Sdr Tantono, Ini kisah yang baik dan mencerahkan. Saya ada usulan untuk lebih baik mungkin tidak memakai kata '*karma' *dalam konteks ini, kalau dalam kisah lama biasanya dipakai istilah Melayu : peruntungan aau nasib, mungkin lebih pas.
Salam saya, HYJ 2009/6/3 Tantono Subagyo <tant...@gmail.com> > > > Rekans, untuk memperbaiki karma atas usulan sdr Kendy Tan saya sajikan > kutipan Hakim Pao Menggugat Raja Neraka Giam Loo Ong tanpa forward dan > tanpa puluhan alamat email, semoga berkenan. > > HAKIM PAO Mengugat Raja Neraka GIAM LO ONG > > Diambil dari arsip diskusi di http://siutao.com > Diskusi antara LindaKL & SHAN MAO, pada April 2006. > > *HAKIM PAO Mengugat Raja Neraka *: *Menggugat Karma Buruk Seorang Bocah > Malang*. > > BANYAK orang sering terheran-heran melihat nasib malang seseorang, yang > padahal selalu berbuat kebaikan. Contohnya seseorang yang dikenal sangat > mulia hatinya, namun menemui kematian secara mengenaskan, dibunuh oleh > penjahat yang mengincar hartanya misalnya. Mungkinkah Tuhan tidak > bertindak adil ? Mungkin pula dalam hati kecil anda terkadang > berprasangka, Tuhan telah berbuat tidak adil karena kesialan yang tengah > menimpa diri anda ? > > Ada sebuah kisah legenda dari dongeng Tiongkok untuk menjawab keraguan anda > tersebut. Begini ceritanya seperti dikutip dari bacaan Sekolah Minghui. > > Terjadi pada zaman Song Utara, saat Pao Kong (alias Bao Zheng) menjabat > sebagai Xiang (Hakim Agung pada zaman Tiongkok kuno). Di sebuah desa hidup > seorang anak yatim piatu berusia sepuluh tahun yang menderita cacat kaki. > Hidupnya sangat menderita hanya mengandalkan bantuan para tetangga dan warga > desa atau mengemis demi menyambung hidup. Di perbatasan desa mengalir > sebuah sungai, warga desa dan pendatang harus berbasah-basah saat > melewatinya, terutama bagi orang tua yang berusia lanjut sangat > menyulitkan. Setiap kali air sungai meluap orang tak bisa menyeberang. > Tahun berganti tahun, tiada yang berikhtiar ingin mengubahnya. > > Sampai sekarang, orang mulai melihat si bocah cacat tekun mengangkat batu > besar dan menatanya di tepi sungai. Ketika ditanya untuk apa batu-batu itu > ia menjawab, “Aku ingin membangun sebuah jembatan, agar tetangga dan warga > desa bisa leluasa lewat.” Orang-orang beranggapan ia berkhayal, malah > kebanyakan tertawa meledek. Namun lambat laun, bulan berganti tahun, > bebatuan telah menumpuk bagaikan bukit. Warga desa mulai berubah > pendirian, mereka merasa terharu pada semangat si bocah hingga ikutan > membantu mengangkut batu serta mulai membangun jembatan. > > Para warga pun mengundang beberapa tukang dan memulai pembangunan > jembatan. Si bocah cacat dengan sepenuh jiwa raga berpartisipasi. > Belum sampai jembatan selesai dibangun, saat membelah sebuah batu besar, > pecahannya meletik dan melukai sepasang matanya hingga menjadi buta. > Orang-orang menyayangkan, menggerutu, bahkan menyalahkan Thian (Tuhan) tidak > adil. Anak yang begitu patut dikasihani, yang telah sepenuh hati > berkorban demi orang banyak malah memperoleh musibah. Akan tetapi si > bocah sama sekali tak mengeluh, setiap hari tetap muncul di proyek > pembangunan jembatan itu meskipun tertatih-tatih, dengan meraba-raba ia > mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. > > Akhirnya jembatan selesai dibangun melalui gotong-royong warga. Semua > orang di pesta syukuran menatap si bocah yang sudah cacat kaki dan hidup > sebatang kara sekarang ditambah buta matanya, dengan rasa terima kasih, iba > dan sayang. Si bocah sendiri walau tidak bisa melihat apa pun, tetap > tersenyum bahagia. > > Di luar dugaan mendadak turun hujan deras yang tak sesuai musim, > seolah-olah hendak mencuci debu yang menempel di jembatan batu tersebut. > Hujan dan geledek gemuruh menunjukkan pamornya. Tiba-tiba petir > berkelebat menyilaukan hingga semua orang menutup mata mereka, disusul > suaranya meledak bak hendak memecahkan gendang telinga. Ketika semua > orang membuka mata mereka kembali, mereka menemukan si bocah telah tersambar > petir, terkapar di tanah tanpa nyawa lagi. Semuanya tersentak kaget, > diikuti luapan perasaan sedih, mengeluh kenapa si bocah begitu buruk > nasibnya, dan menuding Thian tidak adil …. > > Saat itulah Pao, yang dijuluki rakyat kecil sebagai Hakim yang Bersih dan > Adil, dalam perjalanan dinas melewati desa itu. Rakyat berbondong-bondong > menghadang tandunya tersebut untuk memohon keadilan bagi si bocah malang. > Kepala Desa bertanya, “Mengapa orang baik tak memperoleh imbalan baik ? > Untuk selanjutnya bagaimana bisa menjadi contoh orang yang baik ? Mungkin > orang malah berpendapat lebih enak berbuat jahat saja?” > > Hakim Pao yang kenyang makan asam garam dunia, tergugah oleh emosi penduduk > desa, mengayun kuas pit dan menulis 6 aksara, “Mana-boleh Berbuat Jahat > Tidak Berbuat Bajik ?”. Kemudian mengibaskan lengan bajunya yang panjang > sambil memerintahkan melanjutkan perjalanan. > > Tiba di kota raja, Hakim Pao menghadap Raja untuk melaporkan hasil > perjalanan dinas dan semua peristiwa yang telah dilihat dan didengarnya, > tapi tentang cerita tulisannya malah tidak diungkap. Sesungguhnya dalam > hati Pao sangat tidak memahami masalah nasib si bocah malang yang berbuat > kebajikan malah menuai imbalan buruk. > > Tak dinyana Raja kemudian mengundang Pao ke bagian belakang istana untuk > membicarakan persoalan pribadi. Ternyata beberapa hari lalu, Baginda > telah dikaruniai seorang bayi yang sangat menggemaskan semua orang, akan > tetapi si bayi sepanjang hari menangis terus. Maka ia khusus mengundang > Pao menengoknya. Terlihat oleh Pao bahwa kulit bayi tersebut mulus bagai > salju namun pada lengan mungilnya terdapat sebaris tulisan. Saat diamati > lebih dekat, itulah enam aksara, “Mana boleh Berbuat Jahat Tidak Berbuat > Bajik ?”, yang telah ditulisnya. Sekejap muka Pao memerah dan mengulurkan > tangan untuk memegang lengan si bayi. Aneh, tulisan itu dalam sekejap > lenyap tak berbekas. > > Baginda yang menyaksikan toh (tanda kelahiran) pada lengan putra mahkotanya > dihapus oleh Pao merasa kaget. Jangan-jangan akar rejeki akan ikut > lenyap, langsung ia mencela tindakan Pao. Si Hakim Agung cepat bersujud > dan berkata, “Hamba yang berdosa patut mati.” Maka dituturkanlah ihwal > tulisan itu. Baginda juga merasa masalah itu janggal hingga menitahkan > Pao menggunakan Bantal Mustika Yin-Yang untuk menyelidiki dengan tuntas > sampai ke alam baka. > > Inilah bantal sakti satu-satunya di dunia milik Raja Song. Barangsiapa > tidur berbantalkan Bantal Mustika Yin-Yang setelah menyucikan dan > membersihkan diri, akan mendapatkan suatu mimpi atau wangsit. > > Demikianlah Hakim Pao dengan perantaraan Bantal Mustika Yin-Yang berkelana > sejenak ke alam baka untuk mengusut tuntas misteri kehidupan si bocah > cacat. Ternyata anak malang tersebut pada masa kehidupan sebelumnya telah > sering berbuat jahat dan karma buruknya sangat besar. Untuk melunasi dosa > kejahatan pada masa kehidupan lalunya diperlukan tiga masa kehidupan baru > bisa melunasi imbalan kejahatannya dengan tuntas. Sebenarnya Dewa telah > mengatur, pada masa kehidupan pertama dengan kaki cacat dan sebatang kara ; > masa kedua dengan sepasang mata buta dan hidup sengsara, dan pada masa > kehidupan ketiga ia tersambar petir terkapar mati di ladang liar. > > Anak tersebut pada reinkarnasi masa kehidupan pertama terlahir cacat kaki > dan sangat miskin, tetapi selalu ingin berbuat baik pada orang lain untuk > menebus dosa masa lampaunya. Karena itulah Dewa lantas mengatur agar pada > masa kehidupan pertama, ia bisa melunasi karma kedua. Untuk itu dibuatlah > terluka matanya sampai buta. Namun anak tersebut tidak mencela Langit dan > menyalahkan orang lain, terus saja berbuat kebaikan demi orang lain. Maka > Dewa mengatur karma yang semestinya dibayar pada masa kehidupan ketiga > sekaligus dituntaskan pada satu masa kehidupan, oleh karena itu mati > tersambar petir. > > Raja Neraka Giam Lo Ong (Yen Lu Wang) bertanya pada Pao, “Tiga masa karma > buruk telah dilunasi hanya dalam satu masa, coba bilang ini baik atau tidak > ? Satu masa kehidupan melunasi hutang karma tiga masa kehidupan, karena > tekun melaksanakan kebajikan. Dalam hati hanya memikirkan orang lain, > nyaris tak memikirkan diri sendiri, dalam beberapa bidang tertentu telah > mencapai taraf tingkatan ; “Tidak belajar TAO namun berada di dalam TAO”, > telah mengakumulasi berkah sangat banyak, karena itulah sesudah meninggal > segera reinkarnasi (menitis) sebagai Putra Mahkota.” > > Pesan moral dari dongeng tersebut, kalau Anda sekarang kebetulan sedang > mengalami nasib malang bertubi-tubi, janganlah terburu-buru menyalahkan > Tuhan, karena mungkin sedang menjalani karma dari perbuatan buruk Anda > sendiri dalam kehidupan lalu. > > Pesan berikutnya adalah “Putra Mahkota” akan berbahagia jika kelak dia > dapat memerintah negara dengan baik, sehingga negara makmur dan rakyat > sejahtera. Akan tetapi menjadi tidak bahagia, jika kelak dia jadi Raja > tapi tidak becus memerintah, sehingga negara bobrok dan rakyat menderita. > >