Orang Biasa yang Luar Biasa Kita sudah terlalu sering melihat berbagai acara santunan anak yatim, baik yang dilakukan oleh lembaga sosial, komunitas peduli ataupun pribadi. Tidak ada yang aneh, meski tetap mengagumkan karena masih ada orang-orang yang terus memberi perhatian kepada nasib anak-anak yatim. Namun apa yang dilakukan Dahlia, seorang ibu rumah tangga di wilayah Serpong, Tangerang, memberi warna tersendiri dari berbagai rangkaian acara santunan anak yatim yang pernah ada. Ibu muda ini bukanlah orang kaya yang banyak harta, bukan isteri pejabat atau pengurus sebuah yayasan sosial. Ia hanya orang biasa yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di beberapa rumah tetangganya. Upahnya sebagai pembantu rumah tangga per hari tak lebih dari dua puluh lima ribu rupiah dari satu rumah yang dibantunya. Baru-baru ini, ia memberi santunan untuk sekitar dua puluh anak yatim di sekitar tempat tinggalnya. Tak beda dengan yang biasa diberikan orang-orang kaya, pejabat atau isteri pejabat dan pengurus yayasan sosial, berupa sembako dan amplop “uang jajan”, mungkin besaran isi amplopnya saja yang berbeda. Namun sangat jelas perbedaan yang sesungguhnya adalah, orang yang melakukan ini adalah orang biasa, bukan siapa-siapa, hanya seorang pembantu rumah tangga. Orang dengan profesi yang sering dipandang sebelah mata, dianggap remeh dan tak mungkin melakukan hal tersebut. Di daerah Tenjo, Parung Panjang, ada seorang pria paruh baya yang menjadikan rumahnya sebagai kantor untuk sekolah yang didirikannya. Tanah tempat sekolah itu berdiri merupakan tanah milik keluarga yang diwakafkannya. Lalu sedikit demi sedikit ia membangun gedung sekolah yang kemudian diberi nama Sekolah MODIS (model islami). Meski masih belum diplester, bangunan yang hanya terdiri dari dua ruang kelas itu pun mulai beroperasi dan menjalankan fungsinya sebagai sekolah menengah pertama. Baihaki namanya, ia beserta kakak dan keponakannya adalah guru pertama di sekolah itu. Mungkin karena tidak ada yang bersedia mengajar tanpa digaji, namun tekad Baihaki dan keluarga yang peduli pada pendidikan di kampungnya sangat kuat sehingga ia terus menjalankan sekolah tersebut. Siswa yang mendaftar pun banyak, karena memang banyak anak-anak yang tidak sanggup melanjutkan sekolah setelah lulus sekolah dasar. “kalau pun ada yang sanggup, jaraknya jauh sekali. Tentu saja menambah beban untuk transportasi,” ujarnya. Ruang tamu rumahnya disulap menjadi ruang guru, kantor sekaligus laboratorium komputer. Sama sekali tidak ada kesan itu sebuah kantor, seperti layaknya kantor sekolah yang biasa kita lihat. Dinding rumahnya pun masih terbuat dari bilik bambu, beratap genteng tanah yang sudah tua. Jangan membayangkan laboratorium komputer milik mereka seperti yang dipunyai sekolah lain. Ada enam unit komputer bekas berusia tua. Sebagai gambaran, itu semua komputer yang CPU-nya masih menggunakan sistem Disk Drive A dan B, sedangkan layar monitornya masih cembung hitam putih. Yang menarik lagi, saat ini hanya tinggal satu komputer saja yang bisa dipakai. Selebihnya rusak. Saat mereka kekurangan ruang kelas, Mushola yang berdiri tak jauh dari rumahnya jadi sasaran. Bagian sisi kanan Mushola ia jadikan ruang kelas, atas kesepakatan bersama warga. “Yang kami bangun disini bukan sekolah, tapi kami sedang membangun masyarakat melalui pendidikan,” kata-kata Pak Baihaki inilah yang mungkin menjadi semangat dan ruh dari aktifitas pendidikan sekolah MODIS ini. Mereka tak surut langkah, tak patah semangat untuk terus menjalankan sekolah itu, dengan segala keterbatasan yang ada. Di kampung Cengal, Bogor, seorang petani manggis punya semangat luar biasa untuk bisa menjalankan sekolah bagi anak-anak di kampungnya. Berbekal semangat itulah, dua ruang kelas dan satu ruang guru berdiri di atas tanah keluarganya. Ia tak berani menjadi pengajar di sekolah tersebut lantaran merasa tak sekolah tinggi, maka adik-adik dan sepupunya lah yang menjadi tenaga pendidiknya. “Sekolah saya tidak tinggi, tapi saya ingin anak-anak saya dan anak-anak di kampung ini bisa terus sekolah. Adik-adik yang mengajar, saya yang mengusahakan biaya operasional agar sekolah bisa tetap berlangsung,” ungkap Kang Agus, si petani manggis itu. Salah satu keahliannya di bidang pertanian, maka sebagian lahan di sekolah itu dijadikan lahan penanaman bunga. Para siswa juga diajarkan bercocok tanam, memelihara tanaman yang kemudian akan dijual dan hasilnya untuk biaya operasional sekolah tersebut. Sebuah kreatifitas ala petani yang patut diacungi jempol, strategi memertahankan keberlangsungan sekolah dengan memanfaatkan lahan dan sumber daya alam, sekaligus memberi pelajaran bercocok tanam sekaligus berwirausaha. Beberapa waktu lalu dalam sebuah acara Volunteer Gathering di Aula Masjid Diknas, Senayan, Jakarta, tampil seorang pemuda bernama Yudho. Kalem, sedikit bicara dan garis wajahnya menampakkan kerasnya hidup yang dijalaninya. Berbeda dengan kebanyakan relawan yang hadir di acara tersebut yang biasanya bergabung dalam sebuah komunitas atau lembaga sosial, lelaki yang sedikit misterius ini sendirian menjalankan perannya sebagai pembina ratusan anak-anak jalanan di berbagai daerah, termasuk di Jakarta. Semua hadirin tercengang, seolah tak percaya dengan apa yang dilakukannya. Ia memberi inspirasi hebat di hari itu, bahwa berbagi itu bisa dilakukan siapa saja, dimana saja, bersama-sama atau pun sendirian, tanpa nama, tanpa kibaran bendera. Di acara yang sama, sejumlah anak-anak sekolah SLTP dan SLTA dari Bogor hadir dengan semangat yang luar biasa. Mereka, anak-anak yang menyisihkan seribu rupiah setiap pekan dan gerakan itu terus bergulir dengan nama GEBU CINTA, gerakan seribu cinta. Mulai dari puluhan anak, hingga kini gerakan itu sudah diikuti puluhan sekolah dan melibatkan ribuan siswa. Sederhana, namun dampaknya tidak sederhana. Uang seribu rupiah yang terkumpul itu digunakan untuk biaya sekolah anak-anak tak mampu, dimulai dari rekan-rekan mereka di sekolah mereka sendiri, hingga bisa merenovasi rumah warga yang rusak, renovasi mushola, dan memberi bantuan untuk korban bencana alam. Negeri ini membutuhkan sosok-sosok seperti Dahlia, Baihaki, Kang Agus, Yudho atau nama-nama sebelumnya yang pernah muncul ke permukaan, seperti halnya Bude Kiswanti, si pengayuh sepeda perpustakaan keliling di kampungnya yang menerima berbagai penghargaan. Mereka adalah orang-orang biasa, namun apa yang mereka lakukan sungguh luar biasa. Mereka menjawab semua keraguan orang, bahwa setiap manusia bisa dan mampu melakukan hal-hal yang menurut anggapan orang di luar batas kemampuannya. Orang-orang seperti mereka akan terus hadir mengisi kekosongan sosok mengagumkan yang seolah hampir punah di negeri yang sedang carut marut ini. Mereka tak butuh panggung, tak perlu tepuk tangan, tak terlena pujian dan berharap penghargaan. Tak harus menunggu jadi orang hebat untuk melakukan hal-hal hebat. Tak perlu menjadi orang luar biasa untuk bisa melakukan sesuatu yang luar biasa. Orang biasa, bisa melakukan hal-hal luar biasa. Salut! (Gaw/LifeSharer) Bayu Gawtama
LifeSharer SOL - School of Life 085219068581 - 087878771961 twitter: @bayugawtama @schoolof_life [Non-text portions of this message have been removed]