Saya sendiri bukan orang yang hidup di masa lalu. Hidup saat ini jelas untuk masa depan. Tapi masa depan yang bagaimana? Apa jejak perjuangan yang bisa ditorehkan di masa kini yang bisa menjadi pelajaran di masa depan? Bahwa kita sekarang ini generasi kalah yang mewariskan kekalahan itu kepada generasi yang akan datang dan berharap merekalah yang memperbaikinya? Apakah justru karena itulah maka tugas kita sekarang adalah untuk menghentikan kerusakan itu dan syukur-syukur bisa mengembalikan nilai-nilai historis yang selama ini dicoba dihapuskan jejaknya?
Bagi saya, ini justru saatnya, saat di mana sisa-sisa gedung itu masih ada dan belum sepenuhnya hilang. Jangan dibiarkan benda-benda itu raib dan tidak ada catatan apapun untuk pelajaran generasi depan! Karena benda-benda itu masih ada, masih lebih besar kemungkinannya untuk merestorasinya ketimbang hanya memberikan catatan sejarah bahwa gedung itu dibongkar tahun 1990-an, kemudian didiamkan pada masa reformasi, tetap didiamkan selama masa selepas era reformasi, dan selanjutnya akan terus didiamkan selepasnya? Pada saat ini, justru momen untuk berbenah. Saya bukan orang yang meratapi masa lalu, tapi saya menyadari bahwa nilai historis masa lalulah yang menjadikan kita ada di masa kini. Perlukah generasi yang akan datang mengetahui dilema dan masalah kita agar kesalahan serupa tidak terulang? Perlu. Nah, mumpung masih ada sisanya (ketimbang benar0benar hilang ditelan masa), inilah saatnya untuk meneguhkan kembali perhatian dan kepedulian atas aset budaya tersebut. Sebagai contoh, di sejumlah negara, ada upaya untuk merestorasi benda-benda yang dirusak atau dihilangkan (karena berbagai faktor), karena mereka sadar bahwa itu adalah tugas masa kini untuk menghubungkan kesejarahan masa lalu mereka dengan masa kini dan masa yang akan datang. Makanya Museum Baghdad ngotot mengumpulkan kembali artefak yang mereka miliki dari jaman Sumeria, Babilonia hingga jaman Saddam. Museum Aborigin (di sejumlah kota di Australia) mencoba mengembalikan ingatan mereka yang coba dihapus oleh kalangan kulit putih lewat proyek yang menyebabkan The Stolen Generation selama 50 tahunan lamanya! Museum Indian (dan suku-suku di Amerika, meskipun masih berada dalam wilayah Konservasi), selalu disuguhi kegiatan untuk mengembalikan martabat mereka sebagai suku yang merdeka dan sederajat dengan kalangan kulit putih, sampai-sampai di Kanada, pemerintahannya menyampaikan permintaan maaf atas perilaku "nenek moyang bapak agung kulit pucat" yang menyebabkan derita berkepanjangan warga Indian. Di Afgan sendiri, ada sejumlah orang budayawan (bahkan muslim) yang mencoba memulai pemugaran patung budha besar yang dihancurkan Taliban. Di eks Yuan Ming Yuan sendiri, sedang ada perdebatan hangat mengenai apakah akan membangun Museum itu kembali untuk memperlihatkan kemegahannya yang tidak tertandingi, ataukah memindahkan lokasinya dengan alasan untuk menyediakan monumen kenangan atas penjarahan yang dilakukan delapan negara terhadap harta pusaka negara tersebut. Dalam hal ini, CN adalah salah satu aset budaya yang sangat kuat pesan historisnya. Dibandingkan dengan rumah SBK atau makamnya, dibandingkan kelenteng-kelenteng yang sudah berubah warna, maka fakta sejarah, fungsi dan keanggunan rumah KKA di CN ini bisa menunjukkan bagaimana kalangan Tionghoa memiliki kedudukan penting di bumi nusantara ini. Jadi, tidak heran apabila saya tetap mendesak untuk mengembalikan benda cagar budaya ini ke bentuk aslinya dengan kedua sayap, paviliun belakang dan halaman terbuka (semodel dengan Gedung Arsip Nasional di jalan yang sama). Toh para pelaku (dan penjahat) sejarahnya masih ada dan bisa ditodong untuk insaf. Saya sendiri sebagai orang yang mendalami masalah transitional justice juga perlu menegaskan bahwa pemberian maaf yang baik tidak boleh melupakan sejarah, agar kesalahan serupa tidak terulang. Namun demikian, pemberian maaf hanya berguna kalau si pelaku meminta maaf dan menyadari kesalahannya. Kalau tidak, kita cuma memberi maaf kepada rupa patung belaka. Tentu saja ini bukan pembalasan dendam, tapi sebuah proses timbang terima. Kalau anda tahu adanya penjahat di pasar yang pernah menodong anda, kemudian anda bertemu lagi dengannya di mana dia memandangi anda tanpa bicara dan anda memaafkannya, padahal tindakan anda itu bisa jadi akan memungkinkannya bisa mencelakai orang dan bahkan teman anda, jelas itu bukan tindakan bijaksana. Yang benar tentunya perhatikan dia baik-baik, apakah perilakunya berubah atau dia kemudian minta maaf dan menyatakan tidak akan mengulang kejahatannya, barulah maaf itu berarti baginya. Saya bukannya mendorong untuk membalas dendam, tapi mengingatkan bahwa pemaafan saja tidak selalu berarti bijaksana. Jangan lupa, yang diberikan Soeharto itu juga aslinya bukan 4,5 ha. Ada deal apa, kita tidak pernah diberitahu. Apakah Brigjen itu bertindak untuk Tionghoa Indonesia, saya tidak memahami sepenuhnya. Tapi, yang pasti, kalau itu dianggap penebusan, saya pikir sangat lucu. Kenapa dia menebusnya ke Tionghoa saja? Sudah berapa ribu ha yang disikatnya dari petani Tapos, Jonggol, Cariu dan "sejuta" ha di Kalimantan dan kemana dia menebusnya? Dalam hal ini, saya tidak berani memastikan bahwa itu penebusan, dan juga tidak mau mengakui bahwa itu penebusan, karena dampak dari "tebusan" ini bisa jadi adalah mahal harganya. Apa dia sebenarnya mau "membeli" kalangan Tionghoa untuk tidak terus menghujatnya. Kalau memang begitu, yaaa, itu sih namanya PENYUAPAN. Tionghoa tidak memeras dia kan? Saya sih tidak mau menerima suap macam itu. Belum lagi kalau dibaca secara post factum, apakah TBT tidak akan menjadi bumerang ketika kalangan lain seperti India dan Arab (kenapa tidak Belanda sekalian yang jejak sejarahnya juga kuat di bumi ini, termasuk Portugis, Jepang, Perancis dan Inggris serta Amerika yang pernah ikutan mendarat di sini?) justru tidak menerimanya? Jelas itu bukan soal uang atau kekompakan seperti disinyalir dalam sebuah thread. Kalangan India juga sangat kompak dan banyak yang kaya. Sindikasi kalangan India di Singapura saja sangat sering bertemu dan bergaul lumayan era, meskipun secara profesi dan kasta mereka terpaut jauh. Kalangan India Pasar Baru, Deli, Solo dans ebagainya tentunya mampu untuk membangun. Kalangan Arab dari Koja, Mampang ditambah kedekatan yang masih dimiliki dengan turis dari negeri asalnya, tentu lebih dari sanggup membangun museum di TMII. Mesjid kubah emas di Depok saja yang berkorelasi dengan dana Arab juga mampu dibangun dengan biaya yang sangat tidak sedikit. Jadi ada apa dengan nafsu TBT tersebut? Saya menekankan bahwa justru karena sejarahlah maka kita belajar untuk arif. Saya bukan mau mengingat-ingat kesalahan, tapi mengingatnya untuk menjadi pelajaran. Sepahit dan sehitam apapun sejarah itu. Kalau ada orang salah, itu wajar, apalagi kalau tidak sengaja. Tapi kalau sengaja dan berbahaya, wajar pula orang itu untuk minta maaf. Seperti pepatah, kesalahan besar dikecilkan, kesalahan kecil dihapuskan. Itulah sikap seorang Tionghoa, yaitu tidak membesar-besarkan kesalahan. Tapi jangan lupa, prinsip itu pun berimbang dengan padanan prinsip lainnya, mengenali watak dan sifat orang. Dalam hal itu, pemaafan adalah perlu namun harus seimbang dengan perbaikan watak atau sifat yang diberikan pemaafan itu. Saya tidak dibebani oleh sejarah, tapi saya menyadari bahwa sejarahlah yang membuat kita ada dan bernilai. Apakah kita lebih baik dari masa lalu, apakah generasi kita lebih manuusiawi dibandingkan dengan orang-orang terdulu. Sejarah dengan demikian adalah cermin untuk menilai kesiapan diri kita untuk mewariskan apa yang kita punya kepada generasi mendatang. Meskipun sering dikatakan untuk melupakan yang buruk dan mengenang yang baik-baik saja, itu hanya berlaku untuk manusia personal. Saya tidak punya rasa dendam kepada Soeharto meskipun kebijakannya banyak yang merengut masa depan yang harusnya saya bisa genggam. Saya bukan siswa sekolah kelas bawah. Tapi kebijakan Soeharto menyebabkan saya tidak pernah mendapat kesempatan untuk di depan memimpin sesuai dengan potensi yang saya miliki, hanya gara-gara minoritas berganda empat yang saya miliki. Berbeda dengan teman lain yang memilih tunduk, saya memilih melawan. Banyak mimpi saya gugur karena halangan-halangan imajiner yang dibuat oleh birokrasi di hadapan saya. Jadi dalam hal ini, saya sangat sah untuk tidak suka dengan Soeharto. Tapi adakah orasi-orasi saya yang meminta misalnya agar Soeharto dibunuh atau dimasukkan siksaan? Justru tidak, saya hanya menyampaikan tuntutan saya agar dia mundur, mengakui kesalahan, masuk kerangka hukum dan mengembalikan harta kekayaan para pejabat yang dikorupsi. Tapi memaafkan Soeharto karena dia "menebus" dengan TBT? Waaah, nanti dulu. Saya hanya membiarkan dia tidak dihujat dalam kehidupan bakanya, tapi memberikan maaf bukan lagi porsi saya. " sisa-sisa bahan bangunan dari Gedung Candra Naya itu, untuk dibangunkan suatu 'sisa gedung' porak poranda (sengaja dibuat tentunya) .lalu diberi catatan: "Inilah hasil perbuatan yang salah di masa lalu, moga-moga tidak lagi ada pengulangan kesalahan yang sama di masa depan." .Memang sih TMII itu cuma 'taman hiburan berthema', tapi rasanya ndak ada salahnya juga kalau kita punya 'simbol' budaya di sana. . bangun satu resto makanan khas Tionghua Babah (Indonesia) ya. Juga ada 'pabrik' tahu jaman kuno (masih pake gilingan batu) yang tanpa pengawet tapi awet, pabrik dodol yang masih pake langseng dan ngegelepung berasnya pake alu begitu (barusan lihat pabrik dodol di Tangerang yang masih tradisionil dan kuno tuh!), dan makanan lain-lain yang khas tionghua Indonesia. Hasil produksinya bisa dijual dengan cap dan harga yang sepadan, keuntungan bisa dimasukkan ke dalam kocek yayasan. .Bangunan utama dapat diberi nama BUN BIO GUS DUR ( tempat budaya GUS DUR ) atau pun LI THANG GUS DUR ( Hall/aula pembelajaran GUS DUR ). " Ide itu menarik, tapi tidak realistis. Lebih baik ornamen tersisa dikembalikan ke bangunannya. Kalau mau replika kehancuran, bikin aja seadanya tanpa perlu bahan asli. Sudah itu pabrik-pabrik itu tidak akan dapat ijin lokasi. Anda tahu cara pembuatan tahu tradisional yang membutuhkan banyak air? Pembuatan dodol yang memerlukan arang kayu keras? Kalau cuma replika sih boleh, tapi AMDAL akan wanti-wanti melarang itu semua demi kepentingan situ Cibubur yang juga sekarang sedang terancam keberlangsungannya. Soal Bun Bio atau Li Thang juga tidak pas, belum lagi terjemahannya. Bio tidak bisa disamakan dengan mesjid. Kalau mesjid Cheng Ho tentunya bukan dimaksudkan untuk memuja Zheng He. Tapi kalau Bio, fungsi utamanya adalah memberikan penghormatan kepada tuan rumah yang disebut namanya di situ. Meskipun bio juga ada macam-macam, tapi yang dikawatirkan justru adalah tudingan syirik yang juga bisa menimbulkan antipati besar, bahkan dari kalangan dekat Gus Dur sendiri. Tetap saja, perkembangan TBT menunjukkan bahwa tempat itu hanya pajangan budaya artifisial, bukan monumen yang benar-benar dibutuhkan. Banyak buku yang mengulas makna konservasi, atau monumen budaya. Intinya adalah bahwa tema dari suatu lokasi haruslah sesuai dengan maknanya. Kalau tidak, yaaa, itu cuma mengulang proyek Kota Legenda, Taman Wisata, Kluster Tiongkok atau Anjungan Tionghoa. Tapi kalau mau membawa nama Budaya Tionghoa (Indonesia)? Jauh panggang dari api. Adapun yang dinamai berbakti adalah dapat sebaik-baiknya meneruskan pekerjaan mulia dari generasi terdahulu. Dalam sembahyang musim semi dan musim gugur hendaklah dibangun kembali bio leluhur, diatur rapi barang-barang warisannya, diatur rapi pakaian-pakaiannya dan disajikan makanan sesuai dengan musimnya. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ophoeng" <opho...@...> wrote: > > Bung Sugiri, Bung Tjandra G., Bung Zhoufy, Bung Dr. Irawan, Bung David K, > Bung Dipo, Bung Ardian C., Bung Agoeng, Bung Kawaii, Bung Sumamihardja, Bung > Utama, Bung Andre Harto, Bung Bebek Ceper, Bung Rio Bembo, Bung Eddy Witanto, > Bung Rico, dan TTM semuah, > > Hai, apakabar? Sudah makan? > > Membicarakan penyesalan kita atas hancurnya gedung-gedung tua khas Tionghua > yang asli, kayaknya sih tiada akan ada habisnya, dan akan terus berlanjut - > sebab gedung-gedung tua di mana-mana sekarang pada menunggu nasib yang hampir > sama, sementara kita di sini masih berkutat berdiskusi ttg itu. Dan kayaknya > sih gedung-gedung yang sudah dihancurkan itu pun tidak bisa diperbaiki lagi - > apa boleh buat, suka tak suka, sudah kejadian sih, jeh! > > Mungkinkah ada baiknya kalau kita melihat ke depannya bagaimana? > > Mestinya kita semua berkeinginan supaya ada tindakan dari pemerintah, dan > bantuan sekecil apapun dari kita, supaya ke depannya tidak ada lagi > gedung-gedung tua khas Tionghua yang dihancurkan. Sementara menunggu upaya > kita berhasil mengetuk tindakan nyata dari pemerintah, mungkin ada baiknya > kita mulai dengan satu langkah kecil dulu saja. > > Kata Confusius: "Journey of a thousand miles, begins with but a single step". > > Yang sudah hancur, walau kita tidak suka sama sekali, apa boleh buat, tidak > bisa di-rewind dan kembali utuh. Rasanya kita bisa setuju bahwa kita boleh > memaafkan kesalahan orang di masa lalu, walau kita mungkin tidak boleh > melupakan kesalahannya, supaya kelak tidak terulang kejadian yang sama. > > Seperti halnya orang bersalah mesti ada hukuman, ada penebusan atas > kesalahannya, mungkin penyediaan lahan di TMII seluas 4,5 hektar itu bisalah > dianggap sebagai 'penebusan' - walau tentu saja nilainya tidak sebanding > dengan pemusnahan rumah tua kuno dulu. Bukankah nenek (atau kakek?) moyang > kita juga mengajarkan untuk berbesar hati, membuka hati dan membuka pintu > maaf, walau mungkin tidak dimintakan. Di adat tradisi kita, kayaknya ada > istilah 'memberi muka' - memberi maaf tanpa dimintakan, rasanya ini suatu > tindakan memberi muka yang butuh kebesaran hati dan jiwa juga. > > Persoalan politik masa lalu, memang pada akhirnya menjadi dilema, juga ibarat > kata pepatah 'memakan buah simalakama' - dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu > yang mati. Bagi politikus sendiri, kabarnya tiada ada musuh yang abadi, hari > ini lawan, besok bisa jadi kawan. > > Jaman itu, mungkin saja pejabat ybs mesti memilih yang dua-duanya tidak enak > seperti buah simalakama itu. Tentu saja pilihan yang dulu dianggap benar, > sekarang bisa menjadi salah. Pada waktu itu mestinya ada alasan dan > pertimbangan tertentu yang membuatnya memilih hal yang sekarang dianggap > salah itu. > > Padahal, katanya budaya dan politik mesti dipisahkan sama sekali ya? > > Kalau pun kita mau mengingat-ingat terus kesalahan itu, itu semua hak > masing-masing. Tapi, apakah sepadan dengan energi yang dibuang untuk itu? > Bukankah ada baiknya kita salurkan energi kita untuk besok - dengan mulai > membuat sesuatu yang lebih baik sekarang. Sebab katanya sih "What we are now > is what we did yesterday, what we will be tomorrow is what we are doing now." > - Buddha(?) > > Ide pengisian TMII seperti yang diuraikan oleh Bung Sugiri sudah bagus. Kalau > pun mau membuat pertandaan ttg perbuatan salah di masa lalu, mungkin bisa > diminta sisa-sisa bahan bangunan dari Gedung Candra Naya itu, untuk > dibangunkan suatu 'sisa gedung' porak poranda (sengaja dibuat tentunya) yang > ada bagian dari sisa gedung yang otentik asli itu (bubungan atau kusen?), > lalu diberi catatan: "Inilah hasil perbuatan yang salah di masa lalu, > moga-moga tidak lagi ada pengulangan kesalahan yang sama di masa depan." > Seperti monumen Hiroshima - Nagasaki di Jepang itu. > > Saya setuju dengan ide memanfaatkan gedung dan kompleks itu secara komersil, > sehingga ada pemasukan untuk perawatan kompleks dan perawatan gedung-gedung > kuno lain yang masih ada (kalau bisa). > > Kalau soal roh gedung tua yang mestinya tidak ada di gedung baru, juga > arsitekturnya mesti bagaimana, mestinya para ahli Budaya Tionghua mau ikut > sumbang saran dan bertukar pikiran. > > Gedung-gedung kuno itu (yang sudah musnah atau masih ada), waktu dibangun > dulu, mungkin saja pemiliknya juga tidak pernah berpikir bahwa puluhan atau > ratusan tahun kemudian, ada pecinta budaya yang guyub di milis BT ini yang > begitu peduli, membicarakan soal roh gedungnya dan arsitekturnya itu > bercirikan khas Tionghua Indonesia. > > Memang sih TMII itu cuma 'taman hiburan berthema', tapi rasanya ndak ada > salahnya juga kalau kita punya 'simbol' budaya di sana. Hidup memang penuh > simbolik juga toh? Lha, upacara dan ritual itu juga bukankah banyak > mengandung simbol-simbol perlambang untuk sesuatu yang luhur? Kalau mau ada > bio yang bisa dipakai, mestinya juga ndak apa-apa. Seperti halnya candi-candi > kuno itu kabarnya juga masih suka dipakai untuk upacara tertentu toh? > > Eh, jangan lupa, kalau masih ada tempat, juga tolong diusulkan untuk bangun > satu resto makanan khas Tionghua Babah (Indonesia) ya. Juga ada 'pabrik' tahu > jaman kuno (masih pake gilingan batu) yang tanpa pengawet tapi awet, pabrik > dodol yang masih pake langseng dan ngegelepung berasnya pake alu begitu > (barusan lihat pabrik dodol di Tangerang yang masih tradisionil dan kuno > tuh!), dan makanan lain-lain yang khas tionghua Indonesia. Hasil produksinya > bisa dijual dengan cap dan harga yang sepadan, keuntungan bisa dimasukkan ke > dalam kocek yayasan. > > Tentang nama-nama penyumbang diabadikan, saya pikir ndak masalah. Terlepas > apakah orang menyumbang ingin 'dapat nama', rasanya itu masih dalam > batas-batas wajar dan sejak dulu pun selalu dilakukan hal yang sama - lihat > saja di kelenteng, pasti ada nama-nama penyumbangnya waktu kelenteng itu > didirikan, juga waktu renovasi. Saya lihat di film-film yang dibuat oleh > Da-ai TV, orang-orang yang menyumbang untuk rumah sakit juga ndak pantang > disebutkan namanya tuh. > > Begitu saja sih sedikit cuap-cuap dari pendoyan makan enak ini. > Kalau ada yang salah, sila dikoreksi, kalau ada yang kurang ya mangga > ditambahkeun atuh, euy! > > Salam makan enak dan sehat, > Ophoeng > BSD City, Tangerang Selatan > > > > > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ibcindon" <ibcindon@> wrote: > > Yth para rekan milis, > > Menarik sekali diskusi yang yang terus berlangsung di milis mengenai lahan > yang dicadangkan di TMII. > > Maaf saya ingin urun rembuk. > > Beberapa waktu yang lalu ketika semua sedang berduka cita atas meninggalnya > Gus Dur pernah tercetus usulan ( emosionil ?? )membangun klenteng > peringatan untuk Gus Dur. ( entah serius , entah main-maina ??? ) > > Usulan ini hilang tanpa jejakâ¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦. J) > > Saya jadi terpikirkan, istilah klenteng di Indonesia merupakan pengertian > tempat beribadat agama Tionghoa. > > Konsep yang sudah diterima masyarakat semua. Kalu membangun klenteng akan > banyak komentar tidak senang dari masyarakat luas, meskipun mungkin sekedar > salah pengertian saja. > > Dalam hal TMII bagaimana kalau kita gunakan untuk suatu lahan tempat > performance, belajar dan mempelajari budaya. Mirip TIM Jakarta. > > Bangunan utama dapat diberi nama BUN BIO GUS DUR ( tempat budaya GUS DUR > ) atau pun LI THANG GUS DUR ( Hall/aula pembelajaran GUS DUR ). > > Dilengkapi dengan perpustakaan, semacan CHINESE HERITAGE CENTER di > SINGAPORE, yang sekarang dipimpin oleh Prof. LEO SURYADINATA . > > Management dapat mengelola program yang terarah yang tetap dan teratur > dilokasi ini. Mungkin acara budaya TiongHoa, pameran, acara kesenian, > diskusi, ceramah, seminar dst, dst. > > Income pemeliharaan dapat dengan menyewakan HALL / LITHANG untuk upacara dan > pesta. Lahan parkir luas sudah pasti, pesta taman pun dapat diselengarakan > disana. > > Dengan srana gtaman serba mirip HangChow atau Sihu. > > Melihat kecenderungan masyarakat klas the have di Jakarta yang suka show off > , jika fasilitas yang disediakan serba luas dan nyaman rasanya sarana ini > tidak akan pernah kekurangan peminat sepanjang tahun. > > Juga keinginan memperingati GUS DUR akan teringat sepanjang waktu. > > Pemeiliharaan dan penelitian budaya Tionghoa di Indonesia dapat > terselengarakan secara berkesinambunganâ¦â¦â¦.. > > Banyak tujuan dapat diperoleh pada waktu yang bersamaanâ¦.. > > MARI KITA BAHAS BAIK-BAIAKâ¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦â¦. Kenapa tidak > ?????? > > Salam erat, > > Sugiri. >