=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.   
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
"Mengenang dan BELAJAR DARI SEJARAH 11 Maret 1966"  
Mengurai Kontroversi Supersemar 
Rabu, 11 Maret 2009 | 04:18 WIB. 
Oleh : Asvi Warman Adam 
Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar, terutama menyangkut 
tiga hal, masih belum menemukan titik terang. 
Ketiga hal itu adalah pertama, mengenai teks. Kedua, terkait proses mendapatkan 
surat itu. Ketiga, mengenai interpretasi isi perintah itu. 
Naskah asli Supersemar sendiri hingga sekarang belum ditemukan. Keluarnya surat 
itu tidak bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya. 
Presiden Soekarno memiliki penafsiran berbeda dengan kelompok Soeharto. 
Dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia terdiri dari 
beberapa versi. Namun, sebenarnya perbedaan antarnaskah, misalnya mengenai 
tempat penandatanganan — apakah Jakarta atau Bogor — tidak mengubah 
substansinya. Demikian pula jumlah halaman surat perintah itu — satu atau dua 
halaman — itu hanya soal teknis. 
Sudharmono mengatakan, surat itu digandakan atau difotokopi. Namun, ternyata 
hal itu dibantah Moerdiono yang menegaskan, surat itu dironeo (distensil). 
Tampaknya awal tahun 1966 belum ada mesin fotokopi di Ibu Kota. Dengan 
demikian, surat itu distensil. Jika itu yang terjadi, berarti naskah diketik 
ulang. Maka tidak aneh jika terdapat berbagai perbedaan. Bahkan, logo burung 
Garudanya terlihat seperti digambar dengan tangan. 
Ketika biografi Jenderal Jusuf diterbitkan setelah ia meninggal, masyarakat 
berharap menemukan titik terang. Ternyata Supersemar yang dilampirkan bukanlah 
yang asli, paling tidak demikian menurut Kepala Arsip Nasional, karena logo 
yang digunakan Garuda Pancasila, padahal lambang kepresidenan adalah padi 
kapas. 
Minimal kita berharap, draf pertama surat itu, draf kedua yang sudah ditulisi 
komentar Soebandrio beserta tembusan ketiga dari teks asli (yang tidak 
ditandatangani Presiden) yang semuanya dimiliki Jenderal Jusuf dapat diserahkan 
kepada pemerintah. 
Di bawah tekanan 
Aspek kedua yaitu proses memperoleh surat itu perlu dijelaskan kepada 
masyarakat, terutama kepada para siswa. Surat itu diberikan bukan atas kemauan 
atau prakarsa Presiden Soekarno. Surat itu diberikan di bawah tekanan, seperti 
terlihat dari rangkaian peristiwa berikut ini. 
Tanggal 9 Maret 1966 malam, Hasjim Ning dan M Dasaad, dua pengusaha yang dekat 
dengan Bung Karno, diminta Asisten VII Men/Pangad Mayjen Alamsjah Ratu 
Perwiranegara untuk membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan kekuasaan 
kepada Soeharto. Pada malam itu juga, keduanya mendapat surat perintah yang 
ditandatangani sendiri oleh Men/Pangad Letjen Soeharto yang menyatakan bahwa 
mereka adalah penghubung antara Presiden Soekarno dan Men/Pangad. 
Hasjim Ning dan M Dasaad berhasil bertemu dengan Presiden Soekarno pada 10 
Maret 1966 di Istana Bogor. Hasjim Ning menyampaikan pesan tersebut. Bung Karno 
menolak. Dengan amarah, Bung Karno berkata, ”Kamu juga sudah pro-Soeharto!” 
Dari sini terlihat bahwa usaha membujuk Soekarno telah dilakukan, lalu diikuti 
dengan mengirim tiga jenderal ke Istana Bogor. Pagi 11 Maret 1966 dilangsungkan 
sidang kabinet di Istana yang dikepung oleh demonstrasi mahasiswa besar-besaran 
serta didukung pasukan tertentu. Hal itu mengagetkan Presiden yang memutuskan 
untuk menyingkir ke Istana Bogor. 
Brigjen Kemal Idris saat itu mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad dan 
RPKAD untuk mengepung Istana. Tujuan utamanya adalah menangkap Soebandrio yang 
berlindung di kompleks Istana. Memang pasukan-pasukan itu mencopot identitas 
mereka sehingga tak mengherankan Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur 
melaporkannya sebagai ”pasukan tidak dikenal” kepada Bung Karno. Letjen 
Soeharto sendiri tidak hadir dalam sidang kabinet dengan alasan sakit. Bila dia 
ada, tentu Bung Karno akan memerintahkannya untuk membubarkan demonstrasi 
gabungan mahasiswa-tentara itu. 
Sebetulnya banyak faktor yang terjadi sebelum 11 Maret 1966 yang semuanya 
menjadikan semacam ”tekanan” terhadap Presiden Soekarno. Dan, puncak dari 
tekanan itu datang dari ketiga jenderal itu. Bila tidak ada demonstrasi dari 
mahasiswa dan pasukan tak dikenal yang mengepung Istana, tentu peristiwa 
keluarnya Supersemar di Bogor tidak/belum terjadi. 
Tafsir berlawanan 
Bagi Presiden Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, 
termasuk keamanan Presiden dan keluarganya. Namun, sebenarnya ia ”kecolongan” 
dengan membubuhkan frase ”mengambil segala tindakan yang dianggap perlu” dalam 
surat tersebut. Padahal, perintah dalam militer harus tegas batas-batasnya, 
termasuk waktu pelaksanaannya. 
Menurut Bung Karno, surat itu bukanlah transfer of authority. Amir Machmud yang 
membawa surat itu dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta langsung berkesimpulan 
bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan. 
Dengan surat itu, Soeharto mengambil aksi beruntun pada Maret 1966, membubarkan 
PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan Tjakrabirawa (yang 
terdiri dari sekitar 4.000 anggota pasukan yang loyal kepada Presiden), dan 
mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspen AD). 
Tindakan Soeharto ini tidak lain mengakhiri dualisme kekuasaan yang telah 
terjadi pasca-Gerakan 30 September. 
Dualisme kekuasaan itu tampak jelas dalam kasus penghentian rencana 
nasionalisasi perusahaan asing akhir 1965. Tanggal 15 Desember 1965, dengan 
naik helikopter Soeharto menuju Istana Cipanas tempat pertemuan yang dipimpin 
Waperdam Chaerul Saleh dengan agenda pengambilalihan Caltex. Soeharto turun 
dari helikopter dan berseru, ”AD tidak setuju nasionalisasi Caltex”. Lalu, ia 
langsung meninggalkan tempat dan kembali ke Jakarta. Peristiwa dramatis itu 
sungguh menunjukkan adanya dua pimpinan nasional saat itu karena dalam kasus 
ini jelas Soeharto tidak bertindak atas perintah Presiden Soekarno. 
Pelajaran yang dapat diambil dari keluarnya Supersemar ini adalah pada masa 
mendatang hendaknya pergantian kekuasaan presiden berlangsung melalui pemilihan 
umum yang demokratis (dan damai), bukan dengan ”kudeta merangkak” yang 
menyakitkan. [Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI] 
----------- 
Sejarah adalah prasasti hidup bagi tiap generasi. Cara pandang dan pemahaman 
pelaku serta penulis sejarah sangat mempengaruhi kita untuk dapat belajar dari 
semua peristiwa yang sudah berlalu maupun yang sedang berlangsung saat ini. Pun 
demikian dengan Surat Perintah Sebelas Maret 1966, yang lebih terkenal dengan 
"Supersemar" itu.  
Kita semua dapat memetik buah dan hikmat dari sebuah perjalanan bangsa dan para 
pemimpinnya, untuk perbaikan dan kebaikan masyarakat Indonesia di masa depan. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko                                                                   
                                 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 
---------



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke