KOMPAS
Sabtu, 25 Agustus 2007 

 
Bercerai Kita Runtuh 


Jakob Sumardjo 

Indonesia bersatu karena faktor eksternal. Namun, keruntuhannya akibat faktor 
internal. 

Kita tak mampu menjaga kesatuan karena tak ada "musuh" bersama. Kini, zamannya 
lu, lu; gue, gue, bukan "kamu adalah aku", kita; tetapi "kami dan mereka". 

Mengakui yang lain, yang berbeda, menghormati, dan ikut menjaga keberbedaan 
kini dinilai tidak waras. Yang waras adalah gua, gua; lu, lu. Kamu bukan aku. 
Dan karena kamu mengganggu keberadaanku, kamu harus minggir atau aku lenyapkan. 

Prinsip "kamu bukan aku" ini sudah menjalar dalam hubungan negara-rakyat, milik 
umum-milik privat, perusahaan-buruh, kepala sekolah-murid, lurah-penduduk. Kita 
kaget saat rel KA digergaji agar gerbongnya terguling, saat kaca-kaca jendela 
KA retak dilempari batu, lampu-lampu taman dipecahi, monumen dan arkeologi 
dikotori grafiti, trotoar jadi kaki lima, kolong jalan layang menjadi hunian. 

Itu semua hanya gejala kecil yang baru timbul. Selama ini kita menganggap 
waras-waras saja saat prinsip lu, lu; gue, gue, yang jauh lebih raksasa, telah 
berlangsung puluhan tahun. Gua pejabat, lu rakyat. Lu memotong rel KA, gua 
memotong anggaran perbaikan kampung dan dana bantuan bencana. Lu menyerobot 
lahan kosong di kota, gua menyerobot ratusan hektar hutan tropis. Lu bikin 
grafiti di sejumlah situs purbakala, gua telah lama membiarkan benda milik 
negara diperdagangkan di luar negeri. Lu bikin rumah di kolong jembatan layang, 
gua menggusur hunian kumuh di kota demi "kepentingan umum". Apa yang kini kau 
lakukan, cuma tiruan dari yang aku lakukan puluhan tahun lalu. 

Zaman edan 

Gajah di pelupuk mata tak tampak, kutu tanaman di halaman tetangga tampak 
seperti gajah. Kita buta terhadap hukum kausalitas. Kekurangajaran rakyat 
kecil, ketidakwarasan rakyat kecil, kenekatan rakyat kecil yang kian berani dan 
menonjol akhir-akhir ini adalah akibat pertunjukan teater negara yang selama 
ini kita mainkan. Jika para pembesar boleh menggusur paksa, membabati hutan, 
membiarkan banjir, lumpur, menyerbu keluarga kami, mengapa saya tidak boleh 
membangun rumah di lahan kosong milik mereka? Jika mereka boleh memotong 
anggaran miliaran rupiah sehingga jembatan runtuh, bangunan SD ambruk, dan 
jatuh korban, mengapa saya tidak boleh memotong rel kereta api, menggali jalan 
umum. Mengapa mereka yang sudah puluhan tahun melanggar hukum dibiarkan hidup 
mewah, sedangkan kami yang melanggar hukum demi nyawa sendiri dituduh biadab? 

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ketika guru-guru (lelaki) kencing 
berdiri di tepi jalan, murid-murid mungkin kaget akan ketidakwarasan guru- guru 
ini. Namun, saat kencing berdiri itu dianggap waras-waras saja oleh para guru, 
para murid menirunya lebih ekstrem. Mereka kencing sambil berlari sepanjang 
jalan. Inilah zaman edan. Dalam zaman edan, yang waras itu edan, dan yang edan 
itu waras. Inilah yang terjadi pada zaman reformasi ini. Membunuh, merampok, 
dan mencuri milik umum itu dianggap baik, menipu publik itu baik asal semua ada 
hubungannya antara urusan privat dan umum. Semua ketidakwarasan itu waras 
belaka selama terjadi oposisi biner antara privat dan publik. Namun, 
ketidakwarasan itu jelas tidak waras jika menyangkut hubungan publik-publik dan 
privat-privat. 

Mencuri milik negara atau milik umum itu wajar. Malah tidak waras kalau ada 
pribadi yang tidak memanfaatkan kesempatan itu. Merusak milik negara itu juga 
wajar-wajar belaka, baik pribadi pejabatnya maupun rakyat kecil yang terpepet. 
Sebaliknya, atas nama negara, atas nama publik, seorang pejabat sah-sah saja 
menggusur, merampas, menghancurkan milik rakyat kecil. 

Yang berkuasa dan yang tak berdaya adalah pasangan kembar oposisi. Pasangan 
kembar ini bukan saling melengkapi, saling menghormati, saling mengakui, dan 
saling mengawini, melainkan pasangan perseteruan. Negara dan rakyat pasangan 
permusuhan, pertikaian, perceraian. Setelah bersatu pada masa revolusi, bulan 
madu negara-rakyat ini menjadi pasangan musuh. Rakyat mulai berani dan beringas 
merusak barang-barang milik negara, milik umum. 

Kontradiksi etika 

Rakyat adalah murid yang baik, penurut. Tetapi jika yang seharusnya dipatuhi, 
disegani, dituruti, diteladani malah kencing berdiri, apa boleh buat jika 
rakyat mengencingi guru-guru itu. Negara ini rusak oleh pemimpinnya sendiri. 
Para pengelola negara bersikap kontradiktif dengan etikanya sendiri. Yang 
seharusnya menjadi teladan, menjadi pecundang. Yang seharusnya mengayomi, ikut 
merusak. Yang seharusnya melayani, minta dilayani. Yang seharusnya membantu 
malah minta bantuan. Bukan melindungi, malah mengancam. 

Bagaimana rakyat dapat tahan menonton teater negara ini. Kini saatnya rakyat 
memainkan teaternya sendiri. Jika dalam teater negara rakyat jadi korban, dalam 
teater rakyat negara jadi korban. Rakyat mulai merusak milik negara. 
Lambang-lambang pemerintahan dihujat. Benda-benda milik pemerintah dirusak. 

Ini tanda-tanda zaman, sebuah gejala-gejala awal. Rakyat sudah tidak waras lagi 
menggergaji rel kereta api, merusak jalan tol, membakar gedung mewah kabupaten, 
mencorengi monumen-monumen negara. Jika teater negara ini tidak segera 
menghentikan lakon lamanya, tidak heran jika ketidakwarasan rakyat akan 
meningkat bukan saja pada lambang milik negara dan pemerintahan, melainkan 
menjurus kepada aktor-aktornya. Peradilan rakyat akan muncul. Revolusi Perancis 
dan revolusi Khmer Merah di Kamboja bisa terwujud di Indonesia. Kegilaan tidak 
akan dapat dibendung lagi. 

Seuntung-untungnya yang gila, lebih untung yang tidak ikut gila, meski tak 
dapat bagian. 

Jakob Sumardjo Esais 

Kirim email ke