============ ========= ========= ========= ========= = 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
============ ========= ========= ========= ========= = 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut TAHUN BARU 2010 dengan semangat kepastian Hukum. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Berhukum dengan Hukum yang Hidup
Selasa, 12 Januari 2010 | 02:42 WIB
Oleh : L Wilardjo 
Jumat 8/1/2010 pagi, Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH, MA wafat di Jakarta. Sabtu 
pagi, jenazah almarhum dibawa dari rumah duka untuk disemayamkan sebentar di 
auditorium kampus Pleburan, Undip, sebelum dimakamkan pagi itu juga. Kita telah 
kehilangan seorang pakar Sosiologi Hukum, pemerhati penegakan hukum, dan 
pembelajar Telaah Kepolisian. 
Kita tidak akan lagi membaca artikel-artikelnya yang ringkas-bernas dan 
mengungkapkan opini yang berani tentang penegakan hukum di Indonesia. Syukurlah 
bahwa redaksi Kompas dalam edisi 9/1/2010 telah dan berjanji akan masih memuat 
artikel-artikel Prof Satjipto Rahardjo secara pascamerta.
Tanggal 30/12/2009, Prof Dr Bambang Hidayat mengirimi saya komentarnya atas 
buku yang baru dibacanya. Buku itu ditulis Marieke Bloembergen, seorang dosen 
muda di Universitas Amsterdam, dan berisi perkembangan polisi di Hindia Belanda 
dulu dan Indonesia sampai sekarang. Buku Marieke terbit pada tahun 2009 ketika 
— dalam kata-kata Bambang Hidayat — ”citra polisi kita ... memburam karena 
ketiadaan etika (dan) pengayoman hukum, suatu hal yang selalu disinggung Pak 
Satjipto Rahardjo, Pak Bismar Siregar, dan Pak Sahetapy.”
Komentar Bambang Hidayat atas buku Marieke itu memang ditulisnya terutama untuk 
Prof Tjip (sebutan kolega dan mahasiswa Prof Satjipto Rahardjo kepada beliau di 
Undip). Mungkin Bambang Hidayat tidak tahu bahwa waktu itu Prof Tjip baru 
berulang tahun, genap berusia 79 tahun, dan sedang dirawat di rumah sakit di 
Jakarta. Barangkali Prof Tjip tidak sempat membaca ulasan Bambang Hidayat.
Tepat sekali bahwa komentar Bambang Hidayat itu dimaksudkan untuk Prof Tjip. 
Tahun lalu, saya bersama psikolog, Prof Dr Sarlito W Sarwono, dan kriminolog, 
Prof Dr Adrianus Meliala, menjadi satu panel dalam diskusi di PTIK. Apa yang 
saya kemukakan dalam diskusi panel itu saya berikan kepada Prof Tjip. Sore 
harinya beliau menelepon saya dan mengatakan bahwa pandangan saya tentang 
Telaah Kepolisian sejalan dengan pikiran beliau.
Rasa keadilan publik
Prof Tjip mendambakan bahwa, mulai suatu waktu kelak, kita di Indonesia 
berhukum dengan hukum yang hidup. Hukum yang ditafsirkan secara kaku dan 
harfiah, dipatok dengan pasal dan ayat kitab undang-undang yang dilaksanakan 
secara yuridis formal dan positivistik-legalistik, adalah ”hukum yang mati”. 
Hukum yang hidup ialah hukum yang selaras dengan detak jantung dan denyut nadi 
kehidupan masyarakat tempat hukum itu berlaku. Dengan kata lain, di-enforce 
secara kontekstual, dengan mempertimbangkan latar sosio-kultural masyarakat, 
dan mengedepankan rasa keadilan publik.
Paradigma Kuhn ialah kerangka keyakinan penata (ordering belief framework). 
Rumusan ini tidak memuaskan. Paradigma memang dapat dipahami, tetapi sulit 
dirumuskan secara ringkas dan apik. Paradigma bersifat metateoretis dan 
tak-terartikulasikan. Prof Tjip mengatakan bahwa paradigma itu kalau dicoba 
digenggam akan keluar melalui sela-sela jari-jemari. ”Mrojol selaning driji”, 
kata beliau ketika memasuki masa emiritusnya, sembilan tahun yang lalu.
Prof Tjip jugalah yang mengatakan bahwa Indonesia adalah laboratorium yang 
paling baik di seluruh dunia untuk melakukan penelitian di bidang hukum. Segala 
macam kasus dan anomali serta penyelewengan hukum ada di Indonesia. Ada mafia 
peradilan, ada markus (makelar kasus) dan bahkan pernah ada petrus (penembak 
misterius).
Boleh salah
Di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Undip kelihatannya ada dua jalur (streams), 
yakni ”jalur praktis” yang berujung pada sebutan ”juris doctor” dan jalur 
”ilmiah” yang sebutan kelulusannya ialah ”doktor filosofi dalam hukum” (PhD in 
Law). Bersangkutan dengan ”ilmu” dan ”ilmiah”, Prof Tjip mengatakan bahwa 
”ilmuwan boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong, sedangkan politisi boleh 
berbohong, tetapi tidak boleh salah.”
Penggal pertama ucapan Prof Tjip itu kita amini. Salah itu biasa bagi ilmuwan. 
Ilmuwan justru banyak belajar dari kesalahannya. Einstein saja melakukan 
kesalahan-kesalahan. Dari 180 makalah ilmiah asli yang dipublika-sikannya, 40 
di antaranya mengandung kesalahan-kesalahan. Uraian kesalahan Einstein ditulis 
Hans C. Ohanian dalam buku setebal 394 halaman.
Namun, ilmuwan tidak boleh berbohong. Ilmuwan harus jujur sebab kejujuran ialah 
satu di antara sejumlah nilai konstitutif yang tak-boleh-tidak harus diugemi 
oleh ilmuwan. Tanpa nilai-nilai konstitutif, ilmu tak dapat berkembang.
Penggal kedua dari ucapan Prof Tjip, bahwa ”politisi boleh berbohong, tetapi 
tidak boleh salah”, rasanya tidak sepenuhnya benar. Seharusnya politisi tak 
boleh berbohong, apalagi melakukan kebohongan publik, tetapi kenyataannya ada 
yang berbohong. Baru-baru ini Kwik Kian Gie mengatakan bahwa ada petinggi 
pemangku jabatan politik kita yang berbohong.
Politisi tak boleh salah sebab, kalau sampai salah langkah, bisa tamatlah 
karier politiknya. Ingat saja Wapres Spiro T Agnew yang tamat riwayatnya 
setelah mengatakan ”Nolo contendere” atas tuduhan suap. Walaupun (kata Prof 
Tjip) boleh, Spiro Agnew tidak berbohong sebab di pengadilan ia tidak melawan 
dakwaan jaksa penuntut. Kesalahannya ialah ia doyan makan sogokan. Juga kita 
teringat kepada Presiden Richard M Nixon, yang salah (kebablasan) melangkah 
dalam skandal Watergate. Tamatlah ia dalam pemakzulan, cuma untungnya ia 
langsung diampuni penggantinya, yakni Presiden Gerald Ford.
Ajaran Prof Tjip akan selalu dikenang (dan semoga juga ditiru dan dikembangkan) 
oleh koleganya, mahasiswanya, dan kita semua. Beristirahatlah dalam kedamaian, 
profesor!
Liek Wilardjo Guru Besar Fisika Universitas Kristen Satya Wacana, Kompas, 
12/1/10]
-------- 
Kembali kita kehilangan seorang pendekar dan pakar di bidang sosiologi hukum di 
Indonesia yang sangat aktif dan kritis terhadap perkembangan hukum positif di 
Indonesia, Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH, MA. 
Pada saat ini Negara dan pemerintah ingin menegakkan hukum, di saat yang sama 
di tempat lain ada saja yang sedang mempermainkan hukum – kemudian muncul mafia 
hukum di berbagai tempat…hingga sampai ke sel-sel tahanan.
Hukum akan baik bila dipegang oleh orang baik. Hukum yang kurang baik pun akan 
tetap baik bila yang menjalankan orang baik. Tetapi sebaliknya, sebaik apapun 
produk hukum, pasal-pasal dan aturannya, apabila berada di tangan orang jahat, 
maka …..silakan menjawab sendiri….atau paling tidak akan berjalan baik, tetapi 
biasanya hanya untuk kebaikan orang jahat tersebut.
Marilah kita hidupkan hukum, menyadari hukum, menjunjung tinggi hukum hingga 
nanti bisa menjadi panglima di Indonesia. 
 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
 
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke