Surat Ijo Dr Suparto Wijoyo - Ketua Departemen Hukum Administrasi Universitas Airlangga
TANGGAL 25 April 2010 kemarin saya harus memprioritaskan acara di ”Gerakan Pejuang Penghapusan Surat Ijo Surabaya” yang diselenggarakan di Kapal Wicitra dengan sedikit abai pada dua undangan lainnya dalam waktu yang sama. Acara surat ijo sangat menyentuh dan menyentak batin serta moralitas warga kota yang sekian lama tidak diperlakukan dengan benar oleh pemerintahnya. Saya sendiri memang tidak menjadi bagian dari warga kota yang memiliki surat ijo, tetapi menaruh empati dan energi untuk turut larut dalam perjuangannya yang tidak dipedulikan kekuatan politik yang mengusung tema perjuangan pula yang sudah sekian lama berkuasa. Mendapatkan apa yang menjadi haknya mestinya tidak perlu diperjuangkan sedemikian lama waktunya dan mahal modal ruhaninya apabia pemerintah kota waras dalam ukuran demokrasi. Hal ini tercermin jelas bahwa pemerintah kota lebih enjoy mempersulit warga daripada memberikan fasilitasi kemudahan mengenai surat ijo. Pemerintah kota mengapa sedemikian rapuh dan keroposnya dalam ukuran layanan untuk membantu melegalisasi soal kepemilikan lahan surat ijo pada warganya. Pemerintah kota bukan sebagai pemilik tetapi hanya sebagai manajer yang sepatutnya memberikan apa yang menjadi hak warganya. Pemerintah kota itu dibentuk adalah untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada warga dan bukan untuk saling beradu kuat dengan warganya. Aneh sekali dalam kehidupan kita berpemerintahan tatkala antara warga dan pemerintah kota saling gugat dan bangga apabila rakyatnya menjerit kesakitan. Kondisi gugat-menggugat itu menandakan bahwa antara rakyat dan pemerintah sudah tidak saling percaya. Ini adalah kecelakaan demokrasi yang paling serius di kota surabaya. 100% ini masalah, bukan yang lain. He he he ikutan iklan-iklan lamis janjine. Persoalan surat ijo sebenarnya adalah persoalan sepele yang dianggap penting oleh kekuasaan. Sepele karena ini menyangkut hak warga untuk diteguhkan oleh negara. Tetapi pemerintah kota merasa ini miliknya yang berat untuk dilepaskan kepada warganya. Kalau saya sendiri sih sederhana: apa susahnya memberikan warga apa yang sepatutnya diberikan oleh negara andai saja itu memang miliknya. Padahal menurut hukum pertanahan jelas bahwa masalah surat ijo bukan soal kepemilikan hak dan pelepasan hak yang bermuara pada pemerintah kota. Seputar surat ijo akhirnya merembet ke masalah politik. Maka tepatlah kalau Cak Fandi Utomo dan Cak Fitra kemarin datang dengan memberikan komitmen untuk penuntasan surat ijo. Komitmen politik dan pemerintahan sudah diucapkan oleh kedua kandidat walikota ini. Komunikasi mengenai surat ijo dapat menjadi elemen yang mampu mendobrak kebekuan pemerintahan yang lalai atau menyepelekan tentang nasib warganya. Apa susahnya pemerintah memfasilitasi untuk menjadikan wilayah surat ijo menjadi hak milik warga? Walikota itu dipilih dan diberi amanat untuk memimpin pemerintahan dengan cita dasar untuk memberikan apa yang terbaik bagi warganya. Ombyokan warga surat ijo terus melakukan gerakan agar pemerintah kota mengerti bahwa ada derita warga di sebuah kota yang dibilang maju ini. Tampaknya kepemimpinan selama ini belum melihat msalah surat ijo itu penting dan menyangkut hajat hidup warga. Apakah memang walikota selama ini tidak merasa memiliki warga yang memegang surat ijo? Bukankah soal penghijauan selalu digalakkan oleh rezim yang berkuasa dewasa ini, tapi soal ijonisasi surat ijo tampaknya salah alamat. Apakah ada calon walikota yang mau menuntaskan surat ijo? Jawabnya ada. Siapakah dia, saya pikir warga pemegang surat ijo tahu siapa yang mau menghadiri undangan mereka kemarin itu. Itupun apabila mereka tidak lupa karena banyaknya janji yang selalu dikampanyekan. Harapan telah ada bukan? Salam http://www.surabayapagi.com/index.php?p=detilberita&id=47727