--- In forum_lingkarp...@yahoogroups.com, "ahmad ade" <ahmad...@...>
wrote:


PILAR-PILAR ASASI



Pengarang        : Rahmat Abdullah

Penerbit            : Tarbawi Press

Tebal/ukuran    : 136 hm/20 cm

Edisi                 : Cetakan I, September 2005



"Adalah perintah istiqamah yang membuat Rasulullah saw beruban. Ia
adalah gerak yang tak kenal henti. Ia adalah keteguhan yang tak kenal
menyerah. Ia adalah bukti kejujuran pengakuan siapa pun yang mengaku
bertuhan Allah"

(Rahmat Abdullah dalam Istiqamah halaman 73)



Penggalan di atas adalah salah satu bagian yang paling saya sukai dari
dua puluh dua judul tulisan dalam buku Pilar-Pilar Asasi karya Syaikhut
Tarbiyah Rahmat Abdullah rahimahullah. Buku ini adalah kumpulan
tulisannya selama mengasuh kolom Assasiyat di Majalah Tarbawi. Dan
karena terpesona dengan kolom inilah, dahulu saya memutuskan untuk
berlangganan majalah ini selama beberapa tahun.



Adapun judul yang membuat saya jatuh hati kepada beliau adalah
tulisannya yang berjudul "Dialog Imajiner Antar Aktor Sejarah.
Bandung-Washington-Gazza" yang terdapat pada Tarbawi edisi sekitar
tahun 2001 yang ternyata juga dimuat pada bagian ke sepuluh dari buku
ini.



Buku ini terdiri dari dua puluh dua tulisan beliau yang pernah dimuat di
Majalah Tarbawi selama enam tahun kebersamaannya di majalah tersebut.
Selain buku ini, buku lainnya yang juga merupakan kumpulan tulisannya
dari majalah yang sama adalah Untukmu Kader Dakwah yang diterbitkan oleh
penerbit Dakwatuna yang merupakan intisari sepuluh Rukun Baiat dari
Risalah Ta'alim Hasan Al Banna.



Adapun, mengapa Tarbawi merasa perlu untuk mengumpulkan tulisannya
menjadi sebuah buku berjudul Pilar-Pilar Asasi, yang diterbitkan oleh
penerbit Tarbawi Press, adalah bahwa, "Misi utama dari semua ini
adalah pewarisan. Bagaimanapun kami berupaya menjembatani proses
pewarisan itu" paska wafatnya beliau pada tanggal 14 Juni 2005 lalu.
Sebuah misi yang, "..lebih sulit dari menangisi kepergiannya".



Pilar-Pilar Asasi dimulai dengan sebuah tulisan yang berjudul
"Bersama Al Haq dan Ahlul Haq" dan diakhiri dengan tulisannya
yang berjudul "Gerak dan Berkah". Dalam bagian pembuka, Ustadz
Rahmat, begitu beliau biasa dipanggil, ingin menyampaikan bahwa
kebenaran akan tegak tidak hanya melalui kebenaran itu sendiri. Namun
kebenaran akan benar-benar tegak jika ada kebersamaan yang lahir karena
membenarkan kebenaran tersebut. Demikianlah ujar beliau saat
mengomentari surat Al Hujurat ayat 7 tentang  pentingnya merasai
kebersamaan Rasulullah sebagai sumber dari kebenaran itu di sekitar
kita. Dia berkata, "Dalam makna apapun, ikut menikmati
kebersamaannya bersama para sahabat, yang kepadanya ayat ini pertama
kali diturunkan, menjadi kebahagiaan dan kekuatan dalam mengarungi
kehidupan. Bagaimana mungkin hati ummat dan kadernya di ujung zaman
menjadi kerontang, sementara dalam azan selalu disebut namanya sesudah
nama-Nya". Penjelasannya ini dilengkapi dengan sebuah syair
Naqsyabandi yang berbunyi:



Siapa yang terluput melihat Al-Mukhtar (Rasulullah pilihan)

Lihatlah peninggalannya: Al Quran dan Sunnah yang besar



Di sinilah letak kelebihan dari buku ini. Ustadz Rahmat benar-benar
mampu meracik sebuah ramuan yang terdiri dari serat-serat sejarah dan
memilinnya dalam bingkai kekinian yang tidak latah dan salah arah, untuk
kemudian menghadirkan jalinan hikmah yang elok nan rupawan dan penuh
dengan shibghoh keyakinan. Ini bisa kita lihat saat beliau mengomentari
arus kebangkitan islam melalui bait keyakinannya yang seolah
`meramalkan' bahwa "Lihatlah 5 tahun ke depan, dari setiap
gang Jakarta dan seantero Indonesia akan berhamburan ukhti-ukhti yang
anggun, cerdas, dan berdaya dengan jilbab kebangkitan. Dan itu bukan
ansich kebangkitan kaum perempuan, melainkan kelahiran sebuah generasi.
`Bila Allah menghendaki sesuatu, tiada satupun yang mampu
menolaknya' (QC 10:107, 35:2)" (Cucu Mushala halaman 84).



Yang membuat saya tertarik dari gaya tulisan Ustadz Rahmat adalah karena
muatannya yang sangat kaya dengan nilai-nilai keyakinan dan kecintaan
kepada dakwah yang diperjuangkannya sejak masa mudanya. Di sela-sela
kesibukannya sebagai anggota dewan dari Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera, beliau yang juga Ketua Yayasan Islamic Center Iqro Bekasi ini
telah mewarnai gerak para aktivis dakwah dengan taujihnya yang menggugah
dan mengubah selama sekian dekade.



Selain itu, melahap buku ini benar-benar merangsang saya untuk membuka
kembali berbagai catatan dan bacaan yang pernah saya dapatkan dari
perjalanan dakwah ini. Saat beliau menjelaskan tentang kisah Imam Ahmad
dalam judul Istirahat, atau ketika beliau mendongeng sebuah fabel
tentang kucing dan tikus dalam judul Amsal, dan juga saat beliau
`mempreteli' fenomena kebanggaan semu dalam bertarbiyah ketika
mengomentari bahwa,"Mungkin ia sudah merasa jadi Nabi Sulaiman yang
menyuruh Bilqis datang menghadap dan menyerahkan diri kepada Allah"
(Tarbi Mania halaman 108).



Sedangkan di bagian lain, yakni di bagian yang berjudul Surat Dari
Penjara, Ustadz Rahmat tampak ingin menumpahkan kegalauan hatinya
tentang kelakuan anak bangsanya yang dinilainya sudah mulai kering
dengan nilai-nilai kebajikan. Solilokui itu seolah ingin berpesan kepada
anak cucu setelah generasinya agar mereka mampu mengambil nilai
keteladanan yang banyak terserak dalam taman sejarah islam yang harum
semerbak.



Di bagian yang berjudul Surat Dari Negeri Cahaya, seolah menampakkan
impian yang berurat-akar dalam diri seorang Ustadz Rahmat. Di situ
digambarkan betapa beliau benar-benar memimpikan sebuah negeri yang
ideal. Negeri yang,"Orang-orangnya dengan berbagai disiplin ilmu dan
profesi sangat mementingkan keikhlasan dan profesionalisme dalam
bekerja. Kejernihan tauhid telah membuat mereka tak tergiur melakukan
kerja apapun yang tak menjamin ridha Allah." Dan juga, lanjutnya,
negeri yang masyarakatnya digambarkan sebagai, "..bukan malaikat
atau nabi dan tak punya jaminan ma'shum. Tetapi setiap klaim yang
tidak memenuhi muwashofat tersebut adalah lancung kepalsuan, apakah
namanya tazkiah, sufiah, salafiyah, ashalah, tarbiyah, atau apapun
lainnya" (Surat Dari Negeri Cahaya halaman 126-128)



Demikianlah, buku ini telah `menyerang' secara general (mungkin)
hampir ke seluruh sendi kehidupan dan kebutuhan saya sebagai seorang
muslim. Baik dari segi, -tentu saja-, keindonesiaan, aqidah, fiqih,
rumah tangga, bahkan tata bumi dan sastra. Karena selain piawai dalam
sepak terjang dunia `perdakwahan', ternyata Ustadz Rahmat juga
piawai dalam menyitir beberapa karya seni baik kisah roman, dongeng,
bahkan puisi, untuk dirangkaikannya dengan wisata intelektualitasnya,
menjadi sebuah ramuan yang sedap dan menyegarkan.



Namun buku ini bukan tanpa kelemahan. Saya mengakui bahwa gaya bahasa
Ustadz Rahmat yang terlalu berat, terlalu nyeni, dan tak jarang
menggunakan kalimat konotatif benar-benar telah memeras otak saya untuk
bekerja sedemikian keras demi menafsirkan maksud dari tulisannya
tersebut. Tak jarang saya sampai harus bertanya kepada beberapa ustadz
ataupun mereferensikannya ke beberapa kitab yang saya anggap kapabel
dalam menafsirkan keburaman tersebut. Selain itu, satu hal lainnya yang
menurut saya 'cukup' mengganggu adalah 'kelalaian'
penerbit untuk mencantumkan sumber tulisan yang dimuat dalam buku ini.
Maksud saya, tulisan tersebut diambil dari Tarbawi edisi berapa dan
tahun berapa. Setidaknya itu bisa membantu saya (khususnya) untuk
mencari kembali koleksi majalah yang saya miliki untuk kemudian saya
reguk kenangan yang saya telah lalui ketika membacanya.



Akan tetapi kekurangan itu tidak mengurungkan kecintaan saya kepada buku
ini, yang bahkan sudah saya masukkan ke dalam daftar "Buku Wajib
Bawa" yang harus saya ikutkan dalam setiap perjalanan panjang saya.
Selain itu, buku ini sangatlah tepat dijadikan sebagai salah satu
referensi utama dalam menjabarkan manhaj dakwah ini dalam bingkai
kekinian dan juga keindonesiaan. Dan sebagai penutup, izinkanlah saya
mengutip satu lagi tulisan beliau dalam buku yang berharga ini.



"Ajaib. Banyak orang yang menutup mata terhadap kondisi umat yang
sangat memprihatinkan, lalu dengan style yakin menggunjingi, memfitnah
dan menjegal sesama." (Rahmat Abdullah dalam Minna dan Laisa Minna
halaman 118)



Wallahu a'lam

Sumber : http://newgie68.multiply.com/journal/item/9/Pilar-Pilar_Asasi
<http://newgie68.multiply.com/journal/item/9/Pilar-Pilar_Asasi>



[Non-text portions of this message have been removed]

--- End forwarded message ---


Kirim email ke