==================================================== 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia."  
==================================================== 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 

 

 
 
                                                                                
KARTONO RYADI
William Liddle
DEMOKRASI
Saat Ini Merupakan Era Politik Ketokohan
Selasa, 7 Juli 2009 | 03:35 WIB
Jakarta, Kompas - Pemilu legislatif 9 April 2009 telah lewat, pemilu presiden 8 
Juli 2009 tinggal sehari lagi. Berbeda dengan pemilu pada zaman Orde Lama dan 
Orde Baru, saat ini panggung politik tak lagi dimeriahkan pertarungan ideologi 
atau aliran. Pertarungan dalam pemilu lebih banyak diwarnai pencitraan dan 
jualan pesona para tokoh populer.
Apa sebenarnya yang terjadi di balik pergeseran peta politik itu? R William 
Liddle, Indonesianis dan profesor ilmu politik Ohio State University, Columbus, 
Ohio, AS, menjawab beberapa pertanyaan Kompas melalui surat elektronik beberapa 
waktu lalu.
Bagaimana sesungguhnya gambaran politik aliran yang mewarnai peta politik 
Indonesia sejak Orde Lama dan Orde Baru?
Mulai sekarang, kita perlu memikirkan kembali sejarah politik aliran di 
Indonesia. Sebelum 1999, masyarakat Indonesia hanya diberi satu kesempatan 
untuk menyatakan secara bebas pilihan politiknya, yaitu pada Pemilu 1955. 
Gambaran aliran, khususnya empat partai yang mewakili kaum santri modernis 
(Masyumi), santri tradisional (Nahdlatul Ulama), priayi (PNI), dan abangan 
(PKI) terbentuk pada waktu itu. Dasar analitisnya bagi ilmuwan politik seperti 
saya adalah penelitian antropolog tersohor almarhum Clifford Geertz di Pare.
Kalau dilihat dari perspektif masa kini, semakin jelas bahwa gambaran itu hanya 
merupakan sebuah potret ataupun snapshot yang diambil pada momen itu. 
Sayangnya, para pengamat, dalam dan luar negeri, termasuk saya, berpegang lama 
sekali kepada snapshot itu. Tentu kami dibantu oleh penguasa pada dua masa 
berikut, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Misalnya, Presiden Soeharto 
menciptakan sistem dua partai, PPP (gabungan partai-partai santri) dan PDI 
(gabungan partai-partai abangan dan non-Islam) atas dasar penggambaran aliran 
1950-an. Seakan-akan memang begitulah realitas partisan para pemilih Orba.
Pertanyaan saya sekarang, seandainya ada pemilu demokratis pada 1960, 1965, dan 
seterusnya, tentu dalam rangka penerusan demokrasi konstitusional (istilah Herb 
Feith almarhum) tahun 1950-an, apakah PNI, Masyumi, NU, dan PKI akan bertahan 
kira-kira pada persentasi-persentasi 1955? Menurut ramalan hipotesis aliran, 
memang harus begitu. Sebab, empat partai itu dianggap mewakili 
kekuatan-kekuatan politik yang besar dan berakar, khususnya di Jawa.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tentu memerlukan penelitian baru tentang 
partai-partai 1950-an.
Pokoknya jangan melihat sistem pola kepartaian tahun 1955 sebagai sesuatu yang 
abadi, apalagi sesuatu yang ideal karena mencerminkan perbedaan ideologis.
2. Bagaimana perkembangan dan peran politik aliran itu pada zaman Orde 
Reformasi saat ini?
 Yang paling menentukan pada zaman Orde Reformasi adalah peran tokoh. PDI-P 
memperoleh 34 persen dari semua suara pada Pemilu 1999 karena Megawati 
Soekarnoputri didukung oleh para pemilih yang melihat dan menyetujui 
perlawanannya yang berani secara bertanggung jawab terhadap pemerintahan 
Soeharto sejak awal 1990-an.
Keberhasilan Partai Demokrat dalam dua pemilu tak terpisahkan dari popularitas 
tokoh Susilo Bambang Yudhoyono. Begitu juga dengan PAN (Amien Rais, meski tidak 
di depan lagi) dan PKB (Abdurrahman Wahid). Munculnya Gerindra dan Hanura pada 
Pemilu 2009 berhubungan dengan popularitas Prabowo Subianto dan Wiranto.
Faktor kedua yang menjelaskan hasil pemilu-pemilu Orde Reformasi adalah 
organisasi. Golkar dan PKS boleh membanggakan organisasi partai yang paling 
modern dan teratur, sementara PKB dan PAN (juga PPP pada awalnya) dibangun atas 
dasar dua organisasi agama yang terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah. 
Faktor ketiga adalah keterampilan berkampanye. Partai Demokrat dan Gerindra 
betul-betul memanfaatkan keterampilan berkampanye, khususnya lewat iklan TV.
Tentu semua faktor ini tak terpisahkan dari uang yang diperlukan dalam jumlah 
yang sangat besar untuk membangun sebuah partai dan mengadakan kampanye 
nasional setiap lima tahun.
Partai-partai Islam memang semakin melemah karena yang diinginkan masyarakat 
Indonesia bukanlah presiden dan MPR yang mau ”mensyariahkan” Indonesia, 
melainkan yang mau membuat masyarakat Indonesia lebih makmur, adil, dan aman.
Para pemimpin PKS membuktikannya ketika mereka belajar dari pengalaman buruk 
1999 tatkala mereka gagal mendapatkan dukungan luas. Tema kampanye non-agama 
yang menjanjikan pemerintahan yang ”bersih” dan ”peduli” lebih masuk di lubuk 
hati pemilih 2004.
Adakah proses demokratisasi di Indonesia membuat suasana politik semakin 
terbuka dan penuh pencitraan sehingga akhirnya memunculkan sosok-sosok anggota 
legislatif yang mudah dijual karena punya citra bagus?
Terlalu awal untuk menyimpulkan begitu. Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 
Desember lalu mengejutkan semua pemain, termasuk pemimpin partai dan para 
calon. Tentu mereka mencoba sejauh kemampuan mereka dalam waktu yang amat 
singkat untuk memanfaatkan keadaan baru (bagi calon selebriti) atau 
menyelamatkan diri dan organisasi (bagi pemimpin partai nasional) dari bencana 
kekalahan.
Bagi saya, keputusan MK dan dampaknya pada badan-badan legislatif merupakan 
sebuah kesempatan emas bagi bangsa Indonesia untuk merumuskan kembali peran 
partai sebagai organisasi dan politisi sebagai pemain individu dalam sistem 
politik Indonesia.
Indonesia sedang menciptakan sebuah sistem politik yang memberikan peran besar 
kepada politisi sebagai individu. Hal ini berbeda sekali dengan Orde Lama 
ketika partai dan pemimpin partai memainkan peran yang jauh lebih besar.
Kalau Anda menginginkan sistem kepartaian yang lebih kuat, ada langkah-langkah 
institusional, misalnya yang menyangkut undang-undang kepartaian dan pemilihan 
umum, yang bisa ditempuh. Kalau boleh saya usulkan, tahun depan, setelah 
presiden dan MPR baru dilantik serta jauh sebelum Pemilu 2014, adalah waktu 
yang baik untuk mengadakan sebuah diskusi nasional tentang peran partai dan 
sistem kepartaian yang diharapkan atau ideal buat Indonesia.
Bagaimana masa depan demokrasi di Indonesia dengan politik pencitraan semacam 
itu?
Pertama, pilihan kebijakan ekonomi yang tepat yang diperlukan untuk menghadapi 
tantangan-tantangan globalisasi masa kini. Kebijakan tersebut perlu bersifat 
pragmatis, bukan ideologis, kalau yang dimaksudkan dengan ideologi adalah 
pertentangan antara kutub-kutub populisme ala Hugo Chavez dan apa yang 
disebutkan (dituduhkan) sebagai neoliberalisme yang tidak memberikan peran 
kepada negara, hanya kepada pasar.
Perdebatan itu sudah lama steril. Ikutilah perdebatan yang sedang terjadi di 
Amerika, tempat yang dipersoalkan bukan peran negara sebagai lawan, melainkan 
sebagai teman pasar. Jangan takut kepada pasar yang memang merupakan sumber 
utama pertumbuhan dan oleh karena itu sumber utama distribusi yang lebih 
merata. Tanpa pertumbuhan, tidak ada pendapatan, dan tidak ada pajak yang bisa 
dipakai untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Jangan takut pula kepada luar negeri karena luar negeri itu tidak terdiri dari 
negara-negara imperialis yang ingin mengepung dan menguasai Indonesia, 
melainkan dari negara-negara yang juga ingin maju dan bisa diajak bekerja sama 
kalau Anda punya kebijakan-kebijakan yang tepat dan keterampilan diplomatis.
Kedua, setidak-tidaknya untuk sementara, katakanlah lima tahun ke depan, pusat 
pembuatan kebijakan ekonomi sebaiknya berada di bidang eksekutif, tepatnya di 
tangan presiden, bukan di legislatif yang memang selama ini kurang berfungsi.
Siapa saja yang dipilih sebagai presiden untuk masa jabatan 2009-2014 akan 
memerlukan dua hal: masukan tentang kebijakan ekonomi dalam bentuk informasi 
dan saran serta hubungan yang damai dengan DPR. Hal yang pertama bisa diperoleh 
dengan agak gampang dari para ekonom profesional. Hal yang kedua lebih sulit 
dan mungkin baru bisa dibicarakan secara serius setelah kita tahu siapa yang 
menjadi presiden terpilih. [Ilham Khoiri – Kompas]
-------
"Diaduk DPT”
Bila kita melakukan perjalanan laut menggunakan kapal TNI AL Freegat 1980-an 
menuju kepulauan Karimun Jawa, diperlukan waktu kurang lebih 6-7 jam, 
perjalanan yang cukup lama sehingga memerlukan stamina dan kesabaran. Keadaan 
ini akan menjadi kurang nyaman bila tiba-tiba muncul Dorongan Penghembusan 
Topan (DPT) angin laut kencang dan tingginya ombak. Perasaan menjadi tidak 
enak, perut mual-mual, bahkan pikiran kita seperti diaduk-aduk. Meskipun 
perjalanan tinggal dua atau tiga jam sampai pelabuhan pantai tujuan, namun kita 
seperti dihinggapi perasaan tidak nyaman, mual-mual karena diaduk-aduk oleh DPT 
yang sangat mengganggu moral dan stamina. 
Untung saja DPT segera teratasi, sehingga sisa perjalanan lautan demokrasi 
Indonesia seperti mendapat dorongan hembusan angin laut spoi-spoi… dari MK yang 
lebih sejuk dan menyegarkan. 
Bagaimana dengan pemilu presiden saat ini? Rupanya mirip bahkan persis dengan 
perjalanan di atas….walaupun toch nantinya akan terus disempurnakan – terutama 
bagi yang sedang bepergian di lain kota agar tetap bisa ikut memilih. 
KPU, KPPS dan Panwas silakan menyajikannya dalam paket spesial; langsung, umum, 
bebas dan rahasia, sehingga pilpres kali ini dapat berjalan lancar, aman dan 
damai. 
“Selamat datang pemimpin Indonesia baru 2009-2014 …”  
“Teladan dan harapan rakyat menjadi tumpuan….”  
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat!  
Best Regards, 
Retno Kintoko 
 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke