================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Tahun-tahun produktif dan efisien. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
KOLOM POLITIK-EKONOMI
(me-Mandiri-kan) Anak Bangsa
Sabtu, 30 Januari 2010 | 02:39 WIB
Oleh : Andi Suruji
Pernyataan Agus Martowardojo itu disambut gempita sekitar 4.000 mahasiswa dari 
sejumlah perguruan tinggi se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi di 
Jakarta Convention Center, pekan lalu, dalam acara pemberian penghargaan 
wirausaha muda mandiri.
Ketika para finalis tingkat nasional dipanggil untuk naik ke pentas, Uung 
Nastiya (62) yang duduk di samping saya tak kuasa menahan air mata keharuan 
menyaksikan anak keduanya naik pentas dan mendapat tepukan meriah dari 4.000 
mahasiswa lainnya.
”Dia bisnis somai di Yogya. Dia memulai bisnisnya dengan modal dua juta rupiah. 
Kini dia sudah memiliki 11 outlet,” ujar Uung dengan nada bergetar penuh 
kebanggaan sekaligus kebahagiaan sambil mengusap air matanya.
Bangsa ini memang tidak ”mencari” pencari kerja sebab pencari kerja sudah 
terlampau banyak. Penganggur berjuta-juta jumlahnya. Belum lagi semua angkatan 
kerja sempat terserap, datang lagi angkatan kerja baru, termasuk yang 
berpendidikan tinggi. Kalau penganggur yang berpendidikan tinggi semakin 
banyak, tentu bisa berdampak sistemik serta dapat menimbulkan ekses sosial yang 
negatif.
Karena itulah negara ini lebih membutuhkan orang-orang yang berani membuka dan 
menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri. Tentu lebih mulia lagi apabila 
seseorang mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
Siapa pencipta dan pemberi kerja itu? Mereka adalah para wirausaha, 
entrepreneur. Menurut David McCelland, untuk menjadi negara yang makmur, suatu 
negara harus memiliki minimum 2 persen wirausaha dari total penduduknya. 
Amerika Serikat, misalnya, konon pada tahun 2007 sudah memiliki 11,5 persen 
wirausaha, Singapura pada tahun 2005 sudah mencapai 7,2 persen, sedangkan 
Indonesia baru memiliki 0,18 persen wirausaha dari total penduduknya.
Saya salah satu dari belasan dewan juri dalam final kompetisi wirausaha muda 
mandiri yang diselenggarakan Bank Mandiri. Kompetisi di Jakarta ini merupakan 
ajang tingkat nasional. Mereka adalah wirausaha muda mandiri dari berbagai 
perguruan tinggi se-Indonesia. Ada juga sarjana dan pascasarjana. Sebelumnya, 
mereka mengikuti seleksi di wilayahnya masing-masing.
Mencengangkan, tak menyangka bahwa ada mahasiswa yang sudah menjalankan 
bisnisnya dengan omzet ratusan juta rupiah, bahkan ada yang miliaran rupiah. 
Lebih mencengangkan lagi, klien mereka tersebar secara global mulai dari Eropa 
sampai Afrika. Tanpa banyak terekspos, mereka sudah berani menceburkan diri 
dalam kompetisi global, yang justru ditakuti banyak orang.
Mereka mengelola bisnis di daerah dengan bermodal cekak, pas-pasan, bertindak 
lokal berpikir global. Mereka tidak berteriak-teriak minta fasilitas negara, 
tetapi diam-diam menciptakan uang dan lapangan kerja bagi orang lain.
Inilah salah satu program tanggung jawab sosial (CSR) Bank Mandiri yang dimulai 
sejak tahun 2007. Tahun lalu saja, jumlah peserta workshop wirausaha mandiri 
yang diselenggarakan di sembilan kota melibatkan 6.117 peserta dari 125 
perguruan tinggi. Beasiswa setahun pun disediakan bagi 1.680 mahasiswa yang 
sudah berani berwirausaha. Adapun penghargaan Wirausaha Mandiri dimaksudkan 
sebagai penghargaan kepada generasi muda yang telah berwirausaha, sukses, dan 
beretika. Program penghargaan tahun lalu itu diikuti sebanyak 1.706 peserta 
dari 200 perguruan tinggi di 27 provinsi.
Tak hanya itu, enam perguruan tinggi bekerja sama dengan para pelaku usaha 
menyusun kurikulum kewirausahaan yang akan diterapkan sebagai mata kuliah di 
perguruan tinggi. Tak kalah pentingnya adalah pembinaan dan pendampingan 
berwirausaha kepada wirausaha mandiri, yakni pemenang dan finalis Wirausaha 
Mandiri.
Andaikan semuanya itu bisa menetas menjadi wirausaha mandiri, betapa signifikan 
dampaknya untuk mengatasi persoalan ketenagakerjaan. Tidaklah berlebihan 
apabila program pilihan jajaran manajemen Bank Mandiri itu dinilai sebagai 
upaya visioner. Wakil Presiden Boediono pun mengakui program CSR Bank Mandiri 
ini tepat sasaran karena lebih bersifat fundamental ketimbang sekadar bagi-bagi 
bahan kebutuhan pokok.
Seorang juri mengatakan merinding ketika ada mahasiswa memaparkan etika bisnis 
yang dipegangnya, seperti ini: clean business or never (berbisnis dengan bersih 
atau tidak sama sekali).
Tentu ini membesarkan hati manakala kita melihat fakta di tengah masyarakat 
bahwa kian banyak pengusaha yang mengabaikan etika berbisnis, misalnya dengan 
menjiplak ciptaan orang lain, membajak produk orang lain, menyelundup, menyuap 
untuk mendapatkan bisnis, dan mengemplang pajak. Ternyata masih banyak mutiara 
bertebaran di kampus-kampus di seluruh pelosok Nusantara.
Bahwa mereka — anak-anak bangsa yang telah mendapat pelatihan, pembinaan, dan 
fasilitas lainnya itu — kelak tidak menjadi nasabah Bank Mandiri, setidaknya 
Bank Mandiri telah memberikan sesuatu yang fundamental bagi generasi muda 
bangsa ini. Bank Mandiri telah mencoba menempa baja dan menggosok 
mutiara-mutiara Nusantara. Satu langkah kecil, tetapi signifikan untuk 
memandirikan anak-anak bangsa. [Kompas, 30/1/10]
---------- 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke