Jangan heran, jika kita (Pemuda) kini diteriaki, dicaci maki,
disangsikan eksistensinya. Tak perlu ngeles jika tuntutan-tuntutan itu
ditunjukkan ke muka kita, karena euforia reformasi tak jarang ada pada
momment yang tidak mudah dipahami. Belum lagi hiruk pikuk kepentingan
dan virus-virus `fatamorgana' entertainment merenggut jiwa-jiwa kita.


Memang banyak juga ini diteladankan oleh tetua-tetua kita. Tetapi juga
nyata realita pahatan dan sayatan peristiwa kongres pemuda II tanggal 28
Oktober 1928 itu hanya terekam rapi di museum-museum, baliho-baliho,
spanduk dan sticker-sticker estetis.



Kita memang hafal 100% dengung kalimat :

PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah
Jang Satoe, Tanah Indonesia.

KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang
Satoe, Bangsa Indonesia.

KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa
Persatoean, Bahasa Indonesia.



Sumpah !!!!! Pemuda Indonesia.









Lalu Kita Bangun

Kalau tanah Indonesia, bangsa Indonesia, bahasa Indonesia adalah
warna-warna keIndonesiaan maka semua itu bermuara Indonesia Raya. Maka :

--------

Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya

Untuk Indonesia Raya

---------

                      (Cuplikan Lagu Kebangsaan)



Itu juga menjadi lagu `kekitaan' yang hampir selalu kita dengungkan
setiap upacara-upacara. Dan kita sepakat.



Bangun untuk membangun, yang kalau dulu pernah ada Perkumpulan Boedi
Oetomo yang mengangkat derajat bangsa dalam harkat dan martabat bangsa
dengan : "Memadjoekan pengadjaran, pertanian, peternakan dan dagang,
teknik dan peroesahaan, membangunkan kembali kesenian dan pengelolaan
boemiputera, mempertahankan tjita-tjita manusia jang oemoem dan
selandjutnya semoea jang dapat mendjadi djaminan kehidupan jang pantas
bagi rakjat"



Bahkan saking hebatnya mereka tak heran jika Dr. O Damse dan B. Jildera
berkomentar "Sesungguhnja Boedi Oetomo ialah perserikatan nasional jang
pertama jang tahu diri"

Momment yang membuktikan bahwa pentingnya kemandirian, keunggulan, daya
saing, persatuan dengan membangunkan kekuatan diri, jiwa raga.



Memang itu adalah sejarah, tetapi mata rantai kemarin-kini-esok tidak
bisa dipenggal. B. Russel mengatakan "Hystory acquire meaning and
objectivity only when it establishes a coherent relation past and
future".



Lain dulu, bisa lain bisa juga sama dengan sekarang. Dan kini Mt.
Everest, kutub utara-selatan, pesawat Chalanger masih tetap menunggu
sambutan kita para pemuda.



Jika mereka negara maju memupuk jiwa petualangan anak bangsanya, mengapa
kita pemuda `Zamrud Khatulistiwa' tidak juga meneruskan budaya Discovery
& Expedition ? Sementara kita kaya dengan lautan, hutan, gunung, flora,
fauna dll. Ironis jika pemudanya tidak berminat menjelajah dan mengenal
alam tanah airnya sendiri. Kalaupun banyak organisasi pecinta alam,
umumnya baru sebatas perkumpulan Olah raga / Pleasure semata.



Jiwa Petualang



Bagi petualang (pendaki) sering terbersit pemikiran simpel, "mendaki ya
mendaki saja, bertualang ya asal jalan saja, tak perlulah itu memikirkan
argumentasi sedemikian rupa". Tapi lain halnya dengan Real Backpaker :
"Tetaplah mendaki dengan visi dan misi paling sempurna dengan niat dan
orientasi yang paling agung dengan motivasi yang dapat
dipertanggungjawabjan dihadapan Sang Pencipta Gunung. Karena, wahai
sahabat, besok-kelak, kaki, tangan mulut kita akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dikerjakan".



Atau Gr. Edmund Hillary, salah satu yang mencapai puncak Everest, bukan
hanya legenda penaklukan Everest saja yang patut dikenang, tapi
disamping mendaki ia juga berusaha memperbaiki kondisi masyarakat Nepal
yang sangat miskin dan jauh tertinggal. Ia pun selalu mengunjungi Nepal
selama 54 tahun berikutnya, tanpa kompensasi apapun.

"Â…Tinggal beberapa langkah lagi dan tidak ada sesuatu yang lain
berada diatas kami kecuali langit. Tidak ada dinding lain, tidak ada
puncak lain, kami berdiri bersama di puncak dunia"



Hillary dengan petualangan, pencapaian, penemuan dan kesederhanaanya,
dengan salah satu ucapannya yang patut dikenang : "We knocked the
bestard off". Dengan filosofi hidup yang sangat sederhana : Petualangan
bisa untuk orang biasa dengan kualitas biasa-biasa saja seperti saya.



Jiwa petualang, mampu mengatasi kesulitan dengan jiwa raganya. Demikian
pula dengan Thomas Alva Edison dengan 50.000 percobaan selama 20 tahun,
ketika ditanya : "Anda telah gagal 50.000 X, lalu apa yang membuat anda
yakin bahwa anda akan berhasil? Dengan spontan dijawab : "Berhasil?
Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan banyak hasil. Kini saya
tahu 50.000 hal yang tidak berfungsi".



Merekalah yang berhasil mencapai puncak pendakian. Senantiasa berfokus
pada usaha, menundukkan tantangan, selalu mencari
kemungkinan-kemungkinan, hanya sesekali jeda untuk evaluasi, dan
kemudian kembali bergerak maju hingga puncak.



Dengan ketegaran (courage) menghadapi tantangan yang tak pernah
berhenti, kegigihan dan tetap teguh pada optimisme, tenang menghadapi
kekisruhan, sangat tegar ketika menghadapi "itu tidak dapat dikerjakan"
dan "kami belum pernah mengerjakannya. Sesuatu yang tidak mungkin hanya
perlu waktu untuk menjadi kenyataan.



Sehingga benar-benar spirit yang ada didalamnya : 1). Nation character
building

2). Pengusaan skill dan IPTEK (National competitiveness) sering terabai.
Menjadi sebuah  pengembaraan (expedition) menempuh wilayah tanah air
demi kepentingan masyarakat  dengan IPTEK (Discovery). Sehingga
`learning by visiting' adalah mensinergikan : mind on, hearth on dan
hand on secara integral dengan pengalaman dan amal nyata (kontributif).





Eksplorasi dari Yang Terkecil

"Sebuah pohon sebesar Anda, bermula dari sebuah biji yang kecil.
Perjalanan sejauh 1000 mil berawal dari sebuah langkah kecil (Lao Tse)



Republik Indonesia memiliki 17.504 pulau, 9336 yang bernama, 8168 yang
belum diberi nama. Panjang wilayah Indonesia 5300 Km, Lebar 2300 Km.
Luas daratan dua juta Km2  etnik, belum lagi sekian juta spesies flora
dan fauna (pertanian, tambang perairan dll). memiliki 250 bahasa dan
dialek dengan 200 kampung



Dalam sebuah diskusi "Sewindu Reformasi mencari visi 2030" seorang
panelis pernah menyatakan "Sehelai daun yang berserakan di pinggir jalan
dan selama ini hanya dianggap sampah, sebenarnya peluang usaha yang
sangat menjanjikan. Bisa diolah menjadi kerajinan tangan yang diminati
luar negeri. Tapi ternyata tidak banyak yang berminat memunguti dan
mengolahnya, padahal satu helai daun dihargai Rp. 100.



Ekspedisi yang dengan mengaktifkan ketiga potensi : mind, heart dan
hand, meningkatkan sensitifitas kita terhadap lingkungan, bangsa dan
negara berikut faktor yang mempengaruhi pada tataran realita, termasuk
peluang.

Namun begitu spirit / janji diri tidak berlepas dari `Cinta tanah air
dalam berbangsa dan bernegara. As a nation. "Bertumpah darah dengan
kesamaan pembahasaan bahasa, demi bangsa, Indonesia".



Terima kasih, ternyata kita juga bisa ya bikin parabola, eeh maksudnya
hiperbola'^_^





                                                                                
                                            
mBogor, 28 Oktober 2008


                                                                                
                                               
(2 ribu + DELAPAN) ^_^

Kirim email ke