Cerita ini disadur habis dari 
: http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=1607 

Semoga bermamfaat

Bapak itu memang sudah lama tidak pulang kampung. Dia selalu sibuk. Setiap hari 
memberi kuliah di kampus, menjadi narasumber pada seminar-seminar, mengadakan 
penelitian dan sekali sekali melakukan pengabdian pada masyarakat.
Memang itulah tugasnya sebagai seorang guru besar pada sebuah universitas yang 
terkenal. Hampir setiap hari dia tenggelam dalam pekerjaan dari pagi hingga 
matahari terbenam. Kadang, hari Minggu pun sering terlewati.

Sesampainya di kampung, dia terenyuh. Ibu kandungnya tidak mengenal dia lagi. 
Ibunya telah renta. Berjalan tertatih tatih, penglihatan sedikit kabur, telinga 
kurang mendengar, ingatannya menghilang, termasuk pada anaknya sendiri.
Pertanyaan pertama ibunya selalu kamu ini siapa? Berulang kali dia memeluk dan 
mencium pipi ibunya yang telah mengerut seraya menyebutkan namanya. Namun apa 
mau dikata, namanya yang telah terukir dalam ingatan ibunya telah terkikis 
habis oleh ketuaan.

Kalaupun keluar kata-kata lain dari ibunya, lebih sering panggilan pada adiknya 
yang merawatnya di kampung, pada  kucing peliharaannya, pada ayam-ayam yang 
belum masuk kandang dan telurnya yang belum diambil.

Tanpa dia sadari, air matanya mengalir, sesuatu yang tabu ia lakukan selama 
ini, dan malah dia sendiri sering membuat murid-muridnya terisak tangis, 
menghadapi kesombongan ilmiahnya di kampus.

Tanpa peduli keberadaannya, ibunya berjalan pelan menuju kamarnya kemudian 
membalik-balik pakaian, melipat, membongkar dan menyusunnya kembali seolah 
bersiap untuk pergi  entah ke mana. Menurut adik dan familinya, itulah yang 
dilakukan ibunya setiap hari dan berulang-ulang. Dia iringi ibunya ke kamar 
mencoba membuka ingatan ibunya, namun kembali pertanyaan ibunya kamu ini siapa, 
di mana kampung, berapa orang anak dan lain-lainnya.

Ibunya telah menderita penyakit pikun yang sering disebut dementia atau 
Alzheimer, suatu  penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obat yang tepat 
untuk menyembuhkannya. Penyakit ini banyak ditemui pada manusia lanjut dan 
menjadi masalah pada negara–negara maju. Di Amerika Serikat, penyakit ini telah 
menghinggapi pada lebih dari 2 juta orang. Dan, mungkin dalam waktu tidak 
terlalu lama, pikun akan menjadi masalah kesehatan dan sosial pada negara kita 
ini.

Dahulu orang mengira, bahwa pikun itu penyakit yang lumrah bagi orang berusia 
lanjut. Namun dugaan itu ternyata meleset, karena masih banyak orangtua yang 
fisiknya renta termasuk penglihatan dan pendengarannya, tapi punya pikiran yang 
masih utuh dan jernih seperti  G Verdi mencipta ”Otello” pada usia 73 tahun, 
Goethe berhasil menciptakan ”Faust” bagian ke 2 pada usia 70-80 tahun, Laplace 
pada usia 75 tahun masih tetap menghasilkan karya-karya gemilang. Begitu pula A 
Tupolev, Eisenhower, Brezhnev, dan Churchill yang merupakan para politikus tua 
yang berhasil memimpin negaranya. Di Indonesia kita temui misalnya almarhum 
Rosihan Anwar, di atas umur 80 tahun masih aktif menulis dengan pikiran dan 
ide-ide yang jernih dan dapat dimengerti.

Secara keilmuan kedokteran, pikun merupakan kemunduran perlahan-lahan pada 
fungsi intelektual dan sosial yang dialami seseorang berumur lanjut. Makin lama 
makin bertambah berat karena adanya gangguan pada jaringan otak. Namun, 
kepikunan itu dapat pula timbul mendadak kalau seseorang menderita penyakit 
otak akibat infeksi, geger otak dan stroke. Sampai kini dikenal ada dua macam 
pikun, yaitu pikun yang masih sulit untuk disembuhkan, dan jenis kedua adalah 
pikun yang dapat dicegah dan disembuhkan.

Pikun yang sulit disembuhkan, disebabkan oleh proses kemunduran sel-sel otak 
yang makin lama makin parah. Para ahli belum mampu menjawab dengan pasti, 
kenapa sel-sel otak itu mundur (istilah ilmiahnya, sel-sel itu mengalami 
degenerasi). Sel yang tadinya segar bugar, dengan perlahan menjadi layu, dan 
akhirnya mati dan tidak akan tumbuh sel penggantinya.

Sedangkan pikun yang bisa dicegah adalah pikun karena diketahui penyebab 
dasarnya. Biasanya penyebab itu berhubungan dengan gaya hidup dan kebiasaan 
seseorang sewaktu muda, apalagi disertai stres berkepanjangan. Kebiasaan dan 
gaya hidup positif akan berdampak positif juga, sedangkan kebiasaan-kebiasaan 
buruk akan berdampak buruk juga, misalnya merokok, minuman alkohol, penggunaan 
obat bius dan lainnya. Kebiasaan-kebiasaan buruk itu akan mempercepat timbulnya 
kepikunan apalagi disertai adanya penyakit seperti tekanan darah tinggi, 
penyakit jantung koroner, penyakit kencing manis, makanan yang berkadar lemak 
tinggi,  kegemukan dan sebagainya.

Menurut Zevan Khachanurian dari The National Institute of Aging, Los Angeles,  
sel-sel di bagian otak sebelah dalam (hippocampus) terpaksa bekerja lebih keras 
pada orang yang sering mengalami stres setiap hari. Akibatnya, otak itu cepat 
menjadi lelah dan mudah rusak dan cepat timbul kepikunan. Penyebab stres itu 
sangat banyak. Bagi golongan manusia menengah ke atas, salah satu penyebab 
stres adalah ketika kesombongan yang dibanggakan mulai memudar. Misalnya 
kesombongan jabatan, kesombongan kekayaan dan  kesombongan ilmiah bagi para 
ilmuawan.  

Tanda dini dari penyakit pikun adalah perubahan dalam sikap sehari-hari, 
dimulai dengan gairah yang menurun, merasa malas atau kehilangan semangat. 
Pribadi yang tadinya hangat dan bersemangat menjadi mulai acuh. Seringkali 
mudah tersinggung, murung, cemas tanpa sebab-sebab yang nyata. Pada tahap awal, 
penderita pikun akan mengalami gejala pelupa karena terjadi gangguan daya ingat 
(memori). Yang menjadi sasaran adalah ingatan baru, sedangkan ingatan lama 
masih terekam dengan baik.

Pada tahap kedua, tanda-tanda gangguan semakin jelas. Mereka tidak lagi mampu 
mengelola dirinya sendiri, apalagi pekerjaannya. Gaya bahasanya menjadi monoton 
dan lamban. Dalam menyatakan pikirannya bertele tele serta banyak kalimat yang 
diulang-ulang. Pada tahap ketiga, kegagalan dalam berbahasa sudah sampai pada 
puncaknya. Penderita itu tidak dapat lagi mengerti ucapan seseorang dan 
mengekspresikan jalan pikiran melalui bicaranya.

Dengan makin banyak jumlah penderita pikun, kita perlu berusaha melakukan 
tindakan-tindakan pencegahan, antara lain menghentikan kebiasaan-kebiasaan 
buruk, menghindari kesombongan dan menerima hidup apa adanya. Kita harus ingat 
bahwa jabatan, kekayaan dan keilmuwan yang kita miliki hanyalah pinjaman 
sementara. Kenapa kita harus sombong dengan keilmuwan serta tempat pendidikan 
kita. Ilmu itu akan hilang tiba-tiba kalau dapat serangan stroke atau hilang 
perlahan jika ditakdirkan pikun.  

Ketika malam pertama di kampung, bapak itu menemani ibunya tidur di kamar, 
sembari bercerita agar dapat merajut kembali kenangan masa lalu mereka. Namun, 
ibunya tetap tidak acuh dan sibuk dengan pekerjaannya yang berulang ulang itu. 
Tiada terasa, waktu seminggu yang dicanangkannya untuk bercengkerama hangat 
dengan ibunda yang dia rindukan siang malam, hanya membuat hatinya semakin pilu.
Sebuah kenyataan pahit yang mesti ditelan, bahwa dia yang selama ini selalu 
sukses menghasilkan sarjana-sarjana yang membanggakan hati, ternyata dia 
sendiri gagal mengembalikan ingatan ibunya bahwa dia adalah anak kandungnya. 
Dengan linangan air mata dan keterpaksaan panggilan kerja,  dia kembali ke kota 
di antara kegalauan pikirannya untuk ingin mendampingi dan merawat ibunya. 
Sesampainya di kota, dia mulai menyadari bahwa ilmu tinggi yang dia punyai 
dengan kesombongan ilmiah yang ia banggakan selama ini, tidak ada artinya di 
depan ibunya yang telah pikun itu.











Jon Affi
Interface and Surface Fabrication Laboratory
Mechanical and Structural System Engineering
Toyohashi University of Technology
Toyohashi
Japan-441-8580
web:
http://ajp.pse.tut.ac.jp/member.html
http://mesin.unand.ac.id/dosen.php

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke