http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

[ Kamis, 12 Agustus 2010 ] 


Ba'asyir dan Pemikiran Radikal 
Oleh Yayan Sopyani Al Hadi


DALAM sebuah dialog di MetroTV (Selasa, 10/8), mantan Panglima Laskar Jihad 
Ja'far Umar Thalib menyesatkan pemikiran-pemikiran radikal Amir Jamaah Ansharut 
Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'syir. Dia bersaksi, pola pikir yang digunakan dan 
disebarkan Ba'asyir menggunakan logika takfir. Artinya, mengafirkan orang di 
luar kelompoknya. Ja'far menyebut mantan amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) 
dan pengikutnya itu sebagai generasi Khawarij.

Dari pernyataan Ja'far tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan sekaligus. 
Pertama, Ja'far mengingatkan bahaya laten kelompok Khawarij yang doyan 
mengafirkan pihak lain. Dalam sejarah awal Islam, Khawarij muncul ketika 
terjadi pergolakan politik antara pemimpin Islam yang sah, Ali bin Abi Thalib, 
dan pemberontak Mu'awiyyah bin Abi Sufyan. 

Khawarij awalnya merupakan pendukung Imam Ali bin Abi Thalib. Namun, setelah 
Imam Ali melakukan perjanjian dengan Muawiyyah, Khawarij menolak kesepakatan 
damai (tahkim) tersebut dan keluar dari barisan Imam Ali. Khawarij berasal dari 
kata kharaja yang berarti keluar.

Dengan menuduh melanggar hukum Tuhan, pengikut Khawarij membunuh Imam Ali bin 
Abi Thalib dan bersembunyi di gurun-gurun pasir. Mereka melakukan kekerasan 
terhadap umat Islam yang berbeda keyakinan dan pendapatnya. Tidak jarang, 
tindakan mereka berakhir dengan pertumpahan darah. 

Kelompok Khawarij mengklaim sebagai satu-satunya juru bicara Islam yang paling 
otoriter dibanding kelompok lain. Mereka mengutuk kelompok yang dianggap telah 
melenceng dan meleset dari fondasi agama yang benar. Mereka, dengan 
mengungkapkan hak istimewa lebih tinggi yang didasarkan pada kebenaran agama, 
membenarkan tuntutan agar etika yang berlaku dalam kelompoknya ditingkatkan 
menjadi suatu moralitas bersama. 

Mereka juga menuntut dogmanya dipaksakan dengan cara apa pun, temasuk 
pembunuhan. Mereka berkeyakinan dan memastikan bahwa kebenaran agama yang 
tunggal diturunkan dengan cara yang tidak bisa dipertanyakan.

Kaum Khawarij meyakini bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan atau tujuan akhir 
agama adalah monopoli satu golongan tertentu atau bisa dicapai dengan meniti 
worldview (minhaj) dan the way of life (manhaj) kelompok tertentu. Kelompok 
lain juga membawa hakikat dan kebenaran, tapi hanya ada satu pemahaman yang 
membentangkan jalan kebahagiaan. 

Penganut ajaran kelompok lain, dalam pandangan Khawarij, walaupun 
keberagamaannya baik dan akhlaknya benar dalam sisi kemanusiaan, mereka tetap 
tidak bisa selamat. Karena itu, untuk meraih keselamatan, mereka harus meraih 
jalan sebagaimana yang ditempuh kelompok Khawarij.

Argumentasi Khawarij itu didukung teologi fatalistik (aqidah jabariyah) yang 
menyatakan bahwa wajib mengimani Allah, tapi tidak berdasar akal. Kewajiban 
tersebut penting karena Allah telah memerintah kita untuk mengenali-Nya melalui 
nash. Corak pembuktian teologis itu menciptakan daur ulang yang tak berujung 
(circular reason). Imanilah Tuhan karena Tuhan telah memerintahkannya dalam 
nash. Padahal, kita tidak tahu siapakah Tuhan itu(?).

Berbeda dari aliran Syiah yang menganggap kewajiban mengimani Allah dan menaati 
segala perintah-Nya adalah kerja akal. Pengenalan terhadap Tuhan harus didasari 
dan diawali oleh nalar rasional (aql burhani).

Aliran teologi jabariyah menyatakan bahwa keselamatan hanya terdapat dalam 
lingkup karunia dan Inayah Ilahi. Ada pun upaya manusia (kasb) untuk mencapai 
keselamatan itu dianggap sia-sia dan tidak akan berhasil. Karena itu, 
konsekuensi dari keselamatan tersebut adalah harus mengetahui manifestasi 
sumber keselamatan. 

Manifestasi itu hanya didapat dan hanya bisa diketahui dari pemahaman nash yang 
tekstual. Tekstualisme merupakan episteme dengan metodologi pemikiran 
tekstual-eksplanatif (bayani) yang menjadikan teks suci sebagai otoritas penuh 
untuk memberikan arah dan arti kebenaran (Abed Al- Jabiry, 1991).

Para tekstualis itu memahami nash Alquran dan as-sunnah dengan berpegang pada 
redaksi teks yang partikular dan terkurung pada lokalitas. Sementara itu, akal, 
bagi mereka, hanya digunakan sebagai pengaman ototitas teks tersebut. Karena 
itu, ketika berhadapan dengan teks lain atau pemahaman terhadap teks yang 
berbeda, mereka mengambil sikap mental yang dogmatik, defensif, dan apologetik. 
Begitu juga ketika berhadapan dengan the other yang berwujud peradaban yang 
modern, kosmopolit, sekuler, rasional, dan realitif, tindak kekerasan menjadi 
solusi terbaik bagi mereka untuk menyelesaikan problem sosial. 

Apakah ide Khawarij Ba'asyir sebagaimana yang disebutkan Ja'far berkaitan 
dengan teror seperti yang ditudingkan Mabes Polri? Tentu, dugaan keterlibatan 
Abu Bakar Ba'asyir dalam gerakan terorisme di Indonesia menjadi wilayah 
kepolisian. Dengan catatan, polisi tidak bisa menghakimi pemikiran-pemikiran 
Ba'asyir, sebagaimana tidak bisa mengadili keyakinan seseorang. Yang menjadi 
wilayah kepolisian adalah tindakan seseorang yang berakibat melanggar hukum. 

Di sinilah letak tantangan bagi kepolisian. Jika kembali gagal membuktikan 
keterlibatan Ba'asyir, integritas polisi dan pemerintah semakin luluh di mata 
publik. Selain menimbulkan gejolak di masyarakat, kegagalan tersebut akan 
menguatkan prasangka sebagian orang bahwa polisi diintervensi pihak luar.

Kesimpulan kedua pernyataan Ja'far adalah terjadinya perbedaan pandangan di 
antara sesama muslim tekstualis yang selama ini dikenal radikal. Tidak jarang, 
perbedaan pemikiran tersebut berujung pada pertentangan dan konflik internal. 
Hal itu menjadi bukti bahwa radikalisasi gerakan Islam yang mengaku berdasar 
pada nash ternyata banyak faksi dan tidak monolitik.

Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada kelompok yang berhak mengaku 
satu-satunya gerakan atau pembela Islam yang absah. Masih banyak wajah dan 
warna Islam yang lain. Apalagi, gerakan Islam yang radikal bukan mainstream di 
negeri ini.

Muhammadiyah dan NU, misalnya, menjadi cermin gerakan Islam yang menebarkan 
kesejukan dan kedamaian serta diminati banyak orang. Dengan demikian, 
menggeneralisasikan kaum muslim sebagai pelaku tindak kekerasan merupakan 
kesalahan fatal. (*)

*) Yayan Sopyani Al Hadi, peneliti Pusat Studi Agama dan Peradaban/PSAP, Jakarta



Kirim email ke