Reflöeksi: Kalau puasa lahirkan kepedulian sosial, berarti  masyarakat  tidak 
dimiskinkan dan  diketerbelakangkan oleh penguasa NKRI. Bemnarkah asumsi tsb? 

http://newspaper.pikiran-rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=30712

Puasa, Lahirkan Kepedulian Sosial

Oleh SUKRON ABDILAH

BANGSA kita memang mengakrabi hal yang berdimensi keagamaan sebab mayoritas 
penduduknya meyakini eksistensi Tuhan dan ajaran-Nya (baca: beragama). Namun, 
apakah sebagai makhluk-Nya telah menemukan di dalam diri kita ada sesuatu yang 
hilang? Saya pikir, kita cenderung malas mencari dan menemukan sesuatu yang 
hilang dari diri selama 11 bulan ke belakang, yakni kepedulian ketika 
berinteraksi dengan sesama. Kita telah menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan 
dan melupakan bahwa ajaran Ilahi mesti dibumikan dalam realitas sosial.

Akibatnya, terjadi semacam eksploitasi warga miskin dengan pelbagai bentuk 
upaya kapitalistik. Baik yang dilakukan perorangan maupun kelompok bermodal, 
seperti halnya penimbunan bahan-bahan pokok yang mengakibatkan naiknya harga 
menjelang Ramadan kali ini. Kelangkaan minyak tanah, kenaikan harga daging, 
gula, dan gas elpiji seakan menambah persoalan rakyat kian rumit. Oleh karena 
itu, disyariatkannya ibadah puasa di bulan Ramadan, merupakan salah satu 
langkah untuk melahirkan kembali kepedulian sosial dalam pribadi umat Islam.

Dengan berpantang makan dan minum sehari penuh, umat Islam diajarkan untuk 
tidak konsumtif dan mesti merasakan penderitaan orang yang tak makan seharian. 
Bahkan, menjauhkan diri dari aktivitas kotor ketika sedang menjalankan puasa, 
adalah indikasi puasa sarat dengan etika-moral sosial dan menjunjung tinggi 
kemanusiaan.

Mengeksiskan ajaran Islam

Ketika berpuasa, kehadiran-Nya bakal terus terasa (omnipresent) di dalam jiwa. 
Oleh karena itu, berpuasa selama satu bulan penuh adalah medium untuk 
menghadirkan eksistensi Tuhan. Kemiskinan, pengangguran, sulitnya mengakses 
pendidikan, dan soal konflik di tubuh bangsa adalah semacam tantangan untuk 
menghadirkan ajaran-Nya sehingga dapat menciptakan upaya penanggulangan 
konstruktif. Itulah salah satu cara untuk tidak membunuh eksistensi ajaran 
Islam. 

Doktrin ajaran Islam -salah satunya puasa- tak arif rasanya jika hanya 
diarahkan pada soal kelangitan, sementara soal kebumian dilupakan sehingga 
memicu lahirnya dehumanisasi. Kemiskinan, umpamanya, tanpa campur tangan kader 
organisasi Islam dalam memberantasnya, akan mengakibatkan matinya kesadaran 
ilahiah dan kemanusiaan. Ketika umat Islam mendekati Ramadan jadi kemutlakan 
untuk terus menghidupkan kesadaran transformatif dalam setiap kader organisasi 
Islam, yang untuk konteks kekinian kian tergusur ke arah politik praktis.

Bukan tidak boleh bergelut di dunia politik praktis. Namun, tanpa ada 
kerja-kerja kemanusiaan, fungsi keagamaan -dalam hal ini berislam- menjadi 
sia-sia, bahkan terkategori sebagai pendusta agama bagi umat Islam yang 
mengabaikan soal-soal kemiskinan di muka bumi. Itulah sebetulnya yang ingin 
disampaikan Nabi Muhammad saw., dengan kembali lagi ke bumi ketika peristiwa 
Isra Mikraj. Itu juga dilakukan untuk melakukan humanisasi, liberasi, dan 
transendensi sebagai usaha pembumian pesan-pesan langit. Kita tahu bahwa 
cendera mata sang Nabi Muhammad saw. dari lawatan spiritual jasadinya itu 
--yakni ibadah salat- akan sia-sia seandainya kita tidak memiliki rasa 
kepedulian terhadap warga miskin dan fakir.

Begitu pun dengan ibadah puasa. Bakal sia-sia ketika ibadah ini tidak berdampak 
nyata pada perubahan sikap kita sehingga tetap tidak peduli terhadap soal 
kemiskinan yang tak memanusiakan.

Islam "kebumian"

Ramadan adalah momen tepat untuk membumikan ajaran-Nya di muka bumi. Umat Islam 
mesti mampu menggagas kerja kemanusiaan sebagai wujud faktual Islam "kebumian", 
yakni keberislaman yang tidak hanya dinikmati dengan pelarian diri (asketis) 
dari realitas sosial. Asketisme umat Islam Indonesia adalah asketisme 
"kedisinian" bukan asketisme "kedisanaan" yang cenderung menjauh dari soal 
krisis kemanusiaan yang butuh penanggulangan transformatif.

Almarhum Kuntowijoyo mengklasifikasikasikan upaya transformatif jadi tiga misi 
utama sebagai bentuk aktualisasi doktrin sosial kenabian. Di antaranya, misi 
humanisasi, liberasi, dan transendesi yang diambil dari ayat Alquran sebagai 
rujukan paradigma pengilmuan Islam, yakni surat Al-Imran (3), ayat: 10, "Engkau 
adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan 
kebaikan, mencegah kemungkaran (salah satunya penindasan), dan beriman kepada 
Allah."

Humanisasi lebih menitikberatkan pada memanusiawikan umat manusia, melakukan 
upaya pemberdayaan masyarakat (community development) dengan pelbagai langkah 
praksis sosial. Liberasi dalam konteks pemikiran Kuntowijoyo adalah upaya 
pembebasan masyarakat dari kungkungan struktural yang memiskinkan. Terakhir, 
transendensi adalah memberikan acuan nilai atas seluruh kerja praksis 
kemanusiaan atas nama keilahian. Dari tiga misi transformasi sosial profetik 
tadi, alangkah bijaksananya jika umat Islam, untuk konteks kekinian tidak 
mengasingkan diri dari karut-marutnya realitas sosial dengan cara terbang ke 
langit tanpa pernah membumikan ajaran-ajaran ilahiah.

Semangat puasa Ramadan yang mesti ditangkap umat Islam juga adalah selalu 
mengisi kehidupannya dengan upaya-upaya transformatif ketika realitas 
sosial-kemasyarakatan demikian tak berpihak pada kaum miskin (mustadh`afin). 
Dengan demikian, bentuk kenikmatan berislam dalam praktik keseharian umat hari 
ini mestinya mampu berperan menanggulangi soal kemiskinan, pengangguran, dan 
soal akses pendidikan yang diskriminatif di tubuh bangsa ini. Dan, semoga saja 
pada Ramadan kali ini, Islam yang hadir mampu memijakkan diri di muka bumi 
lebih terasa gaungnya sehingga eksistensi kepedulian terhadap fakir miskin 
meningkat jika dibandingkan tahun dan bulan sebelumnya.

Sebab, puasa adalah ajaran yang dapat melahirkan kembali kepedulian sosial yang 
sempat meredup selama 11 bulan ke belakang, dan 11 bulan ke depan, bahkan untuk 
selamanya ajaran itu mesti hidup di jiwa umat Islam Indonesia. Ketika kita 
tidak dapat menangkap ajaran itu, sabda Nabi saw., "Akan sia-sialah puasa kita 
selama bulan Ramadan kali ini. Tanpa memiliki kepedulian sosial ketika ibadah 
ini berakhir, kita sama saja telah melakukan ketidaksungguh-sungguhan 
berpuasa." Wallahualam.***

Penulis, aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jawa Barat, bergiat di Institute 
for Religion and Future Analysis (Irfani) Bandung.

Kirim email ke