--- On Thu, 2/12/09, HKSIS <sa...@netvigator.com> wrote:
From: HKSIS <sa...@netvigator.com>
Subject: [komunitas-tionghoa] Amoy Singkawang
To: "HKSIS" <hk...@yahoogroups.com>
Date: Thursday, February 12, 2009, 11:33 AM
http://15meh.blogspot.com/2008/03/amoy-singkawang_12.html
Wednesday, March 12, 2008
Amoy Singkawang
Amoy merupakan panggilan khas untuk gadis
Tionghoa yang belum menikah. Panggilan itu, sejauh yang bisa diketahui berlaku
untuk daerah Singkawang dan sekitarnya. Saking populernya sebutan itu,
sampai-sampai ada yang sejak lahir sudah diberi nama Amoy. Amoy Singkawang
bukan
hanya cantik. Tapi, mereka juga pekerja keras. Mereka umumnya ulet dalam
bekerja. Karena itu, tak perlu heran bila pria dari mancanegara datang ke sana
dan ingin memperistri Amoy Singkawang.
Satu hal yang paling saya kagumi dari para
amoy ialah rasa berbakti yang tinggi kepada orangtua mereka. Kemiskinan yang
terus menjerat membuat para amoy ingin mengubah nasib keluarga. Pada usia
mereka
yang relatif muda bahkan ada yang baru hendak menginjak usia 14 tahun, ada yang
sudah memilih menjadi pahlawan keluarga. Mereka bersedia menikah dengan pria
asing yang belum mereka kenal sebelumnya.
Pria asing berdatangan dari
mancanegara. Mereka ada yang dari Singapura, Malaysia, Hongkong, dan terbanyak
dari Taiwan. Mereka menawarkan jutaan rupiah. Tawaran itu mulai dari 5 juta
sampai 20 juta rupiah. Menurut saya, rasa-rasanya sebuah harga yang terlalu
murah. Bayangkan untuk mempertaruhkan nasib yang belum jelas dan masa remaja
yang sangat indah, mereka hanya dihargai 5 sampai 20 juta rupiah. Bahkan untuk
harga yang jauh lebih tinggi dari itu, kok nurani tidak sampai
hati.
Biasanya, setelah menikah amoy-amoy itu akan diboyong ke negara si
pria. Harapannya tentu saja cuma satu: para Amoy bisa mengirim uang untuk
membantu keluarga setiap bulannya. Tapi, dalam kenyataannya tidak semua amoy
bernasib baik. Setelah di negara si pria, ada yang dilecehkan secara seksual.
Malah ada yang menjadi budak pemuas nafsu binatang. Ada juga yang harus
membanting tulang siang-malam. Tak jarang pula amoy-amoy itu menjadi korban
penipuan. Bahkan ada yang terpaksa harus menikah dengan pria yang catat
fisiknya.
Jadi, bisa saja amoy tidak menjual diri, tapi mereka menjual
hati. Namun, jeritan kepedihan dan lolongan tanggisan mereka tak pernah ada
yang
tahu. Mereka hidup di tempat yang asing dengan orang yang belum mereka ketahui
seluk beluknya. Sebagian dari mereka terpaksa berbahasa tarzan karena bahasa
mereka memang berbeda. Amoy juga tidak pernah tahu bagaimana melewati masa
remaja. Dalam sejarah kehidupan mereka tidak pernah ada cerita cinta
monyetnya.
Ada kisah menarik. Seorang amoy yang bernama Alang pernah
bercerita, ketika menginjak usia 14 tahun, ia sudah di “ekspedisi” ke Hongkong.
Oleh Mak Comblang yang membawanya, Alang dinikahkan dengan seorang pria yang
cacat kedua kakinya. Semula ia menolak. Tapi, apa daya?. Hidup jauh di negeri
orang, di negeri antah berantah, dengan bahasa yang berbeda, uang pun tidak
punya, Alang terpaksa mengalah pada sang nasib.
Pernikahan berlangsung
sederhana. Mahar nikahnya 15 juta rupiah saja. Setelah itu, Alang pun memulai
kehidupan baru. Ia harus bangun pagi dan merawat suaminya. Setelah selesai
Alang
harus membantu di restoran milik mertuanya. Tak jarang ia dimaki. Hal itu,
bukan
karena ia bodoh atau tidak tahu diri. Tapi, ibu mertuanya memang
cerewet.
Dua bulan sudah berlalu. Alang tetap belum begitu mengerti
cerita hidupnya. Yang ia tahu, jauh-jauh ia merantau demi memperbaiki nasib
keluarga. Jadinya, ia sering menanggis tanpa tahu apa yang sedang ditangisinya.
Menyesali hidupkah? Atau sedang rindu kampung halaman dan keluarga? Yang ia
tahu, ia harus bekerja keras di restoran mertuanya dan merawat suaminya di
rumah. Ia bekerja tanpa digaji. Segala kebutuhan hidup sudah diatur oleh
mertuanya.
Alang berusaha sesabar-sabarnya sambil menunggu kesempatan
baik datang menyapa. Bulan-bulan berlalu, tapi kesempatan itu sepertinya tidak
pernah datang mengunjungi dirinya. Mengingat kedatangannya demi keluarga, suatu
saat Alang terpaksa mencuri. Ironisnya, ia mencuri uang mertuanya sendiri.
Kemudian, secara diam-diam ia mengirimkan kepada orangtuanya.
Sejak itu,
nasib kurang baik terus mengikuti kehidupannya. Suatu hari ia tertangkap basah
mencuri uang yang ada di laci. Tak ayal lagi tamparan keras mendarat di pipinya
yang lembut halus. Sejak kejadian itu, Alang tidak diperbolehkan memegang uang
sepersen pun. Alang juga kerap mendapatkan perlakuan kasar. Penganiayaan fisik
seolah menjadi menu wajib hidupya sehari-hari. Alang yang malang. Alang yang
luar biasa. Kepahitan yang ditelannya tak pernah ia ceritakan kepada orang
tuanya. Katanya, tak ingin orang tuanya bersedih.
Kondisi serupa, tentu
bukan hanya cerita Alang saja. Masih banyak kisah yang sama tragisnya.
Amoy-amoy
itu semula ingin membahagiakan keluarga dan berharap segera keluar dari
lingkaran kemiskinan. Namun, amoy tidak pernah tahu. Adik-adik atau kakak-kakak
mereka menjadi malas karena sudah dimanja oleh kiriman rutin
uangnya.
Sebagian orang di Singkawang menganggap satu-satunya harapan
untuk keluar dari kemiskinan ya dengan cara ‘mengekspor’ anak gadis mereka.
Padahal sebuah pernikahan ala ‘ekspor’ bukanlah jaminan perbaikan ekonomi.
Karena itu, kalau pun terpaksa harus memilih menikah dengan pria asing, jangan
mau dinikahkan begitu saja. Cek dan ricek dulu sebelum memutuskan menerima
pinangan. Kenali dulu pihak keluarga si pria dan pribadi prianya sendiri.
Setelah komunikasi terjalin –dan memang ada rasa suka dan suka– silahkan
dilanjut.
Meskipun begitu, kita perlu salut dan angkat topi kepada
amoy-amoy yang berada di luar negeri sana. Mereka pejuang, pemberani, dan
berbakti pada orang tua. Namun, kita juga pantas kecewa. Kita boleh kecewa
karena amoy yang berani bertarung menempuh tragika hidup itu, ternyata malah
menjadi pengecut dan tidak mau menceritakan kisah pedih mereka. Lantas, kalau
tidak diceritakan sisi buruknya apakah tidak akan lebih banyak lagi jatuh
korban
berikutnya? Semoga saja tidak.
Begitulah tragika kehidupan Amoy asal
Singkawang yang kali ini dapat saya paparkan. Ini bukan fiksi dan mengumbar
imaji, tapi kisah nyata yang menyayat hati. Amoy adalah representasi kaum hawa
yang selalu dianggap lemah. Mereka kadang ditindas dengan semena-mena.
Pendidikan yang minim, kurangnya pengetahuan, serta keluguan hati mereka,
sering
di manfaatkan sebagian orang yang mencari keuntungan pribadi. Ya, begitulah.
Amoyku sayang dari Singkawang, amoyku
malang.
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Anda menerima pesan ini karena Anda tergabung pada grup Grup Google
"komunitas-tionghoa" grup.
Untuk mengirim pesan ke grup ini, kirim email ke
komunitas-tiong...@googlegroups.com
Untuk keluar dari grup ini, kirim email ke
komunitas-tionghoa-unsubscr...@googlegroups.com
Etika berdiskusi bisa dilihat di
http://groups.google.com/group/komunitas-tionghoa/web/etika
Untuk pilihan lainnya, lihat grup ini pada
http://groups.google.com/group/komunitas-tionghoa?hl=id
Kondisi/term dalam memakai jasa Googlegroups
http://groups.google.com/intl/en/googlegroups/terms_of_service3.html
Opini dalam setiap posting adalah pendapat pribadi dari pemosting sendiri,
bukan mencerminkan pendapat milis ataupun komunitas tionghoa keseluruhan
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---