============ ========= ========= ========= ========= = 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
============ ========= ========= ========= ========= = 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Tahun-tahun produktif dan efisien. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Bocah-bocah Nakal
Kamis, 28 Januari 2010 | 02:34 WIB
Oleh : Sukardi Rinakit
Jika ada yang bertanya mengenai salah satu gejala dominan dalam 100 hari 
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, saya akan menjawab: 
”Meningkatnya fenomena politik bocah-bocah nakal.”
Ini salah satu ilustrasinya. Ketika melintas di antara sekelompok mahasiswa dan 
aktivis yang sedang berkumpul, hati penulis kecut. Mereka berteriak-teriak, 
”Nasution ketuk palu, Soekarno jatuh. Harmoko ketuk palu, Soeharto jatuh. Amien 
Rais ketuk palu, Gus Dur jatuh, Taufiq Kiemas ketuk palu, siapa jatuh?”
Bagi penulis, mereka itu adalah bocah-bocah nakal. Pak Harto dulu menyebutnya 
setan gundul. Sejatinya, sebagian besar dari mereka hatinya diteguhkan oleh 
idealisme kebangsaan. Jika ditegur, apalagi dimarahi, mereka malah senang dan 
akan melakukan manuver lebih berani lagi. Demikian juga jika kita kelihatan 
takut dan panik, mereka akan tertawa-tawa.
Praktik politik semacam itu, saat ini bukan hanya menyebar di ranah mahasiswa 
dan aktivis, tetapi juga merembes ke kalangan politisi. Dramaturgi dalam 
Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang Hak Angket Bank Century dan 
pembentukan Kabinet Indonesia Muda (Budiman Sudjatmiko sebagai presiden dan 
Poempida sebagai wakil presiden), misalnya, adalah bagian integral dari praktik 
politik bocah nakal tersebut.
Belenggu internal
Menguatnya fenomena politik bocah- bocah bandel tersebut tak terlepas dari 
perilaku pemerintah sendiri. Bibitnya ditanam sejak awal, yaitu ketika 
Presiden, karena masukan yang kurang akurat, melakukan kesalahan dalam 
memberikan pernyataan politik. Misalnya, pada kasus foto lama Presiden yang 
dijadikan sasaran tembak teroris ataupun tudingan makar pada demonstrasi 
peringatan Hari Antikorupsi Sedunia waktu itu.
Kesalahan sepele tersebut, dalam komunikasi politik, adalah fatal. Ia bukan 
saja memerosotkan kewibawaan presiden, tetapi juga melebarkan kekecewaan 
publik. Serangkaian peristiwa politik yang tidak jelas, jika tidak boleh 
disebut absurd, seperti program 100 hari pemerintah yang tidak fokus, kasus 
cicak-buaya, dan masalah bail out Bank Century, memperdalam kekecewaan itu.
Dengan demikian, sulit untuk tidak mengatakan bahwa dalam 100 hari ini, 
Presiden ternyata masih dibelenggu oleh kendala internal. Sejauh ini, Presiden 
belum keluar dari kerangkeng rasa amannya. Kasus Bank Century tidak akan 
meledak seperti sekarang jika Presiden, sebagai kepala negara dan kepala 
pemerintahan, berani mengambil alih tanggung jawab sejak semula. Jika langkah 
itu diambil, bisa dipastikan masalah tersebut akan selesai begitu saja dan 
tidak menimbulkan guncangan politik seperti sekarang.
Kelemahan tersebut, juga keterlambatan ketika merespons upaya kriminalisasi 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pernyataan-pernyataan juru bicara yang 
mengatakan bahwa Presiden tidak tahu-menahu mengenai rencana pembelian mobil 
dinas menteri, dan lain-lain, meneguhkan citra bahwa sejatinya Presiden masih 
terlalu hati-hati dan belum berhasil melakukan resume power. Sementara itu, 
Wakil Presiden Boediono belum bisa menggantikan peran M Jusuf Kalla yang selalu 
berhasil meredam para oposan melalui adu argumentasi.
Seperti sebuah kapal tanpa jangkar, situasi yang tidak pasti tersebut membuat 
para politisi, termasuk partai politik mitra koalisi, mulai memainkan peran 
bocah- bocah nakal. Mereka berada dalam medan magnet yang sama dengan mahasiswa 
dan aktivis. Bedanya, para politisi mungkin diberati oleh agenda menaikkan daya 
tawar politik mereka terhadap kekuasaan, sedangkan mahasiswa dan aktivis murni 
memainkan peran sebagai anak bandel yang peduli pada nasib rakyat. Jika 
pemerintah tidak hati-hati menghadapi mereka, segala kemungkinan bisa saja 
terjadi.
Dalam konstruksi politik di mana presiden masih terbelenggu kendala internal 
seperti itu, hampir bisa dipastikan program 100 hari pemerintah tidak bisa 
berjalan dengan baik. Jika ada klaim bahwa program 100 hari pemerintah sukses, 
sebenarnya tidak realistis. Terkecuali jika program itu, seperti dicatat oleh 
kajian Econit (2010), adalah sekadar identifikasi masalah, tanggapan 
birokratik, dan kelanjutan kegiatan rutin dari periode sebelumnya.
Pendeknya, jika saya ditanya mengenai nilai 100 hari pemerintahan Yudhoyono, 
maka jawabnya adalah 5,5 (D plus). Itu lulus, tetapi pas-pasan sehingga perlu 
kerja keras untuk memperbaiki kinerjanya di masa depan. Akan tetapi, jika saya 
tidak jujur dan ingin mengejek pemerintah, maka nilainya adalah 10 (A plus). 
Memuji presiden secara berlebihan, dalam perspektif budaya politik, bisa 
ditafsirkan sebagai upaya mengejek, tetapi dengan cara halus (tampaknya 
memangku, tetapi sebenarnya sedang membunuh).
"Resume power"
Melihat situasi politik yang memanas saat ini, tidak ada pilihan lain bagi 
Presiden kecuali segera melakukan resume power. Kekuasaan harus dipusatkan pada 
dirinya. Kesan publik bahwa sampai saat ini masih ada dinding yang membatasi 
antara Presiden dan Wakil Presiden harus segera dirobohkan. Koordinasi para 
menteri juga harus semakin solid sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan di 
antara mereka. Selain itu, penguatan hubungan dengan partai politik mitra 
koalisi perlu tetap dijaga konsistensinya.
Tanpa semua langkah itu, Presiden akan semakin merana karena diganggu oleh 
bocah-bocah bandel tersebut. Selebihnya, biarlah sejarah yang mencatat dan 
menuntun kita untuk bergumam Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur).
SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate [Kompas, 28/1/10]
---------- 
Tanggapilah anak-anak nakal itu dengan kerja keras, memperbaiki jalan, 
membangun jembatan, infrastruktur pertanian, bendungan, waduk, irigasi 
pengairan, konservasi hutan, perumahan, inovasi teknologi, ekologi dan pasar. 
Bangkitkan sumberdaya energi yang tidur, puso, timbun yang lekuk, ratakan 
bukit. Giatkan semangat produktifitas petani, nelayan di seluruh penjuru 
negeri, gerakan tanam komoditi pangan sehat di seputar rumah, ladang dan sawah. 
Pacu semangat rakyat sadar pendidikan, kesehatan dan ketertiban. Maka kemajuan 
dan kesejahteraan rakyat pun kemudian akan menyertainya. 
Untuk mewujudkannya tidak hanya butuh 100 hari, namun perlu waktu, tekad, 
komitmen, semangat para pemimpin khususnya dan seluruh rakyat Indonesia. 
Maka para pejabat pemerintah jangan lagi menunggu hujan reda baru jalan, supaya 
jangan buang-buang waktu, anggaran/biaya, kepercayaan rakyat, sumber daya 
negara dan sejarah perjalanan Indonesia.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke