=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Stop Pemekaran 
Selasa, 17 Februari 2009 | 00:37 WIB 
Oleh : Wahyudi Kumorotomo 
Setelah isu kebijakan pemekaran daerah memakan korban meninggalnya Ketua DPRD 
Sumut, wacana yang berkembang adalah menstop pemekaran. 
Bisakah ini dilakukan melihat masih banyaknya tuntutan dari daerah? 
Dalam lima tahun terakhir, pemerintah dan DPR telah berkali-kali menyerukan 
moratorium pemekaran. Juga sudah ada PP Nomor 78 Tahun 2007 menggantikan PP 
Nomor 129 Tahun 2000 yang dianggap kurang ampuh mencegah tuntutan pemekaran. 
Namun, pemecahan wilayah administratif terus berlanjut. Indonesia kini terbagi 
dalam 33 provinsi dan 491 kabupaten. Daerah amat banyak, sulit dikendalikan 
secara administratif, sedangkan pelayanan publik justru menurun. 
Dalam hal penduduk, provinsi terkecil hanya dihuni kurang dari 800.000 jiwa 
(Gorontalo), yang terbesar dihuni 35 juta jiwa (Jawa Timur). Untuk 
kabupaten/kota, jumlahnya antara 11.800 jiwa (Kabupaten Supiori) dan 4,1 juta 
jiwa (Kota Bandung). 
Secara teoretis, pemekaran sebenarnya merupakan akibat logis desentralisasi. 
Masalahnya, pemekaran di Indonesia kini sudah kurang rasional dan landasan 
argumentasinya lemah (Ferrazzi, 2008). Pemekaran tidak lagi mengedepankan 
tujuan desentralisasi untuk mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat, 
menciptakan pemerintah daerah yang responsif, dan meningkatkan kemakmuran di 
daerah. 
Usul pemekaran biasanya karena faktor sejarah, adat, bahasa, etnis, atau merasa 
tertinggal dibandingkan dengan daerah sekitar. Lalu elite politik, calon 
bupati, atau anggota DPRD mendorong usul itu dengan menebar janji. Pemekaran 
juga didorong jajaran pemda karena peluang jabatan baru. Mereka mendapat 
manfaat dari kenaikan eselon atau adanya proyek gedung baru. 
Sebuah kabupaten pemekaran di Maluku didapati tim anggaran berada dalam posisi 
sulit karena proyek-proyek gedung sudah seizin dinas pekerjaan umum dan bupati 
baru untuk dikerjakan sebelum APBD disahkan. Jika pemda tak ingin malu karena 
utangnya kepada rekanan tidak terbayar, tim harus menyetujui alokasi dana untuk 
proyek itu. 
Ketika muncul usulan pemekaran daerah, elite politik di pusat cenderung 
menyetujui tanpa pertimbangan matang. Dari 17 paket RUU pembentukan yang 
diusulkan DPR tahun lalu, sebenarnya hanya tiga yang layak (Kompas, 
23/12/2008). Berbeda dengan RUU Antipornografi atau RUU Badan Hukum Pendidikan 
terkait pendidikan tinggi yang disorot media dan LSM, pembahasan RUU pemekaran 
hampir selalu mulus. Dapat ditambahkan, uang sidang dan honor bagi anggota DPR 
untuk membahas semua RUU itu tetap sama. 
Instrumen disinsentif 
Upaya menstop pemekaran akan ditentang elite di daerah atau pihak-pihak yang 
mengedepankan primordialisme. Namun, melihat konflik di Sumut, Sumsel, Sulsel, 
Papua, dan semua daerah yang hendak dimekarkan, tidak ada kata lain kecuali 
menghentikannya. Perlu pemikiran jernih para anggota DPR, Departemen Dalam 
Negeri, dan DPOD agar otonomi daerah benar-benar berpihak pada kemakmuran 
rakyat daerah, bukan segelintir elite politik. 
Syarat-syarat yang disebutkan PP No 78/2007 sebenarnya sudah ketat. Daerah yang 
dimekarkan harus sudah berfungsi selama 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun 
untuk kabupaten/kota. Provinsi minimal harus punya 5 kabupaten/kota, kabupaten 
punya 5 kecamatan, dan kota punya 4 kecamatan. Usulan mesti didukung dua 
pertiga dari seluruh wilayah desa atau kelurahan. 
Sebaliknya, peraturan ini mendorong penggabungan daerah jika terjadi penurunan 
kualitas pelayanan. Maka, kini tinggal niat pemerintah untuk menegakkan 
peraturan ini. Syarat minimum jumlah penduduk harus dipertimbangkan bagi setiap 
usulan pemekaran yang masuk DPOD. Yang jauh lebih penting adalah agar anggota 
DPR jangan justru ikut menyiasati atau menerobos aturan yang telah disepakati. 
Instrumen lain yang cukup mudah adalah dana perimbangan. Selama ini, DAU selalu 
diberikan dengan proporsi berdasarkan status administratif. Selain tidak bisa 
mengatasi kesenjangan horizontal antardaerah, alokasi semacam ini akan terus 
mendorong pemekaran. Jika DAU diberikan secara netral, daerah pemekaran akan 
mendapat jumlah dana yang dibagi dari daerah induknya, para pejabat dan elite 
lokal akan berpikir ulang untuk memekarkan diri. 
Upaya yang harus dilakukan secara berkelanjutan adalah pendidikan politik di 
daerah. Warga harus menahan diri agar tidak mengedepankan primordialisme, 
seperti etnisitas, sejarah, atau sentimen sempit. Sebaliknya, warga perlu 
didorong untuk mementingkan hal-hal substansial, seperti tingkat kemakmuran 
yang merata dan pelayanan publik yang efisien. Dengan begitu, mereka tidak akan 
mudah dimobilisasi elite politik daerah untuk aneka kepentingan sempit. Inilah 
pendidikan demokrasi yang sesungguhnya.  [Wahyudi Kumorotomo Dosen Jurusan 
Administrasi Negara Fisipol UGM] 
* * * * * 
“Upaya menstop pemekaran akan ditentang elite di daerah atau pihak-pihak yang 
mengedepankan primordialisme. Namun, melihat konflik di Sumut, Sumsel, Sulsel, 
Papua, dan semua daerah yang hendak dimekarkan, 
tidak ada kata lain kecuali menghentikannya. 
Perlu pemikiran jernih para anggota DPR, Departemen Dalam Negeri, 
dan DPOD agar otonomi daerah benar-benar berpihak pada 
 kemakmuran rakyat daerah, bukan segelintir elite politik.” 
  
“Upaya yang harus dilakukan secara berkelanjutan adalah pendidikan politik di 
daerah. Warga harus menahan diri agar tidak mengedepankan primordialisme, 
seperti etnisitas, sejarah, atau sentimen sempit. 
Sebaliknya, warga perlu didorong untuk mementingkan hal-hal substansial, 
seperti tingkat kemakmuran yang merata dan pelayanan publik yang efisien.” 
  
“Dengan begitu, mereka tidak akan mudah dimobilisasi elite politik daerah 
untuk aneka kepentingan sempit. 
 Inilah pendidikan demokrasi yang sesungguhnya.”  
* * * * * 
-------- 
Pemekaran Pemilu 
Sekarang bagaimana dengan pemekaran partai, caleg, dan capres? 
Selama ini partai diberi kesempatan, dimekarkan … sehingga saat ini pun sedang 
mekar-mekarnya…berkembang menjadi lebih dari 38 partai. 
Untuk pemilu 2014 nanti, mungkin cukup 3 s/d 5 partai saja. Sepuluh (10) tahun 
lebih kita sudah belajar multipartai lebih dari 3 partai, namun hasilnya 
sekitar2 itu saja.... jadi setelah yang lalu dibuka seluas-luasnya, maka yad 
silahkan partai-partai siap-siap merger, toh berkiprah bagi bangsa dan negara 
tidak harus dengan memiliki partai sendiri. Tetapi kalau mental, kemauan dan 
niat para elite partai tetap seperti itu ya kapan bisa berkembang maju dengan 
baik... 
Begitu pula bagi kader partai, menjadi anggota legislatif/DPR pun sebaiknya 
cukup selama 2 periode saja, seperti halnya jabatan eksekutif, karena masa 
tersebut sudah sangat cukup untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan 
negara.... selebihnya bisa berkarya dan mengabdi di tempat lain yang lebih 
tepat, sekaligus untuk memperlancar proses regenerasi kader partai bagi yang 
lebih muda. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 
--------



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke