====================================================== 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia."  
====================================================== 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Mensyukuri Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
ANALISIS POLITIK
Kebebasan dan Ketakutan
Selasa, 21 Juli 2009 | 02:58 WIB
Oleh : Yudi Latif
Fenomena paling sublim, yang paling digandrungi zaman modern, adalah kebebasan. 
Masalahnya, seperti kata Terry Eagleton, ”kebebasan itu sendiri menyerupai 
Dionysus dengan penampakan ganda: malaikat dan iblis, kecantikan dan teror.”
Dalam mitologi Yunani, Dionysus adalah dewa anggur, susu, dan madu, sekaligus 
juga dewa darah. Seperti ekses alkohol, ia menghangatkan darah dengan efek yang 
mengerikan. Apa yang bisa membawa spontanitas dan kegembiraan bisa juga 
menimbulkan kehilangakalan dan kebrutalan. Demikianlah, jika ada yang ”suci” 
dari kebebasan, hal itu bukan semata-mata karena ia berharga, melainkan juga 
karena kemampuannya untuk menciptakan sekaligus menghancurkan.
Jika kebebasan itu dikaitkan dengan kesucian (sacred), kewajahgandaannya saling 
melengkapi, karena kata sacre itu sendiri bisa berarti karunia atau kutukan, 
suci atau cercaan. Dalam peradaban purba memang terdapat afinitas yang kuat 
antara teror dan kesucian karena fungsi gandanya: kreatif dan destruktif, 
pemberi kehidupan dan kematian.
Afinitas antara teror dan kesucian tampaknya merupakan sesuatu yang irelevan 
dalam konteks terorisme hari ini. Di mana letak sucinya suatu tindakan biadab 
yang mengorbankan orang-orang tak berdosa? Akan tetapi, kita tidak akan bisa 
memahami terorisme sepenuhnya tanpa mengaitkannya dengan kewajahgandaan tadi. 
Bahwa teror bermula sebagai ide keagamaan; adapun agama tidak lain dan tidak 
bukan menyangkut kekuatan yang ambivalen: menakjubkan (enrapture) dan 
menghancurkan (annihilate).
Sebagai ide politik, kebebasan dan terorisme modern muncul menguat bersamaan 
dengan Revolusi Perancis. Pada masa ini, bukan saja liberty didengungkan, 
tetapi juga terorisme mengemuka pada era Danton dan Robespierre sebagai 
terorisme negara. Dengan kata lain, terorisme dan negara demokratis dilahirkan 
secara kembar.
Pada zaman Revolusi Perancis, kebebasan demokratis dan terorisme itu hadir 
dalam suatu zeitgeist yang menistakan agama. Pada masa kini, khususnya di Tanah 
Air, kebebasan dan terorisme itu muncul dalam suatu era revivalisme keagamaan. 
Dalam semangat zaman ini, ancaman bagi Indonesia sebagai negara demokratis ke 
depan adalah persenyawaan antara sisi destruktif kebebasan, kesucian dan 
keagamaan yang mewujud dalam bentuk terorisme (negara dan partikelir).
Itulah sebabnya, kebebasan dan kesucian keagamaan perlu dijaga. Kebebasan perlu 
dijaga dengan tanggung jawab pada yang lain melalui kesetiaan pada konsensus 
aturan permainan. Hendaklah disadari, demokrasi adalah proses penyempurnaan 
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara secara taat konstitusi, taat hukum, 
dan taat hak asasi, yang diselenggarakan menurut prinsip keadilan, kesetaraan, 
kemasukakalan, keterbukaan, dan pertanggungjawaban.
Untuk mencegah penggunaan kebebasan untuk tujuan destruktif, warga negara tidak 
boleh membiarkan dan melupakan setiap pelanggaran dan pemanipulasian prinsip 
demokrasi. Setiap pembiaran atas pelanggaran akan memberi peluang bagi 
penyalahgunaan yang lebih besar. Setiap asupan yang salah ke dalam proses 
berdemokrasi akan melahirkan keluaran yang kisruh dalam kehidupan bernegara. 
Suatu demokrasi yang memberi ruang bagi kecurangan akan menjelma menjadi tirani 
dan anarki.
Dalam watak tiranik dan anarkik, yang ditimbulkan oleh hilangnya kepercayaan 
pada konsensus bersama, orang akan mencari jangkar kepercayaan baru dengan 
menasbihkan jalan eksklusivisme — yang sesungguhnya profan — sebagai sesuatu 
yang suci. Inilah awal klaim kesucian untuk mengemban tugas penghancuran 
sebagai cara memulihkan tertib sosial.
Suatu klaim atas kesucian memerlukan legitimasi keagamaan. Politisasi agama 
dilakukan dengan mengeksploitasi sisi eksklusif dan destruktifnya. Nama Tuhan 
diseru sebagai tanda kebencian dan kebengisan.
Dalam pada itu, perjuangan agamawan tercerahkan untuk mengimbanginya dengan 
menampilkan sisi konstruktif kesucian kurang ampuh karena wajah Tuhan yang 
Pengasih dan Penyayang sulit menemukan ruang penampakan diri dalam dunia 
politik yang dipenuhi krisis, kecurangan, dan ketidakadilan. Seperti kata 
Dieter Senghaas, perubahan sosial dan demokrasi dalam pendalaman krisis dan 
ketidakadilan bukanlah prakondisi yang menunjang bagi apresiasi terhadap 
nilai-nilai toleransi dan kemajemukan.
Bom terorisme kembali mengguncang sekarang dan di sini. Namun, akar tunjangnya 
tertanam jauh di kesilaman. Ia adalah anak kandung represi, ketidakadilan, dan 
kecurangan politik yang giat kita kembangkan dalam sejarah negeri dan dunia.
Oleh karena itu, betapapun amarah dan kutukan sepantasnya kita lontarkan kepada 
para teroris, sedikit pun tak boleh meredupkan semangat kita untuk mengkritik, 
mengoreksi, dan melawan berbagai bentuk kecurangan dan ketidakadilan dalam 
berdemokrasi. Apalagi jika terdapat indikasi kembalinya terorisme negara untuk 
memberangus kritisisme.
Kemenangan belum bisa dirayakan sebelum pelanggaran dibereskan. Hanya di atas 
jalur yang benar, kemenangan kontestasi menjadi kemenangan demokrasi dan 
kebanggaan negeri. Hanya dengan memuliakan kebenaran, kebebasan, kesucian, dan 
keagamaan bisa membawa kebahagiaan bagi kehidupan bersama.  Yudi Latif, Kepala 
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia), Kompas, 21/7/09].
 
* * * * *
“Hanya di atas jalur yang benar,
kemenangan kontestasi menjadi kemenangan demokrasi
dan kebanggaan negeri.
Hanya dengan memuliakan kebenaran, kebebasan, kesucian,
dan keagamaan bisa membawa kebahagiaan bagi kehidupan bersama.”
* * * * *
-------
Kebebasan
Kebebasan bukanlah sesuatu yang menakutkan, bila diletakkan di atas bingkai 
aturan dan norma masyarakat, negara, bangsa dan etika dunia. Bahkan pencerahan 
dan kreativitas yang akan didapat, produktivitas pun akan berkembang. 
Kebebasan menjadi menakutkan ketika etika, moral dilanggar, mengabaikan hukum 
kehidupan, apalagi sampai bertindak brutal dan biadab. 
Kebanyakan orang akan menghindarinya, namun ada saja pihak yang justru 
‘menyakini’ dan memelihara kebiadaban sebagai jalan untuk kembali ke syuurrga!, 
katanya. 
Inilah tugas masyarakat dan negara untuk kembali berjuang dan menyadari apakah 
kebebasan berbangsa yang kita miliki sekarang sudah benar, sudah pantas, 
bertanggung jawab, memuliakan, menghidupkan dan atau bermanfaat bagi orang 
lain? Ataukah kebebasan kehidupan kita justru hanya berakhir untuk dan bagi 
sejumlah kematian yang sia-sia – seperti halnya peristiwa yang baru saja 
terjadi? Ataukah untuk dipersembahkan bagi generasi Indonesia yang baik dan 
maju di masa depan? Semua itu butuh pengorbanan, keikhlasan dan tindakkan nyata 
semua elemen bangsa Indonesia. 
 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
Mau mencoba? 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 
Mau mencoba ?




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke