Orang Tionghoa , Hua Yi (Peranakan) - Hua Chiao (Totok), kerja sama dan tiga pandangan politik dalam masyarakat Tionghoa (bagian dua)
Dari golongan Totok umumnya mereka berorientasi ke negara leluhur yaitu ke Republik Rakyat Tiongkok didaratan Tiongkok atau ke Republik Tiongkok dipulau Taiwan. Juga semua sekolahan Tionghoa yang ada di Indonesia dapat digolongkan antara dua pandangan politik Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Tiongkok, yang pertama jumblahnya lebih banyak daripada yang terachir. Bicara tentang Hua Yi dan Hua Chiao, banyak orang yang tidak mengerti, terutama generasi muda dari keturunan Tionghoa di Indonesia. Karena pembicaraan tentang kedua golongan ini sudah jarang didengar, akibat terjadinya proses "Peranakanisasi atau Babanisasi" dari apa yang dulu dikatakan Totok atau Hua Chiao. Mengenai arti dari kedua terminologi ini, telah saya bicarakan dalam artikel saya yang sudah dimuat dimilis-milis: "Orang Tionghoa di Indonesia, The Chinese Roots, Provinsialisme, Peranakan, Totok dan kerjasama dalam tubuh Hua Yi." Dalam hal kedua terminologi ini perlu diterangkan lebih lanjut karena bagi saya ada dua arti dari istilah tersebut yaitu: 1. Menurut hukum Tiongkok, istilah yang dipakai di daratan Tiongkok dan Taiwan, istilah Hua Chiao, atau Overseas Chinese adalah mereka yang memegang passport Tiongkok, jelasnya adalah orang Tionghoa yang berkewarga-negaraan Tiongkok yang tinggal diluar negeri, jaman Tempo Doeloe dipakai istilah Hokkian "Hwa Kiauw". Di RRT sewaktu saya tinggal di Shanghai, Hua Chiao yang pulang ke Tiongkok diberi nama "Gui Guo Hua Chiao", yang berarti Hua Chiao yang pulang ke Negara asalnya, seperti saya dan keluarga saya itu waktu. 2. Hua Yi adalah keturunan Tionghoa yang tidak berkewarga-negaraan Tiongkok, ada pula yang mengatakan Hua Ren. Berlakunya kedua istilah ini jelaslah timbul sesudah berlakunya perjanjian antara Tiongkok-Indonesia mengenai dihapuskannya Dwi kewarga-negaraan bagi rakyat Tiongkok ( orang Tionghoa ) di Indonesia, dan kemudian berlaku diseluruh dunia. Kalau kedua istilah tersebut dilihat dari optik budaya dan berlaku terutama bagi keturunan Tionghoa diluar negeri, demi kepentingan sosiologi untuk membedakan antara kedua golongan ini ialah: 1. Hua Chiao, tidak memandang kewarga-negaraannya, adalah mereka yang berkomunikasi dirumaah dengan bahasa Mandarin, atau dengan bahasa dialek kota atau desa asal mereka datang dari Tiongkok. Mereka masih mempunyai famili di Tiongkok dan orientasi sosial dan politik juga masih kuat kenegara asalnya. Jumlah orang-orang ini sekarang di Asia Tenggra, khususnya di Indonesia sudah jauh berkurang, dan terutama masih kita lihat pada generasi tuanya. 2. Huayi adalah mereka yang sudah tidak bisa bicara bahasa mandarin, atau bahasa lokal asal provinsinya. Orientasi sosial-politik mereka terutama pada Negara dimana mereka tinggal. Mereka tidak tahu lagi asal propvinsi leluhurnya di Tiongkok. Di Indonesia karena pada periode pemerintahan Orde Baru, semua yang berbau Tiongkok dan Tionghoa dilarang, sekolah Tionghoa ditutup, pesta tradisional Tiongkok tidak diperbolehkan dipertunjukkan dimuka umum, nama Tionghoa pun harus diganti dengan nama Indonesia atau nama yang berbau Barat, juga nama toko-toko harus pakai nama yang kedengaran Indonesia . Karena peraturan-peraturan tersebut terjadilah Huayinisasi (peranakanisasi) dari Hua Chiao (orang-orang totok) ke masyarakat Hua Yi (Peranakan). Pada umumnya yang dinamakan Tionghoa Peranakan pada masa muda saya ialah apa yang dikenal sebagai Babah , merekalah yang datang ke Nan-Yang (South-East Asia) terlebih dulu, sebelum wanita Tiongkok diperbolehkan keluar negeri, maka mereka dididik oleh ibunya yang orang Indonesia, karenanya mereka mengambil banyak identitas negara dimana mereka tinggal. Tetapi mereka sekolah kesekolahan Tionghoa, pertama-tama dalam bahasa Hokkian lalu sesudah didirikan sekolahan-sekolahan oleh perkumpulan Tiong Hoa Hwee Kuan ( sebuah sekolahan yang berbahasa pengantar mandarin) , menurut kurikulum modern pada masa itu. Jadi pada umumnya hampir semua orang Tionghoa pada masa itu bisa berbicara bahasa Hokkian atau Mandarin. Dr. Han Hwie-Song Breda, 27 mei 2009 Holland