http://www.ambonekspres.com/index.php?act=news&newsid=25771

      Kamis, 12 Mar 2009, | 7 

      Partai Kelas dari Rezim ke Rezim 
      M.J. Latuconsina*)
     
     
      Dari waktu ke waktu, pengelompokan basis ideologi partai politik di 
Indonesia, senantiasa mengalami perubahan seiring dengan dinamika pergantian 
rezim pemerintahan. 
      Dimana, perubahan pengelompokan basis ideologi partai politik, terjadi 
akibat adanya regulasi kebijakan pembatasan dan kelonggaran dalam mendirikan 
partai politik oleh pemerintah, baik yang terjadi di era Orde Lama, Orde Baru 
dan era Orde Reformasi. 

      Karena itu, pengelompokan basis ideologi partai politik di Indonesia 
sejak tahun 1945-1961 terdiri dari ; komunisme, sosialisme-demokrat, Islam, 
nasionalisme radikal dan tradisionalisme Jawa. Lima aliran politik yang nyata 
dalam masyarakat Indonesia pada masa itu, merupakan basis dan polarisasi 
ideologi, yang berasal dari dua sumber utama pemikiran politik di Indonesia, 
yakni; tradisi lokal dan pengaruh pikiran barat. Pengelompokan basis ideologi 
partai politik tersebut, diperkenalkan oleh Herbert Feith (1970) dan Lance 
Castles (1970) melalui karyanya "Indonesian Political Thinking". 

      Kemudian, pengelompokan basis ideologi partai politik di Indonesia sejak 
tahun 1973-1998, terdiri dari; Golongan Nasionalis, Golongan Sprituil dan 
Golongan Karya. Pengelompokan basis ideologi partai politik tersebut, merupakan 
pengelompokan basis ideologi partai politik yang lahir dari gagasan Presiden 
Suharto (1970), dalam rangka penyederhanaan partai politik, yang dilakukan bagi 
upaya penciptaan stabilitas politik, guna memuluskan jalan bagi pelaksanaan 
pembangunan nasional saat itu. 

      Selanjutnya, pengelompokan basis ideologi partai politik di Indonesia 
sejak tahun 1998-sekarang, terdiri dari dua pengelompokan besar yakni; aliran 
dan kelas. Pengelompokan basis ideologi partai politik tersebut, diperkenalkan 
oleh Daniel Dhakidae (1999). Menurutnya, partai politik yang mengambil jalur 
aliran membedakan dirinya berdasarkan pandangannya terhadap dunia dan 
persoalannya dan bagaimana cara memecahkannya, disini jalur agama dan 
kebudayaan menjadi pilihannya. 

      Sedangkan partai politik yang mengambil jalur kelas membedakan dirinya 
dari yang lain, berdasarkan pandangannya terhadap modal, yang pada akhirnya 
membagi masyarakat atas kelas pemodal, dan kaum buruh dengan segala 
kompleksitasnya. Sumbu horisontal, memunculkan dua kutub berdasarkan kelas 
yaitu ; developmentalisme di satu pihak, yang terepresentasi oleh Partai 
Golkar, dan sosialisme radikal dipihak lain, yang terepresentasi oleh Partai 
Rakyat Demokratik (PRD). 

      Di era reformasi, partai politik yang mengambil jalur kelas 
(radikal/terbuka), sebagai basis perjuangannya dalam pentas politik nasional, 
selalu tampil dalam tiga kali pemilu yang diselengarakan. Dimana pada Pemilu 
1999 partai-partai politik tersebut, antara lain ; Partai Rakyat Demokratik 
(PRD), Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPSI), Partai Solidaritas 
Pekerja (PSP), Partai Indonesia Baru (PIB) dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak 
(Murba). 

      Pada Pemilu 2004 partai politik yang mengambil jalur kelas, yakni; Partai 
Buruh Sosial Demokrat (PBSD) dan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB). 
Sedangkan pada Pemilu 2009 partai politik yang mengambil jalur kelas, yakni ; 
Partai Buruh (PB) dan Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB). Baik pada Pemilu 
2004 dan Pemilu 2009, jumlah partai politik yang mengambil jalur kelas sebagai 
basis perjuangan politiknya, mengalami devisit dibandingkan dengan Pemilu 1999, 
yang relatif lebih banyak jumlahnya. 

      Sementara itu, posisi pengelompokan basis ideologi dari Partai Pengusaha 
dan Pekerja Indonesia (PPI), yang tampil sebagai kontestan Pemilu 2009, berada 
pada dua jalur, yakni; develomentalisme dan kelas. Pasalnya partai politik ini 
bukan saja menampilakan dirinya sebagai partai politik, yang memperjuangkan 
aspirasi politik bagi para pengusaha, tapi juga menampilakan dirinya sebagai 
partai politik, yang memperjuangkan aspirasi politik bagi para pekerja. 
Sehingga partai ini adalah mix dari pengelompokan basis ideologi 
develomentalisme dan kelas. 

      Pada umumnya segementasi wilayah garapan pemilih dari partai-partai 
politik yang mengambil jalur kelas adalah para pekerja yang terdiri dari ; 
buruh, petani, pedagang dan nelayan. Baik itu yang mendiami wilayah perkotaan 
dan pedesaan. Sehingga isu-isu program kampanye yang sering dikampanyekan 
partai-partai politik ini dalam tiap-kali pemilu, adalah peningkatan upah 
buruh, penyediaan pupuk murah, pemberian kredit berbunga kecil. Inti dari 
isu-isu program kampanye tersebut, bermuara pada peningkatan taraf hidup rakyat 
kecil.

      Isu-isu program kampanye dari partai-partai politik ini, digunakan untuk 
menarik pemilih dari kelas bawah dalam pemilu. Dimana diharapkan akan memiliki 
pengaruh signifikan terhadap preferensi politik para pemilih kelas bawah, untuk 
kemudian memilih caleg-caleg dari partai-partai politik, yang memperjuangkan 
aspirasi pemilih kelas bawah tersebut dalam pemilu. Sehingga tatkala 
caleg-caleg tersebut terpilih, dan duduk sebagai wakil rakyat, mereka akan 
memperjuangkan aspirasi politik pemilih kelas bawah dilevel parlemen.

      Memperjuangkan aspirasi politik para pemilih kelas bawah di level 
parlemen, adalah wujud nyata akuntabilitas politik dari partai-partai politik 
yang mengambil jalur kelas sebagai basis perjuangan politiknya, terhadap para 
pemilih kelas bawah, yang telah memilih mereka dalam pemilu. Hal ini merupakan 
esensi penting, dari kehadiran partai-partai politik tersebut, untuk 
memperjuangkan kepentingan rakyat kecil di ranah politik.

      Meskipun demikian, partai-partai politik yang mengambil jalur kelas, 
dalam Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 yang diselenggarakan di era Reformasi, tidak 
pernah mengalami sukses layaknya partai-partai pendatang baru dalam dua kali 
pemilu tersebut. Sebab, perolehan suara dari partai-partai politik ini tidak 
maksimal. Dimana, tidak sebesar jumlah pemilih dari segmentasi wilayah garapan 
mereka, yang terdiri dari para buruh, petani, pedagang dan nelayan yang 
merupakan pemilih terbesar di tanah air. Hal ini dikarenakan ;

      Pertama, fusi partai politik yang dilakukan rezim Orde Baru menjelang 
Pemilu 1977, memiliki dampak terhadap beralihnya preferensi politik pemilih, 
dari partai politik yang mengusung idiologi sosialisme-demokrat di era Orde 
Lama, kepada Partai Golkar dan PDI. Beralihnya pilihan politik pemilih ini, 
berdampak terhadap menjauhnya preferensi politik pemilih, dari partai politik 
yang mengusung ideologi sosial-demokrat di era Orde Lama, terhadap partai 
politik yang mengambil jalur kelas, dalam pemilu post rezim Suharto.

      Kedua, adanya sterotip dari rezim Orde Baru kepada pemilih yang 
berafiliasi ke partai politik, yang memiliki ideologi sosialisme-demokrat di 
era Orde Lama, dengan faham Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Sehingga para 
pemilih tersebut, terpaksa memilih Partai Golkar dan PDI, sebagai bentuk 
personal security dari represi rezim Soeharto. Dampak preferensi politik itu, 
masih terasa hingga kini dimana para pemilih sosialisme-demokrat, lebih memilih 
Partai Golkar dan PDIP, daripada memilih partai-partai politik, yang mengambil 
jalur kelas, dalam dua kali pemilu pasca Orde Baru.

      Ketiga, segementasi wilayah garapan pemilih kelas bawah, yang terdiri 
dari para buruh, petani, pedagang dan nelayan, dari pemilu ke pemilu bukan saja 
telah menjadi segmentasi wilayah garapan dari Partai Golkar dan PDIP. Namun 
juga PKB dan PPP, dimana oleh keempat partai politik ini, sudah dijadikan 
pemilih "pelanggan tetap" mereka dari pemilu ke pemilu. Sehinggga menjadi 
problem tersendiri, bagi partai politik yang mengambil jalur kelas, untuk 
mendulang suara dari segmentasi-segmentasi pemilih tersebut. 

      Keempat, kemungkinan besar partai-partai politik yang mengambil jalur 
kelas tersebut, gagal dalam menerjemahkan aspirasi politik para pemilih kelas 
bawah, terkait dengan program kerja rill sekaligus populis, yang bisa diterima 
para pemilih kelas bawah. Faktor ini tentu memiliki korelasi yang signifikan, 
dengan preferensi politik pemilih kelas bawah, untuk enggan memilih 
partai-partai politik yang mengambil jalur kelas, selama dua kali pemilu yang 
diselenggarakan di era post rezim Suharto. 

      *) Magister Ilmu Politik, Staf Dosen Program Study Ilmu Pemerintahan 
Fisip Unpatti  

Kirim email ke