=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
  
Demokrasi Permukaan 
Proses perjalanan demokrasi di Indonesia berjalan terus berproses menuju 
perbaikan, kaum intelektual, praktisi, masyarakat dan para politisi berperan 
langsung bagi bergeraknya proses menuju kemajuan demokrasi Indonesia di masa 
depan. 
Pada saat ini demokrasi di Indonesia masih lebih menonjolkan penampilan, corak, 
wajah, demokrasi permukaan – bukan menekankan pada isi, kualitasnya. Kuatnya 
praktik-praktik demokrasi seperti hal nya terjadi selama ini sebagian besar 
karena pengaruh dari sistim yang dipraktikan oleh para pengambil kebijakan 
publik dan pelaku kebijakan di pemerintahan Indonesia selama ini. Untuk 
mencapai sebuah kemajuan demokrasi suatu bangsa yang terus berproses, ternyata 
semua pihak perlu bekerja keras, karena ternyata kita semua memang benar-benar 
masih harus banyak belajar. Pun demikian di bidang ekonomi, perdagangan, hukum, 
social dan HAM.   
Dan 10 tahun terakhir kita semua sangat merasakannya bagaimana progresifnya 
perkembangan demokrasi di Indonesia. 
 “”Demokrasi Permukaan” adalah model demokrasi di negara-negara berkembang di 
mana demokrasi masih berkutat pada pembentukan pranata formal, penyediaan 
prosedur elektoral, dan belum menyentuh ranah pembangunan kesadaran. Hal ini 
terkait masyarakat sipil yang lemah dan absennya kepemimpinan politik yang 
berinisiatif menciptakan kontingensi bagi lahirnya gerakan sipil ke arah 
demokratisasi.” 
Sambil menyadari bahwa kondisi kurang matang ini terkait gagalnya partai 
politik menjadi agen pendidikan politik, kita perlu akui juga institusi lain 
seperti universitas, bahkan media, belum optimal melakukan pencerahan. 
Khusus untuk universitas, konsentrasi berlebihan pada pemenuhan kebutuhan 
finansial guna menggerakkan mesin lembaga adalah awal dari kehancuran demokrasi 
sipil. Setidaknya ini dasar moral dari kecemasan para mahasiswa yang dulu 
menolak pengesahan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). 
Apa yang terjadi di Indonesia, ”demokrasi permukaan” diperburuk oleh penekanan 
berlebihan pada tampilan sehingga demokrasi kita sebetulnya ”demokrasi visual”, 
yakni demokrasi yang mengutamakan aspek tampak. Dalam politik, aspek visual 
tentu penting, tetapi penampilan sekadar bungkusan. Paling mendasar adalah 
substansi, yaitu kinerja in actu, keberpihakan pada rakyat, dan komitmen 
konkret terhadap prinsip pemerintahan demokratik. 
Untuk itu, diperlukan strategi cerdas, etis, dan legal yang intensinya 
mencerahkan khalayak politik. Suatu strategi yang secara mutlak tidak boleh 
bertalian dengan kepentingan parsial dalam pemilu. Tidak mudah memang, tetapi 
harus dikerjakan oleh segenap elemen civil society. Sebab, demokrasi 
sesungguhnya berbicara soal peran rakyat dalam menciptakan pemerintahan 
(Schumpeter, 1950: 269).”  [Boni Hargens] 
                                                                                                      
     
Selamat berkompetisi dengan baik…. 
  
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
  
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 
------ 
Paradoks Demokrasi Permukaan 
Selasa, 27 Januari 2009 | 00:55 WIB 
Oleh : Boni Hargens 
Jika politik itu paradoks, ”rokok” adalah analogi yang akurat. Ia menghadirkan 
nikmat dan laknat dalam keserentakan. 
Merokok dilukiskan sebagai ”selera pemberani” di satu sisi, tetapi ”menyebabkan 
kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin” di lain 
sisi. Meski paradoksal, rokok tetap terjual. 
Elite politik sama paradoksalnya dengan rokok. Meski gagal, korup, hipokrit, 
dan monolitik, tetap saja menang dalam kontestasi elektoral. Dirwan Mahmud, 
Bupati Bengkulu Selatan yang kemenangannya dianulir keputusan Mahkamah 
Konstitusi, adalah contoh kasus. Mahmud pernah membunuh dan dihukum lebih dari 
lima tahun, tetapi menang dalam pemilihan bupati. 
Mungkinkah ini justifikasi atas tesis bahwa masalah kita adalah sulitnya 
mempertanggungjawabkan memoria, ingatan (Eddy Kristianto, Sakramen Politik, 
2008)? Atau jangan-jangan ini pembenaran tesis Demokrasi Permukaan-nya Jeff 
Haynes (1997)? 
Soal ingatan, mungkin kurang bijaksana jika kita mempersalahkan masyarakat. 
Memang kenyataan, kegagalan dan kejahatan politik dengan mudah terlupakan 
sehingga politisi macam apa pun berpeluang memenangi pemilu di Indonesia. 
Namun, ini bukan mutlak salah masyarakat. Kelihaian politisi mengemas diri dan 
tindakan politiknya adalah aspek lain yang mendasar. Terkait juga di sini 
konspirasi jahat antarberbagai institusi elektoral, seperti KPU/KPUD dan Panwas 
yang melibatkan kepolisian dalam kasus Bengkulu Selatan. 
Demokrasi permukaan 
Menangnya politisi gagal dalam pemilihan adalah ekses buruk dari apa yang 
disebut ”demokrasi permukaan” oleh Haynes. Atau bisa juga dibaca sebagai 
sinyalemen ”demokrasi lemah” dalam kategori Benjamin Barber (1984). 
Haynes, termasuk Barber, sebetulnya berbicara tentang ”demokrasi prosedural” 
yang berkembang pada abad ke-20 untuk menamakan praktik demokrasi liberal yang 
menekankan prosedur (Ellen Wood, 1996; Hollinger, 1996; Bowles & Gintis, 1987). 
Kekhususan Haynes terletak pada generalisasi bahwa ”demokrasi permukaan” adalah 
model demokrasi di negara-negara berkembang di mana demokrasi masih berkutat 
pada pembentukan pranata formal, penyediaan prosedur elektoral, dan belum 
menyentuh ranah pembangunan kesadaran. Hal ini terkait masyarakat sipil yang 
lemah dan absennya kepemimpinan politik yang berinisiatif menciptakan 
kontingensi bagi lahirnya gerakan sipil ke arah demokratisasi. 
Untuk konteks Indonesia, Haynes dan Barber sulit dibantah. Ada dua fakta yang 
menonjol. Pertama, demokrasi masih di permukaan. Kedua, masyarakat belum cukup 
matang untuk menentukan pilihan rasional tanpa pengaruh dominatif dari struktur 
dominan, seperti oligarki partai politik, birokrasi, institusi tentara, dan 
penguasa kapital. 
Sambil menyadari bahwa kondisi kurang matang ini terkait gagalnya partai 
politik menjadi agen pendidikan politik, kita perlu akui juga institusi lain 
seperti universitas, bahkan media, belum optimal melakukan pencerahan. 
Khusus untuk universitas, konsentrasi berlebihan pada pemenuhan kebutuhan 
finansial guna menggerakkan mesin lembaga adalah awal dari kehancuran demokrasi 
sipil. Setidaknya ini dasar moral dari kecemasan para mahasiswa yang dulu 
menolak pengesahan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). 
Agaknya universitas perlu meredefinisi fungsi ”pelayanan masyarakat” secara 
lebih luas agar menyentuh juga aspek pendidikan politik bagi masyarakat. 
Keterlibatan universitas dalam bingkai pencerahan, bukan kampanye parsial untuk 
elite tertentu, adalah kewajiban eksistensial. 
Dulu, pada akhir 1960-an, Foucault resah dengan dunia pendidikan Perancis 
setelah melihat ada persinggungan dengan kekuasaan. Foucalt meragukan 
obyektivitas dari kebenaran ilmiah dan tiba pada kesimpulan, pengetahuan dan 
kekuasaan itu dua sisi dari satu koin (1979). 
Untuk melengkapi argumentasi rapuhnya masyarakat sipil di Indonesia, tesis 
Foucault bisa ditempatkan pada konteks kontes survei politik belakangan yang 
terus mengarah pada proyek kampanye. Hasil survei yang bertentangan antara 
lembaga yang satu dan yang lainnya seakan memastikan bahwa kebenaran ilmiah 
melekat inheren dengan struktur kekuasaan. 
Demokrasi visual 
Apa yang terjadi di Indonesia, ”demokrasi permukaan” diperburuk oleh penekanan 
berlebihan pada tampilan sehingga demokrasi kita sebetulnya ”demokrasi visual”, 
yakni demokrasi yang mengutamakan aspek tampak. Dalam politik, aspek visual 
tentu penting, tetapi penampilan sekadar bungkusan. Paling mendasar adalah 
substansi, yaitu kinerja in actu, keberpihakan pada rakyat, dan komitmen 
konkret terhadap prinsip pemerintahan demokratik. 
Kita semua tahu, politisi kita lalai terhadap substansi. Politik direduksi 
sebagai urusan mengemas citra, mengatur penampilan. Praktik politik seperti ini 
perlu dihentikan meski tak sedikit institusi penggerak demokrasi terjebak arus 
yang sama. 
Untuk itu, diperlukan strategi cerdas, etis, dan legal yang intensinya 
mencerahkan khalayak politik. Suatu strategi yang secara mutlak tidak boleh 
bertalian dengan kepentingan parsial dalam pemilu. Tidak mudah memang, tetapi 
harus dikerjakan oleh segenap elemen civil society. Sebab, demokrasi 
sesungguhnya berbicara soal peran rakyat dalam menciptakan pemerintahan 
(Schumpeter, 1950: 269).  Boni Hargens Mengajar Ilmu Politik di Universitas 
Indonesia; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke