Buntut perkara gugatan Suharto

terhadap majalah TIME







Seperti yang sudah dapat diduga sebelumnya, berita tentang dimenangkannya
gugatan Suharto terhadap majalah TIME oleh Mahkamah Agung, telah mendapat
reaksi yang ramai dari berbagai fihak. Putusan Mahkamah Agung yang
memenangkan gugatan Suharto ini akan terus ditanggapi dengan sikap pro dan
kontra, yang antara lain dapat dibaca dalam dalam website
http://perso.club-internet.fr/kontak).



Berikut di bawah ini disajikan pernyataan Ketua Umum PWI Pusat,Tarman Azam,
mengenai masalah gugatan Suharto ini, dan pendapat Atmakusumah, pengajar di
Lembaga Pers Dr Sutomo, yang meninjau  kasus putusan Mahkamah Agung itu dari
sudut pers, antara lain kode etik pers, HAM, kebebasan pers dan demokrasi.



Perhatian dari kalangan pers Indonesia terhadap kasus ini kelihatan besar,
dan mengindikasikan  bahwa perbenturan pendapat yang pro dan kontra mengenai
masalah ini akan berlangsung lama. Karena masalah kejahatan-kejahatan
korupsi yang dilakukan oleh Suharto (dan keluarganya) ini menyangkut
berbagai bidang (politik, hukum, dan moral),  dan meliputi jumlah yang amat
besar, maka laporan majalah TIME 24 Mei 1999 itu menarik perhatian banyak
kalangan.



Untuk memudahkan bagi siapa saja yang ingin mengikuti perkembangan buntut
persoalan antara keluarga Suharto dengan majalah TIME, maka telah dibikin
“Kumpulan berita gugatan Suharto lawan TIME” yang bisa ditemukan dalam
website tersebut di atas.



  1.. Umar Said


===========



Antara, 12 September 2007



PWI: Putusan MA Sudah Tepat


Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat
Tarman Azam mengatakan, putusan Mahkamah Agung RI yang mengabulkan gugatan
hukum mantan Presiden Soeharto terkait pemberitaan di salah satu edisi
majalah TIME sudah tepat.



"Putusan MA itu, sudah merupakan keputusan hukum, jangan dinilai sebagai
keputusan politik. Orang jangan menerjemahkan sebagai keputusan politik,"
kata Tarman Azam seusai menjadi moderator seminar Membangun Komunikasi
Politik yang Sehat di Hotel Nikko Jakarta, Rabu.



Putusan MA tertanggal 30 Agustus 2007, Majalah TIME Inc Asia diperintahkan
membayar ganti rugi immateriil senilai Rp1 triliun kepada Soeharto dan
meminta maaf dalam iklan yang dimuat di beberapa media cetak dalam tiga
penerbitan berturut-turut.



Tarman Azam menilai bahwa apa yang dilakukan oleh MA sudah mempertimbangkan
banyak hal dengan baik dan dirinya kurang sependapat dengan adanya anggapan
bahwa putusan MA tersebut, mengancam kebebasan pers.



"Jangan teman-teman pers, menilai kalau ada pers dihukum lalu langsung
mengancam kemerdekaan pers. Itu, tidak selalu begitu," ujarnya.



Menurut Tarman Azam, putusan MA sudah tepat dan harus dihormati. Bahkan,
harusnya menjadi pelajaran bagi masyarakat pers agar ke depan lebih bersikap
hati-hati dalam peliputan.



"Harusnya menjadi pembelajaran, dalam liputan agar menghormati kode etik,
cek and ricek. Nah, sepertinya aspek cek and ricek (pada kasus majalah Time)
lemah sekali, jadi ada pelanggaran kode etik," katanya.



Pemuatan gambar dan tulisan di Majalah TIME volume 153 No 20 edisi 24 Mei
1999 itu, oleh MA, dinilai telah tersiar secara luas dan melawan asas
kepatutan, ketelitian, kehati-hatian, mencemarkan nama baik, dan kehormatan
penggugat sebagai Jenderal besar TNI purnawirawan serta mantan presiden RI.



"Harus diingat, situasi tahun 1999, tatkala itu, situasinya masih crowded.
jadi masih sangat kental laporan-laporan itu, bisa dipengaruhi suasana
politik," katanya.



Tarman menegaskan, putusan MA sudah tepat, namun jika masih ada upaya hukum
dari majalah TIME maka hal tersebut, bisa saja dilakukan.(* )





==   ==   ==



KOMPAS, 13 September 2007



HAM dan Perkara "Time"



ATMAKUSUMAH ASTRAATMADJA


Ketiadaan yurisprudensi dalam tradisi hukum kita dapat melahirkan putusan
hukum yang membingungkan. Ini tecermin dalam putusan kasasi Mahkamah Agung
bagi gugatan pencemaran nama baik mantan Presiden Soeharto oleh majalah
Time.



Membingungkan karena substansi putusan hukum mengandung pola pikir
menyimpang dari paradigma putusan-putusan serupa sebelumnya. Putusan ini
juga mengejutkan pengamat pers internasional seperti Committee to Protect
Journalists (CPJ) di New York. Saking terkejutnya, organisasi independen ini
hanya dapat bereaksi dalam tiga kalimat di bawah judul, "CPJ mengutuk
putusan Mahkamah Agung terhadap Time" (CPJ condemns Supreme Court ruling
against Time).



Koordinator Program Asia CPJ Bob Dietz, 10 September, mengatakan, "Kita
kecil hati menyaksikan putusan yang diambil pengadilan Indonesia saat
pemerintah telah berjuang melaksanakan kebijakan lebih terbuka terhadap
media. Ganti rugi punitif yang absurd itu membuat orang mempertanyakan
reputasi negeri ini dan reputasi sistem hukumnya. Putusan hukum ini
melahirkan preseden buruk yang dapat menimbulkan dampak menakutkan pada para
wartawan dalam menyelidiki korupsi di Indonesia." Terbitan pers AS itu harus
membayar ganti rugi imateriil senilai Rp 1 triliun, meminta maaf melalui
tiga kali publikasi di media cetak Indonesia dan beberapa edisi Time.



Laporan jurnalistik yang digugat ini dimuat sebagai liputan utama berjudul
Soeharto Inc.—How Indonesia’s Longtime Boss Built a Family Fortune (Time
edisi Asia, 24/5/1999). Sebuah tulisan, yang menurut majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak gugatan ini, sudah memenuhi
tuntutan kode etik jurnalistik yang mensyaratkan objektivitas dan
keberimbangan.



Time, kata tiga hakim pengadilan negeri dalam putusan 6 Juni 2000, selain
menyajikan tulisan berdasar bahan-bahan yang diperoleh dari sumber-sumber
sendiri, juga sudah berusaha mengonfirmasikan kepada pihak yang dilibatkan
dalam pemberitaan ini. Meski tidak mendapat tanggapan saat meminta
klarifikasi kepada keluarga Soeharto, Time masih mewawancarai OC Kaligis dan
Juan Felix Tampubolon—pengacara mereka. Para hakim itu mengatakan, kedua
pengacara ini "menurut hukum dapat dianggap bertindak untuk dan atas nama
serta mewakili kepentingan penggugat (Soeharto)".



Para hakim pengadilan negeri ini mengatakan, tokoh publik, seperti mantan
Presiden Soeharto, "harus terbuka menerima penilaian masyarakat". Media
massa, kata mereka, "biasanya merupakan saluran yang paling relevan" untuk
mewakili masyarakat karena memiliki "ciri yang disebut publisitas, terbuka
untuk umum".



Mundur 15 tahun ke Orde Baru



Kerangka berpikir para hakim seperti tercermin dalam pertimbangan putusan
perkara gugatan terhadap Time di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah
berkembang sedikitnya 15 tahun terakhir. Pandangan para hakim yang mendukung
kebebasan pers sudah dimulai sejak putusan kasasi MA bagi perkara gugatan
seorang pengusaha Sumatera Utara terhadap harian Garuda di Medan pada 1993.



Tiga hakim agung dalam putusan kasasi yang dibacakan 28 April 1993 menolak
semua gugatan pengusaha itu terhadap Garuda. Dalam salah satu pertimbangan
penolakan gugatan itu, para hakim agung mengutip kelaziman penggunaan hak
jawab bagi seorang atau sekelompok anggota masyarakat yang merasa dirugikan
oleh suatu pemberitaan.



Mereka mencatat, "Sekiranya penggugat asal merasa pemberitaan itu tidak
benar, kepada penggugat asal terbuka pintu lebar-lebar untuk menggunakan hak
jawab. Namun, ternyata hak itu tidak dipergunakan penggugat asal, sehingga
memberi kesimpulan, apa yang diberitakan para tergugat asal (Garuda, para
pengelola, dan yayasan penerbit surat kabar itu) mengandung kebenaran atau,
paling tidak, mempunyai nilai estimasi".



Para hakim di MA mengingatkan, apa yang dianggap "kebenaran" dalam
pemberitaan media pers bukan "kebenaran mutlak". Pandangan ini juga terpapar
di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam gugatan mantan Presiden Soeharto
terhadap Time. (harap baca tulisan ini selengkapnya dalam “Kumpulan berita
gugatan Suharto terhadap TIME”

No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.487 / Virus Database: 269.13.18/1007 - Release Date: 13/09/2007
21:48

Kirim email ke