Shalat dan Hukumnya

Shalat, ibadah yang demikian utama ini ternyata banyak yang meninggalkannya. 
Sebagian besar memang dilatari kemalasan, namun tak sedikit yang mengingkari 
kewajibannya. Yang disebut belakangan kebanyakan menjangkiti sebagian dari 
mereka yang belajar “Islam” ke negara-negara Barat.

Shalat sebagaimana yang kita ketahui merupakan tiang agama, seperti dinyatakan 
Rasulullah dalam haditsnya:

“Pokok dari perkara ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya 
adalah jihad fi sabillah.” (HR. Ahmad 5/231, At-Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu 
Majah no. 3979, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan 
Shahih Ibnu Majah)

Secara bahasa, shalat berarti doa dengan kebaikan. Allah berfirman:

“Shalatlah untuk mereka karena sesungguhnya shalatmu adalah ketenangan[1] bagi 
mereka.” (At-Taubah: 103)

Makna “bershalatlah untuk mereka” adalah berdoalah untuk mereka.[2]

Nabi bersabda:

“Apabila salah seorang dari kalian diundang (untuk makan) maka hendaklah ia 
memenuhi undangan tersebut. Bila ia dalam keadaan tidak berpuasa, hendaklah ia 
makan (jamuan yang disediakan oleh tuan rumah, pen.). Namun bila ia sedang 
berpuasa maka hendaknya ia mendoakan tuan rumah.” (HR. Muslim no. 1431)

Ibadah yang disyariatkan ini dinamakan dengan nama doa/shalat karena tercakup 
di dalamnya doa-doa.

Adapun makna shalat dalam syariat adalah peribadatan kepada Allah dengan ucapan 
dan perbuatan yang telah diketahui, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan 
salam, disertai syarat-syarat yang khusus dan dengan niat. (Al-Fiqhu ‘Alal 
Madzhabil Arba’ah, 1/160, Subulus Salam, 1/169, Asy-Syarhul Mumti’, 1/343, 
Taudhihul Ahkam, 1/469, Taisirul ‘Allam, 1/109)

Ibnu Qudamah menyatakan, bila dalam syariat disebutkan perkara shalat atau 
hukum yang berkaitan dengan shalat maka shalat ini dipalingkan dari maknanya 
secara bahasa kepada pengertian shalat secara syar’i[3].

SHALAT INI HUKUMNYA WAJIB MENURUT AL-QUR`AN, AS-SUNNAH, DAN IJMA’ (KESEPAKATAN) 
KAUM MUSLIMIN.

Dari Al-Qur`an, kita dapatkan kewajibannya antara lain dalam:

“Tidaklah mereka itu diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah 
dengan mengikhlaskan agama untuknya dalam keadaan hanif (condong kepada tauhid 
dan meninggalkan kesyirikan) dan agar mereka menegakkan shalat serta membayar 
zakat. Yang demikian itu adalah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas 
orang-orang yang beriman.” (An-Nisa`: 103)

Dari As-Sunnah, shalat termasuk rukun Islam yang tersebut dalam hadits Ibnu 
‘Umar dari Rasulullah, beliau bersabda:

“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan 
Muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa 
Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 113)

Nabi bersabda kepada Mu’adz saat mengutusnya ke negeri Yaman untuk mendakwahkan 
Islam kepada ahlul kitab yang tinggal di negeri tersebut:

“Ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah memfardhukan kepada mereka lima shalat 
dalam sehari semalam.” (HR. Al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 121)

Dari sisi ijma’, umat ini telah sepakat akan wajibnya shalat lima waktu sehari 
semalam. Tak ada seorang pun yang menentang kewajibannya, sampai-sampai ahlul 
bid’ah pun mengakui kewajibannya. (Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, hal. 47, 
Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, Asy-Syarhul Mumti’, 1/345)

Ibadah yang satu ini memiliki banyak faedah yang tak terbatas, baik dari sisi 
agama maupun dunia. Ibadah ini sangat bermanfaat bagi kesehatan, memberi dampak 
positif dalam hubungan kemasyarakatan dan keteraturan hidup (Taisirul ‘Allam, 
1/109). Di dalamnya pun tercakup banyak macam ibadah. Selain doa, di dalamnya 
terdapat dzikrullah, ada tilawah Al-Qur`an, berdiri di hadapan Allah l, ruku’, 
sujud, tasbih dan takbir. Karenanya, shalat merupakan induk/ puncak ibadah 
badaniyyah (ibadah yang dilakukan oleh tubuh). (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 1/79)

PENYEBUTAN SHALAT DALAM AL-QUR`AN

Banyak sekali ayat-ayat Allah yang menyebutkan tentang shalat. Terkadang 
digabungkan penyebutannya dengan dzikir (mengingat Allah) seperti dalam ayat 
berikut ini:

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan untuk 
mengingat Allah (berdzikir kepada Allah) dengan banyak.” (Al-‘Ankabut: 45)

“Tegakkanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaha: 14)

Terkadang penyebutannya digandengkan dengan zakat seperti dalam ayat:

“Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 110)

Terkadang pula digandengkan dengan kesabaran:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian….” (Al-Baqarah: 45)

Dan lain sebagainya.

KEUTAMAAN SHALAT DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM

Shalat yang selalu kita kerjakan setiap hari, memiliki kedudukan yang besar dan 
agung dalam agama ini. Ibadah yang mulia ini disyariatkan pada seluruh umat, 
tidak hanya pada umat Muhammad. Sebagaimana perintah Allah kepada Maryam ibunda 
‘Isa:

“Wahai Maryam, taatilah Rabbmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang 
ruku’.” (Ali ‘Imran: 43)

Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan shalat, juga karena shalat merupakan 
penghubung antara seseorang dengan Rabbnya. Rasulullah menerima kewajiban 
ibadah ini langsung dari Allah tanpa perantara, pada malam Mi’raj di Sidratul 
Muntaha di langit ketujuh, sekitar tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. 
(Asy-Syarhul Mumti’, 1/344, Taudhihul Ahkam, 1/469)

Begitu pentingnya shalat ini, sampai-sampai Allah memerintahkan untuk 
menjaganya baik di waktu muqim (menetap di kediaman, tidak bepergian) maupun di 
waktu safar (bepergian jauh/keluar kota), baik dalam keadaan aman maupun dalam 
keadaan mencekam seperti situasi perang. Allah berfirman:

“Jagalah oleh kalian semua shalat dan jagalah pula shalat wustha (shalat 
‘Ashar). Berdirilah karena Allah dalam shalat kalian dengan khusyu’. Jika 
kalian dalam keadaan takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau 
berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, sebutlah/ingatlah Allah 
sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian 
ketahui.” (Al-Baqarah: 238-239)

Allah pun mengancam orang-orang yang menyia-nyiakan shalat:

“Lalu datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat 
dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” 
(Maryam: 59)

Allah juga berfirman:

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang melalaikan shalat 
mereka.” (Al-Ma’un: 4-5)

Yang perlu diketahui, shalat ini merupakan kewajiban pertama yang harus 
ditunaikan seorang hamba setelah ia mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. 
Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam ayat:

“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di 
mana saja kalian menjumpai mereka, tangkaplah mereka, kepung dan intailah di 
tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dari kesyirikan mereka dan mendirikan 
shalat serta menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk 
berjalan.” (At-Taubah: 5)

Shalat yang dikerjakan dengan benar akan mencegah dari perbuatan 
kemungkaran:“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan 
mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45)

Mengerjakan shalat juga akan menghapuskan kesalahan-kesalahan. Karena shalat 
merupakan kebajikan utama, sementara kebajikan akan menghapus kejelekan:

“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud: 
114)

Di antara bukti yang menunjukkan bahwa shalat merupakan amalan yang tinggi dan 
utama bila dibandingkan amalan-amalan lain adalah Allah melarang seseorang 
melakukannya sampai ia mencuci anggota-anggota wudhunya, ditambah dengan 
memerhatikan kebersihan badan seluruhnya. Demikian pula pakaian dan tempat 
shalat harus suci/bersih dari kotoran/najis. Bila tidak mendapatkan air atau 
udzur untuk menggunakannya, maka ia dapat menggantinya dengan tayammum. 
(Ta’zhim Qadri Ash-Shalah, Al-Imam Al-Marwazi, 1/170)

Banyak hadits yang menyebutkan keutamaan dan tingginya kedudukan shalat dalam 
agama ini, di antaranya:

Anas bin Malik berkata, “Rasulullah bersabda:

“Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Bila 
shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak 
maka rusak pula seluruh amalnya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, 
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1358 karena banyak 
jalannya)

Abu Hurairah pernah mendengar Rasulullah bersabda:

“Apa pendapat kalian bila ada sebuah sungai di depan pintu salah seorang dari 
kalian, di mana dalam setiap harinya ia mandi di sungai tersebut sebanyak lima 
kali, apa yang engkau katakan tentang hal itu apakah masih tertinggal kotoran 
padanya?” Para sahabat menjawab, “Tentu tidak tertinggal sedikitpun kotoran 
padanya.” Rasulullah bersabda, “Yang demikian itu semisal shalat lima waktu. 
Allah menghapus kesalahan-kesalahan dengan shalat tersebut.” (HR. Al-Bukhari 
no. 528 dan Muslim no. 1520)

JUMLAH SHALAT FARDHU

Shalat diwajibkan setiap malam dan siangnya sebanyak lima kali. Inilah yang 
dikatakan shalat fardhu[4] atau shalat wajib. Shalat fardhu ini disebutkan 
dalam hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah, ia berkisah:

“Datang seorang lelaki dari penduduk Najd dengan rambut yang kusut masai, 
terdengar pekik suaranya yang keras (dari kejauhan) namun tidak dapat dipahami 
apa yang ia katakan, hingga ia mendekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. 
Rasulullah, bersabda, ‘Shalat lima waktu sehari semalam.’ Orang itu bertanya 
lagi, ‘Apakah ada shalat lain yang wajib aku tunaikan selain shalat lima waktu 
tersebut?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak mengerjakan 
shalat tathawwu’ (shalat sunnah)…’.” (HR. Al-Bukhari no. 46 dan Muslim no. 100)

Al-Imam Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini menunjukkan tentang shalat yang 
difardhukan kepada para hamba (yaitu shalat lima waktu, pent.).” (Nailul 
Authar,1/398)

Lima shalat yang diwajibkan tersebut adalah shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, 
Maghrib, dan ‘Isya. Kelima shalat ini hukumnya fardhu ‘ain, dibebankan kepada 
setiap muslim yang mukallaf, laki-laki ataupun perempuan, orang merdeka ataupun 
budak. Di sana ada pula shalat yang hukumnya fardhu kifayah yaitu shalat 
jenazah. Shalat ini hanya dibebankan kepada orang yang hadir di tempat 
tersebut, bila sudah ada yang menunaikannya maka gugurlah kewajiban bagi yang 
lain. (Al-Muhalla, 2/3)

KEPADA SIAPA SHALAT INI DIWAJIBKAN?

Shalat diwajibkan kepada setiap muslim yang mukallaf, yakni yang telah baligh 
dan berakal. Adapun orang yang belum baligh dan tidak berakal gugurlah darinya 
kewajiban tersebut. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dari Nabi, beliau 
bersabda:

“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur sampai ia bangun, orang 
gila sampai kembali akalnya atau sadar, dan anak kecil hingga ia besar.” (HR. 
Abu Dawud no. 4398 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam 
Irwa`ul Ghalil no. 297)

Dengan demikian orang yang tidur dan pingsan, orang gila, dan anak kecil, tidak 
dibebankan kewajiban shalat atas mereka sampai hilang penghalang yang ada. 
Yakni orang yang tertidur telah bangun dari tidur, orang yang pingsan telah 
siuman dari pingsannya, orang gila telah pulih dari sakit gilanya atau telah 
kembali akalnya, sedangkan anak kecil telah datang masa balighnya, di antaranya 
dengan tanda mimpi basah (keluar mani) bagi anak laki-laki dan haid bagi anak 
perempuan[5].

Digugurkan kewajiban shalat ini dari wanita yang sedang haid dan nifas. Bahkan 
haram bagi mereka mengerjakan shalat sampai suci dari haid atau nifas. 
Rasulullah bersabda ketika ada yang bertanya sebab kaum wanita dikatakan kurang 
agama dan akalnya:

“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. 
Maka itulah yang dikatakan kurang agamanya[6].” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan 
Muslim no. 238)

Terhadap shalat yang mereka tinggalkan dalam masa keluarnya darah tersebut, 
tidak ada keharusan untuk menggantinya (meng-qadha) di hari yang lain saat 
suci, berdasarkan hadits Aisyah ketika ada seorang wanita bertanya kepadanya: 
“Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalatnya bila telah suci dari 
haid?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita 
Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi namun beliau tidak memerintahkan kami 
untuk mengganti shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 709)

FAEDAH

Orang yang tertidur atau lupa hingga terluputkan shalat wajib darinya, maka ia 
mengerjakan shalat yang luput tersebut ketika terbangun atau ketika ia ingat. 
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah:

“Siapa lupa dari mengerjakan satu shalat (fardhu) maka hendaklah ia kerjakan 
shalat tersebut ketika ingat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 684)

Dalam riwayat Muslim (no. 1567):

“Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu 
shalat atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan shalat tersebut ketika ia 
ingat (terjaga dari tidur).”

SHALAT ANAK KECIL

Walaupun anak kecil belum diwajibkan mengerjakan shalat hingga ia besar atau 
baligh, namun dituntut dari walinya (orangtua atau pihak yang bertanggung jawab 
mengasuh anak tersebut) agar memerintahkan si anak mengerjakan shalat ketika 
telah mencapai usia tujuh tahun, dan menghukumnya dengan pukulan bila ia 
meninggalkannya ketika telah berusia sepuluh tahun dalam rangka pengajaran dan 
latihan, bukan karena pewajiban. Rasulullah:

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah 
berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila meninggalkan shalat pada saat 
mereka telah berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu 
Dawud no. 495 dan lainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi 
Dawud dan Irwa`ul Ghalil no. 247)

Al-Imam As-Syaukani berkata, “Hadits ini menunjukkan wajibnya memerintahkan 
anak kecil untuk mengerjakan shalat bila mereka telah mencapai usia tujuh 
tahun, dan mereka dipukul bila tidak mau mengerjakannya pada usia sepuluh 
tahun….” (Nailul Authar,1/413)

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

Bila yang meninggalkan shalat tersebut tidak meyakini kewajiban shalat maka 
ulama sepakat bahwa orang tersebut kafir menurut nash/dalil yang ada[7] dan 
ijma’. Namun bila meninggalkannya karena malas maka ada perbedaan pendapat 
dalam hal ini.

Al-Imam An-Nawawi berkata, “Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari 
kewajibannya maka orang itu kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. Ia keluar 
dari Islam[8], kecuali jika orang itu baru masuk Islam dan tidak berkumpul 
dengan kaum muslimin sesaat pun yang memungkinkan sampainya berita tentang 
wajibnya shalat padanya dalam masa tersebut. Bila ia meninggalkan shalat karena 
malas-malasan sementara ia meyakini akan kewajibannya –sebagaimana keadaan 
kebanyakan manusia, mereka tidak mengerjakan shalat karena malas padahal tahu 
hukum shalat tersebut– maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini[9].” 
(Al-Minhaj, 2/257)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:
[1] “Ketenangan bagi mereka”, maksudnya kata Ibnu ‘Abbas c: “Rahmat bagi 
mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 6/465)
[2] Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 589.
[3] Sehingga dalam hal ini, batil dan sesatlah bila ada yang memaknakan shalat 
dengan doa. Akibatnya ia enggan mengerjakan shalat sebagaimana yang 
dituntunkan, sembari mengatakan, “Cukup bagi kita berdoa, tanpa melakukan 
gerakan-gerakan berdiri, rukuk, dan sujud serta tanpa membaca bacaan-bacaan 
shalat.”
[4] Karena ada yang dinamakan shalat nafilah atau shalat tathawwu’ atau yang 
lebih kita kenal dengan shalat sunnah.
[5] Tanda-tanda baligh tidak terbatas dengan hal ini, karena ada anak perempuan 
telah mencapai usia dewasa namun belum baligh karena mungkin ada penyakit pada 
dirinya, maka masa balighnya dilihat pada tanda yang lain. Demikian pula anak 
laki-laki, ada tanda baligh yang lainnya seperti suaranya berubah, tumbuh 
rambut pada kemaluan, dan sebagainya.
[6] Adapun wanita nifas hukumnya sama dengan wanita haid.
[7] Seperti hadits Jabir bin Abdillah c ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi 
n bersabda:
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah 
meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242)
[8] Orang yang menentang kewajiban shalat dihukumi kafir karena ia mendustakan 
Allah l dan Rasulullah n berikut ijma’ kaum muslimin.
[9] Akan datang pembahasan tersendiri dalam edisi mendatang –Insya Allah– 
tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan.

Sumber: http://asysyariah.com/shalat-dan-hukumnya.html


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke