===================== ============================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
===================== ============================ 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Memperingati Hari anti Korupsi 9 Desember 2009 dan Hari HAM 10 Desember 2009  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Republik Zonder Atap 
Oleh : Dominggus Elcid Li 
Presiden Yudhoyono memutuskan, konflik antaraparat terkait pemberian uang 
negara kepada Bank Century Rp 6,7 triliun diselesaikan di luar pengadilan 
(Kompas, 24/11/2009). 
Pada saat yang sama, proses hukum Nenek Minah tetap dijalankan (Kompas, 
20/11/2009). 
Pada sisi ini dapat dilihat, penegakan hukum bagi rakyat jelata menjadi 
keharusan, sedangkan bagi pejabat tinggi negara ada di ruang negosiasi. 
Padahal, Montesquieu dalam The Spirit of Laws (1977:71) menegaskan pentingnya 
prinsip kesetaraan dalam Republik. Menurut dia, demokrasi sirna jika 
”kesetaraan” antarwarga negara diingkari atau dijalankan dengan ekstrem. Ada 
dua kemungkinan mengapa demokrasi pupus, yaitu bergeser ke sistem monarki atau 
despotik. Dalam monarki, kehormatan bangsawan lebih tinggi daripada hukum dan 
hal memalukan sifatnya rahasia. 
Efek sistemik 
Penyelesaian di luar pengadilan yang ditawarkan Presiden dianggap sudah memadai 
oleh aparat negara yang terlibat meski dirasa tidak adil oleh publik. Jalur 
hukum yang buntu kini disiasati lewat jalur politik. Di jalur politik masalah 
hukum kembali ke ruang negosiasi. 
Logika matematika ini mungkin membantu. Jika hanya karena ”memetik” tiga buah 
kakao milik PT. Rumpun Sari Antan seharga Rp 2.000 (Suara Merdeka, 16/11/2009), 
Minah harus diadili, lalu mengapa pemberian Rp 9 miliar lebih kakao milik 
negara kepada Bank Century dianggap wajar? 
Pada era ini pemerintah amat dermawan terhadap usaha privat. Bagi ekonom 
pemerintah, efek sistemik diduga akan menimpa pelaku ekonomi papan atas, jauh 
lebih bernilai daripada usaha bertahan hidup rakyat jelata. 
Jadi standar ganda ini tidak hanya berlaku di bidang hukum, tetapi dalam 
kebijakan ekonomi. Efek sistemik yang dihitung ekonomi hanya ada dalam analisis 
finansial. Sementara efek sistemik yang diakibatkan liberalisasi pasar yang 
didesain para ekonom terhadap rakyat jelata luput dari perhitungan. Perdebatan 
tentang obyektivitas pengetahuan ada di sini. Di titik ini pengetahuan tidak 
bebas kepentingan. 
Kisah-kisah pertikaian antara warga negara dan perusahaan yang melibatkan 
aparat negara terjadi merata di Indonesia. Mulai dari Freeport di Papua hingga 
keringnya mata air akibat perusahaan tambang di Flores (Kompas, 25/11/2009). 
Sumbu masalahnya sama, tanah negara menjadi tanah perusahaan. Dalam hal Bank 
Century, uang negara menjadi uang perusahaan. 
Transisi ekonomi pasar 
Kondisi ketidakpastian hukum yang dialami Indonesia mirip dengan apa yang 
terjadi di Rusia dua dekade silam. Boris Yeltsin didampingi dua ekonom, Yegor 
Gaidar dan Anatoly Chubais, gencar menjalankan liberalisasi pasar tanpa kontrol 
negara. Desentralisasi dan privatisasi merupakan dua kata kunci. 
Padahal, dalam privatisasi, jaringan mafia turut beroperasi dalam pengalihan 
kepemilikan barang negara menjadi milik pribadi (Varese, 2001). Aparat negara 
yang menjadi bagian jaringan mafia ”melayani” segelintir orang yang ingin 
memperbesar aset. Proteksi yang diberikan oleh aparat negara dan mafia 
mengikuti penawar tertinggi. 
Wajar konflik tak hanya terjadi antarpelaku bisnis, tetapi melibatkan aparat 
negara sebagai backing. Pejabat yang menjadi pedagang proteksi disebut krysha 
(atap). Konflik di antara para ”atap” tidak diselesaikan di pengadilan. Konflik 
mereka diselesaikan di arbitrazh, forum di luar pengadilan yang menghadirkan 
”atap” yang dihormati (Varese, 2001). 
Di ruang citra, akibat arus balik pascaera fantasi kapitalisme versi Hollywood 
dapat dilihat pada Vladimir Putin yang disimbolkan sebagai pemimpin macho. 
Putin tak hanya bersalaman dengan Barack Obama, tetapi juga berurusan dengan 
oligarki dan jaringan mafia yang isinya termasuk para bekas agen KGB di era 
pasca-Uni Soviet. Di ruang terbuka ia berhadapan dengan zashchita, ”jaringan 
hitam profesional” yang terdiri dari pengacara, petugas humas, jurnalis, dan 
pemilik media (Glenny, 2009: 85). 
Negara dan era transisi 
Hingga kini, dalam percakapan di media, era reformasi Indonesia sering disebut 
era transisi. Setidaknya ada dua asumsi. Pertama, transisi menuju sistem 
demokrasi. Kedua, transisi menuju sistem ekonomi pasar. 
Periode era transisi ke ekonomi pasar seharusnya tak dijalankan serentak dan 
tanpa perhitungan. RRC pada periode Deng Xiaoping menjalankan ini secara 
bertahap, juga Rusia yang belajar dari anarki di era Yeltsin. Pasar sempurna 
adalah ilusi. Ini bisa dilihat bagaimana sekian negara Eropa dan AS bereaksi 
dalam menangani krisis ekonominya. 
Rakyat jelata yang ditawan VOC dan bangsawan lokal adalah kisah dua abad silam. 
Kini Minah dan kaumnya Republik ini adalah Republik zonder atap. [Dominggus 
Elcid LiCo-editor Jurnal Academia NTT; Mahasiswa PhD di Departemen Sosiologi, 
University of Birmingham, Kompas, 04/12/09] 
-------- 
Kepada siapa lagi negara ini bisa berharap, kalau bukan kepada rakyat dan para 
pemimpinnya? Gerakan Indonesia Bersih (GIB) bukanlah untuk pamer kekuatan, 
apalagi unjuk kekuasaan.... mereka hanyalah melanjutkan semangat juang, 
merealisasikan pidato dan janji-janji kepemimpinan dan keteladanan para 
pemegang moral bangsa, menjaganya dan menjunjung tinggi integritas negara – 
unjuk kedamaian di hari bersih dari korupsi, 9 Desember 2009, serta penegakan 
hak azazi manusia yang diperingati hari ini, 10 Desember 2009. Sebagai bentuk 
persembahan yang mendidik, baik dan berkualitas bagi masa depan bangsa. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke