kampung Taum dan baru ditemukan tidak bernyawa oleh masyarakat dan TNI, 5 September 1967.n