Menarik dan jelas sekali keterangan David heng, bab ban kamsia. Dari sini kita bisa mendapat gambaran mengenai kondisi saat itu.
Tentang nama Belanda, kakak & adik ayah saya semua memiliki nama Belanda, meskipun nama resmi mereka tetap nama Tionghoa. Ceritanya waktu itu mereka lahir dibantu oleh dokter, yang waktu itu hampir semuanya orang Belanda. Menjadi kebiasaan pada waktu itu, dokter memberikan nama kepada bayi yang dibantu. Nama Belanda ini, pada keluarga ayah saya, hanya dipakai dilingkungan keluarga. Dilingkungan sekolah, meskipun sekolah Belanda, tetap nama Tionghoa yang dipakai. Kalau ibu saya, nama itu dijadikan nama resmi, dengan ditambah Nio tentunya. Pada waktu ramai2 ganti nama tahun 60an, akhirnya nama Belanda itu yang dipakai sebagai nama baru. Yang lucu adalah ibu saya, yang memiliki nama Belanda, karena nama lama harus ditulis dalam karakter aslinya. Maka nama Belanda itu di transliterasikan, sehinga ibu saya menjadi pemilik nama Tionghoa yang panjangnya sampai 5 atau 6 huruf. Selain itu didaerah Cengkareng, ada yang menggunakan nama2 seperti Ali, Litong, Nian. Tetapi sayang mereka tidak bisa menerangkan, apakah sebenarnya mereka bernama A Lie atau Nie An. Salam --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa" <david_kwa2...@...> wrote: > > Andipo Hengtee dan RRS, > > Secara tradisi kata Nio å¨ (Man. Niang, di SIN-MAL, Neo) yang artinya > âperempuanâ atau âibuâ, lazim dipakai pada nama anak perempuan orang > Tionghoa Hokkian (selatan). Misalnya, Be Soen Nio 馬é å¨ (Man. Ma > Shunniang) dan Be Hien Nio 馬èå¨ (Man. Ma Xingniang) tadi. Tapi Nio bukan > nama generasi, sebab Nio tidak menunjukkan generasi seseorang. > > Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 beberapa anak Peranakan diberi nama > dalam bahasa Melayu, lingua franca kaum Peranakan. Anak yang diberi nama > Melayu umumnya perempuan, namun beberapa anak laki-laki ternyata juga diberi > nama Melayu. Pada kasus anak perempuan diberi nama Melayu, namun akhiran Nio > yang menjadi ciri khas nama anak perempuan tidak ditanggalkan. Jadilah, > misalnya, Tan é³ (Man. Chen) Nona Nio, Lauw å (Man. Liu) Idoep Nio, Lim > æ (Man. Lin) Soeboer Nio, Teng é§ (Man. Deng) Riboet Nio. Anak laki-laki, > misalnya, dinamai Jap è` (Man. Ye) Bibit, Jap Toemboe, Jap Djadie, Jap Idoep > (empat bersaudara), juga playboy Betawie Oeij é» (Man. Huang) Tamba Sia yang > terkenal itu. > > Selain nama-nama âbiasaâ, yang doeloe sangat lumrah ditemui di kalangan > Peranakan adalah nama-nama yang didasarkan pada satuan mata uang yang berlaku > di zaman itu: Peser (0,5 sen), Sen, Gobang atau Benggol (2,5 sen), Ketip atau > Picis (10 sen), Talen (25 sen), Perak (1 rupiah = 100 sen), Ringgit (= 2,5 > rupiah). Konon nama itu mencerminkan jumlah uang yang dibayarkan waktu > seorang anak yang sakit-sakitan di-kuepang. Kuepang éæ¿ (Man. Guofang) > dapat didefinisikan sebagai âsecara simbolik diadopsi oleh kerabatnya yang > terdekat,â tapi hubungan si anak dengan orangtua biologisnya tidak > benar-benar terputus, hanya istilah papa-mama kepada orangtua biologisnya > diganti, misalnya, dengan ncek é®å"-ncim é®å¬¸ (panggilan kepada adik > laki-laki ayah dan istrinya), kalau kasusnya adalah anak si adik laki-laki > di-kuepang oleh kakak laki-lakinya. Sebaliknya, kepada orangtua kuepangnya si > anak memanggil papa-mama. Dengan Kuepang éæ¿ (Man. Guofang) biasanya > diharapkan, setelah âbergantiâ orangtua, si anak akan terbebas dari > sakit-sakitannya. Jadi jangan heran kalau ada orang Tionghoa Peranakan, > umpamanya, yang bernama kecil Tan Pitjis, sehingga orang kemudian > memanggilnya âNcekâ (Paman atau Oom) Picis, dsb. > > Di kalangan Peranakan Hokkian abad ke-20 yang menerima pengaruh Belanda yang > kental, anak perempuan seringkali diberi nama Belanda, tetapi lagi-lagi kata > Nio yang lazim pada nama anak perempuan tidak dibuang. Jadilah nama-nama khas > Peranakan yang terpengaruh nama Belanda: Ong ç (Man. Ong) Dortjie Nio, Lim > æ (Man. Lin) Elsje Nio dsb. > > Di kalangan orang Hakka (Kheh 客家), kata Moy 妹 (Man. Mei), artinya > âadik perempuanâ, lah yang sering digunakan bagi nama anak perempuan. > Misalnya, Tjhin Njoek Moy é³ç妹 (Man. Chen Yumei), Lim Tjhoen Moy > ææ¥å¦¹ (Man. Lin Chunmei), Woe Kiet Moy å·«å妹 (Man. Wu Jimei), Ho > Thong Moy ä½å 妹 (He Tangmei), Kwok Thong Moy éå 妹 (Man. Guo > Tangmei), Yong Khoen Moy æ¥å¤å¦¹ (Man. Yang Kunmei), Tjoeng Lioek Moy > é¾å 妹 (Man. Zhong Liumei), dsb. Kalau si empunya nama Peranakan, dari > namanya kita ketahui orang tersebut keturunan Hakka (Kheh 客家) > > Kiongchiu æ±æ (Man. Gongshou) alias soja, > DK > > Andipo wrote: > > Re: Mayor Tionghua di Batavia > > Jadi Be Kwat Koen memiliki anak yang bernama al. Be Soen Nio dan Be Hien Nio. > Meskipun kakak beradik tetapi nama tengah mereka tidak sama, tetapi malah > nama akhirnya yang sama2 memakai Nio. > > Yang ingin saya tanyakan, apakah pada anak perempuan memang tidak ada nama > yang menunjukan generasi. Juga pemakaian Nio pada nama anak perempuan, apakah > kata Nio memiliki makna khusus. > > Hal ni menarik untuk saya pribadi, karena kedua nenek dan ibu saya juga > memakai akhiran Nio semua. Nenek dari pihak ayah dan juga ibu saya, malah > memakai nama belanda untuk nama tengahnya. Mohon pencerahan para loocianpwee. > > Salam > > Irawan Raharjo wrote: > > Ha.... Haa.... saya bukan budiman koq. Biasa saja... sering berbuat > kejahatan, pembunuhanpun ( meski cuma baru berani bunuh nyamuk dan semut > )sering saya lakukan. > > Kalau ingin tahu banyak tentang Be Kwat Koen, ada tokoh teman kita yang > sangat mendalami bidang ini yaitu saudara Steve Haryono yang sekarang berada > di Xiamen untuk seminar internasional mengenai Tionghoa. > > Saya tahu sedikit tentang Be Kwat Koen, karena putrinya yang bernama Be Soen > Nio itu merupakan tokoh wanita Tionghoa di Semarang hingga tahun 1960-an. Be > Soen Nio lah yang membidani pendirian Rumah Sakit Tiong Hoa Ie Wan ( 1920-an > )yang sekarang menjelma menjadi Rumah Sakit (standar internasional) > Telogorejo, rumahsakit rujukan di Jawa Tengah. Selain itu beliau selama > bertahun-tahun menjadi ketua dari Fu Nv Hui Semarang (Perkumpulan Wanita > Semarang) yang begitu legendaris. > > Be Soen Nio menikah dengan Goei Ing Hong (mati muda) seorang kaya. > > Be Kwat Koen mempunyai hubungan baik sekali dengan kesultanan di Solo. Beliau > tampaknya ( karena belum ada bukti tertulis ) adalah keponakan dari De Majoor > Titulair der Chineezen Be Biauw Tjoan dari Semarang yang begitu terkenal. > Saya hanya meraba-raba saja, karena anaknya Be Biauw Tjoan juga memakai nama > Be Kwat (yang terkenal Be Kwat Yoe ). > > Be Kwat Koen meninggal dunia tanggal 16 Agustus 1945, makamnya ada yang > mengatakan di Solo namun ada yang mengatakan di Salatiga. > > Anak Be Kwat Koen yang bernama Be Hien Nio menikah dengan anak konglomerat > Oei Tiong Ham yang bernama Oei Tjong Hauw. > > Salam, > Irawan R > > Purnama Sucipto Gunawan wrote: > > Pak irawan yang budiman boleh saya tau detailnya sejarah beliau. > Untuk generasi muda Tionghoa agar bisa menghargai sejarah bangsa kita. Banyak > sekali generasi kita tuh tidak mengatahui bahwa suku tionghoa juga pernah > memberikan kontribusi kepada bangsa kita. Agar nantinya banyaknya > generasi-generasi baru suku Tionghoa yang mau turut serta membangun negeri > ini. > > Makasih > > Chen Gui Xin wrote: > > Uupsss pak Irawan hebat, salut saya.. > > Salam, > Chen Gui Xin > > F. W. Nainggolan wrote: > > Pak Irawan, > Terimakasih untuk informasinya, berarti salah yah bukan di batavia tapi di > Solo. Selamat sore. > > Irawan Raharjo wrote: > > Semarang, 14-05-2009. > > Ini foto de majoor der chineezen Be Kwat Koen dari Solo yang meninggal dunia > tepat 1 hari sebelum Indonesia merdeka. > > Salam, > Irawan R > > F. W. Nainggolan wrote: > > Salam BT'ers, > > Mungkin ada yang tahu siapakah Mayor tionghua di photo ini. Bordiran emas > pada baju jasnya cukup keren, kemudian di dada sebelah kiri ada disematkan > tanda jasa, ia juga memakai arloji (watch-chain), celananya ada strip > putih-seperti seragam tentara. Lalu di atas meja ada sebuah topi yang > menandakan ia seorang administratur penting gubernemen. > > Terimakasih. > > Fry >