Assalamu'alaikum wr wb,

Sebagaimana Al Qur'an tidak langsung turun dari langit. Namun bertahap dan 
dijelaskan melalui Nabi.
Islam pun tidak bisa langsung kita pelajari langsung dari Kitab Al Qur'an dan 
Hadits tanpa bimbingan ulama. Sebab pemahaman orang awam dgn ulama akan Al 
Qur'an dan Hadits itu beda. Makanya ada banyak aliran sesat meski mereka 
mengaku mengikuti Al Qur'an dan Hadits karena penafsirannya ternyata beda dgn 
Jumhur Ulama yang faqih.

Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang 
tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima 
pelajaran. Az-Zumar [39]: 9).

Firman Allah: “…Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak 
mengetahui” [An Nahl 43]

“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat2 yang nyata di dalam dada orang-orang 
yang diberi ilmu” (Al Ankabut:49)

Ilmu itu datang melalui Ulama. Dari Nabi, Sahabat, Tabi'in, Tabi'it Tabi'in, 
terus sanadnya hingga ke Ulama yang lurus dan bersanad. Jadi tak bisa seseorang 
dgn mempelajari Al Qur'an dan Hadits tanpa bimbingan Ulama/Tanpa sanad jadi 
Ahli agama Islam:
Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggut tetapi 
dengan mewafatkan para ulama sehingga tidak lagi tersisa seorang alim. Dengan 
demikian orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang dungu lalu ditanya dan 
dia memberi fatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. 
(Mutafaq’alaih)

Sebaik2 Ulama adalah Ulama Mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam 
Syafi'ie, dan Imam Ahmad bin Hanbal yang merupakan generasi dari Tabi'in / 
Tabi'it Tabi'in:

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang sesudah 
mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).”

dalam lafazh lain disebutkan bahwa,

“Sebaik-baik zaman adalah zamanku (zaman para sahabat), kemudian yang 
setelahnya (zaman tabi’in), kemudian yang setelahnya (zaman tabi’ut tabi’in).”
(HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533 hadits ini adalah Mutawatir)



Kenapa Kita Bermazhab?
By AYE - Mon Jun 17, 11:23 pm

Terdapat pertanyaan yang tersebar di kalangan para penuntut ilmu, “Kenapa kita 
harus bermazhab?”, “Bukannya kita diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti 
Allah dan Rasul-Nya, dan bukan para imam mazhab?”, atau “Bahkan para imam 
mazhab pun melarang kita untuk bertaklid kepada mereka!”

Pertanyaan itu pun sempat berputar di kepala saya selama beberapa tahun hingga 
saya mencari jawabannya dan akhirnya saya mendapatkannya. Setidaknya terdapat 
tujuh poin penting yang kita dapatkan dalam bermazhab. Saya akan jelaskan satu 
persatu, semoga bermanfaat.
Pertama. Mazhab-mazhab fikih itu� Musannadah, atau memiliki sanad dalam setiap 
perkataan dan pemahamannya. Sanad merupakan hal yang sangat penting dalam 
kehidupan beragama seorang muslim. Ibnu Sirin, salah seorang ulama generasi 
tabiin berkata, “Awalnya mereka (kaum muslim saat itu) tidak pernah bertanya 
tentang sanad, namun ketika terjadi fitnah mereka berkata beritahu kami siapa 
orang (yang kau ambil ilmunya)! Lalu dilihatlah para kaum ahlusunah dan hadis 
mereka diambil, dan dilihatlah kaum ahli bidah dan hadis mereka tidak diambil.”
Dalam riwayat lain dari Ibnu Sirin, ia berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah 
agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian!”
Awalnya Rasulullah mengajarkan agama ini kepada para sahabat. Para sahabat pun 
memiliki derajat pemahaman terhadap agama yang berbeda-beda karena beberapa 
sebab. Maka dikenallah beberapa orang sahabat yang tidak hanya meriwayatkan 
hadis dariRasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, namun juga mereka dikenal 
sebagai para mujtahid dari para sahabat. Di antaranya adalah Umar bin Khatab, 
Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan Aisyah binti Abu 
Bakar.
Saat Rasulullah tiada, para sahabat ini beserta para sahabat lain berpencar ke 
berbagai penjuru daerah untuk menyebarkan apa yang telah mereka dapatkan dari 
Rasulullah. Ibnu Mas`ud menetap di Kufah, Ibnu Umar menetap di Madinah, Abu 
Musa al-Asy`ari di Yaman, Anas bin Malik di Bashrah, dan Amru bin al-`Ash di 
Mesir. Dan di generasi selanjutnya, terdapat dua aliran besar dalam Islam yaitu 
madrasah ahlu ra`yi, para murid dari Ibnu Mas`ud di Kufah dan madrasah ahlu 
hadis, para murid dari Ibnu Umar di Madinah.
Dari dua madrasah inilah kemudian muncul imam Abu Hanifah di Kufah dan imam 
Malik bin Anas di Madinah. Kemudian muncul Imam Syafi`i yang belajar kepada 
imam Malik dan imam Muhammad bin al-Hasan As-Syaibani murid dari imam Abu 
Hanifah. Kemudian muncul imam Ahmad bin Hanbal yang belajar kepada imam 
Syafi`i. Para imam itu kemudian mengajarkan ilmunya kepada generasi-generasi 
selanjutnya dengan cara yang sama. Penjelasan tentang sanad dalam mazhab 
Syafi`i saja akan menghabiskan banyak sekali lembaran catatan yang berisi nama, 
tahun wafat, nama guru dan muridnya.
Sanad merupakan salah satu sebab kenapa ajaran agama Islam bisa bertahan dan 
tidak berubah laiknya agama Yahudi dan Nasrani. Maka, menjaga tradisi beragama 
melalui sanad dalam mazhab juga merupakan jalan untuk menjaga agama ini dari 
serangan tangan-tangan orang luar Islam.
Kedua. Mazhab-mazhab fikih itu� Makhdumah, menjadi bahan penelitian yang sangat 
serius. Awalnya bermula dari kitab yang dituliskan oleh imam mazhab ataupun 
oleh muridnya, kitab itu kemudian diringkas, diteliti dan dikembangkan oleh 
generasi selanjutnya. Ringkasan itu kemudian kita kenal sebagai matan yang 
kemudian disyarah oleh generasi selanjutnya. Syarah dari matan itu pun kemudian 
dijelaskan lagi dalam bentuk hasyiah, kemudian diberi komentar-komentar oleh 
generasi selanjutnya. Tidak berhenti di situ, terkadan sebuah matan kembali 
diringkas, ditambahi, kemudian dijelaskan, dan begitu seterusnya. Maka, akan 
terdapat silsilah kitab yang jelas di setiap mazhab.
Contohnya dalam mazhab Syafi`i. Terdapat empat kitab yang diwariskan oleh Imam 
Syafi`i dan muridnya, yaitu kitab al-Umm, al-Imla’, mukhtasar al-Buwaythi, dan 
mukhtasar al-Muzani. Mukhtasar al-Muzani kemudian disyarah oleh tujuh orang 
ulama generasi setelahnya dan diringkas oleh satu orang hingga terdapat delapan 
buah kitab muktamad yang berasal darinya. Salah satunya adalah kitab Nihayah 
al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab� karya imam Haramayn al-Juwayni yang kemudian 
diringkas oleh imam al-Ghazali menjadi tiga kitab, yaitu� al-Basith, al-Wasith, 
dan� al-Wajiz.
Al-Wajiz kemudian disyarah oleh imam Rafi`i menjadi Fath al-`Aziz yang kemudian 
diringkas lagi oleh imam Nawawi menjadi Rawdhah al-Thalibin dan imam Qazwini 
menjadial-Hawi al-Shaghir. Kedua kitab itu pun masih diringkas, lalu disyarah, 
dan syarah itu kemudian disyarah, dikomentari, dan ditambahi hinga menjadi 
belasan kitab lainnya.
Selain itu terdapat tiga kitab utama dari kalangan ulama Syafi`i� muta’akhir, 
yaitu� al-Lubab, al-Muharrar, dan� Ghayah al-Ikhtishar. Ketiga kitab itu pun 
disyarah, diberi hasyiah, terus dan terus dikaji hingga silsilah kitab dalam 
mazhab Syafi`i bisa tergambar jelas dalam sebuah diagram pohon silsilah yang 
panjang.
Ketiga. Mazhab-mazhab itu� Mudallalah, yaitu setiap hukum yang terdapat di 
dalamnya memiliki landasan baik dari al-Quran, sunah, maupun sumber hukum 
lainnya sesuai dengan metode ijtihad dari masing-masing mazhab. Perbedaan 
pendapat di antara mazhab satu dengan lainnya bukanlah didasarkan atas 
akal-akalan para ulama mazhab, namun karena perbedaan metode, pemahaman, 
penilaian terhadap riwayat, situasi tempat tinggal, dan beberapa sebab lain.
Contohnya saja dalam masalah� Basmalah� dalam surat al-Fatihah. Ada pendapat 
yang menyatakan bahwa� Basmalah� bukan termasuk surat al-Fatihah, ada juga 
pendapat yang menyatakan bahwa� Basmalah� termasuk surat al-Fatihah. Dalam 
membacanya pun terdapat perbedaan dari masing-masing mazhab. Semuanya memiliki 
dalil dan metode sendiri-sendiri yang menyebabkan perbedaan pendapat ini.
Keempat. Mazhab-mazhab itu memiliki akar yang menyambung kepada imam 
masing-masing. Dan perbedaan imam tersebut menjadikan perbedaan kaidah-kaidah 
dan metode ijtihad yang berbeda satu sama lain. Di dalam fikih mazhab Syafi`i 
terdapat lima kaidah utama yang dijelaskan oleh imam al-Suyuthi dalam kitab� 
al-Asybah wa al-Nadza’ir, yang lima kaidah itu belum tentu ada di mazhab 
lainnya.
Kelima. Mazhab-mazhab itu memiliki metode sendiri dalam pengajarannya. Setiap 
mazhab memiliki metode yang berbeda dalam setiap tingkatan untuk memudahkan 
para penuntut ilmu dalam menyerap dan memahami fikih sesuai dengan 
kemampuannya. Misalkan dalam mazhab Syafi`i terdapat kitab� Safinah al-Najah 
untuk pemula dengan berbagai syarahnya, kemudian diteruskan dengan kitab 
al-Ghayah wa al-Taqrib untuk tingkat selanjutnya juga dengan berbagai 
syarahnya, kemudian ada kitab Fath al-Mu`in, al-Muhadzab, Minhaj al-Thalibin, 
dan kitab-kitab lain hingga jika seorang murid telah mampu untuk membaca dan 
memahami ia bisa menelaah sendiri kitab-kitab yang menjadi rujukan utama dalam 
mazhab Syafi`i.
Seorang pelajar pemula akan lebih cepat memahami dan mempraktekkan apa yang ia 
pahami jika telah dibuat ringkas sebagaimana matan Safinah al-Najah. Jika anda 
membuka matan kitab itu, maka anda akan melihat bahwa di dalamnya hanya 
terdapat hal-hal yang utama untuk diketahui lebih awal oleh para pemula. Kitab 
itu hanya memuat bab rukun Iman dan Islam, bab bersuci, bab salat, bab jenazah, 
bab zakat, puasa dan haji dengan penjelasan yang sangat singkat. Karena hal 
itulah yang paling utama untuk diketahui dan diamalkan oleh pemula sesaat 
setelah mereka balig. Berbeda dengan matan al-Ghayah wa al-Taqrib yang isinya 
lebih lengkap, dan berbeda juga dengan matan Minhaj al-Thalibinyang di dalamnya 
disertai dengan perbedaan pendapat antara ulama-ulama di dalam mazhab Syafi`i.
Hal itu berbeda jika pembelajaran dimulai menggunakan kitab yang berisi 
hadis-hadis dengan sedikit komentar di dalamnya. Sebuah hadis bisa saja 
memiliki dua hingga lima maksud yang berbeda yang hal itu akan sangat 
menyulitkan bagi para pemula. Belum lagi bahwa diperlukan waktu yang lama untuk 
mempelajari seluruh hadis sahih yang ada dalam bab bersuci, lalu kapan bab 
salat, puasa dan haji akan dipelajari? Bagaimana jika ketika seorang pelajar 
telah memasuki usia balig namun ia baru sampai di bab bersuci?
Matan kitab-kitab tersebut adalah hasil ijtihad dari penulis kitab itu sesuai 
dengan metode yang telah ia pelajari. Memang, di dalam matan-matan itu jarang 
sekali terdapat dalil baik dari al-Quran ataupun sunah. Namun pendalaman akan 
dalil-dalil itu bisa diperdalami di kemudian hari saat seorang pelajar telah 
siap untuk hal itu.
Seorang muslim akan bertanggungjawab atas dirinya sendiri dalam beribadah 
kepada Allah sejak ia masuk usia balig. Maka, hal-hal yang harus dipenuhi 
pertama kali adalah hal yang menunjang ia dalam beribadah di saat itu.
Keenam. Mazhab-mazhab itu telah terkodifikasi, dan telah terkomparasikan antara 
satu dan lainnya. Pada tinggat selanjutnya, seorang pelajar akan bertemu dengan 
pelajaran fikih perbandingan mazhab yang mana di sana ia akan bertemu dengan 
perbedaan pendapat antara mazhab satu dan lainnya. Di sana juga ia akan 
mengenali perbedaan pendapat, dalil dan metode ijtihad yang telah menjadi ciri 
dari mazhab-mazhab itu sendiri.
Seluruh pendapat dan metode ijtihad itu merupakan bangunan tradisi keilmuan 
fikih yang sangat megah yang jika mazhab-mazhab itu dihapuskan maka usaha dan 
pengabdian para pendahulu kita terhadap agama ini tak lagi ada harganya. Ini 
juga merupakan salah satu upaya penghargaan atas jerih payah dan pengabdian 
para pendahulu kita terhadap agama ini. Semoga Allah membalas mereka dan 
menempatkan mereka di tempat yang layak.
Ketujuh. Terakhir, dengan kodifikasi mazhab-mazhab tadi maka setiap mazhab 
telah memiliki metode ijtihad sendiri yang dapat dijadikan landasan dalam 
menghadapi hal-hal baru yang tidak ada sebelumnya dan perlu dicarikan hukumnya. 
Jika bermazhab dilarang, maka para mujtahid di masa yang akan datang akan 
terputus dari metode ijtihad yang telah ada pada generasi sebelumnya.
Maka, bermazhab itu bukanlah soal mengikuti pendapat imam A dan meninggalkan 
hadis yang ada, namun lebih dari itu. Bermazhab itu mempelajari metode ijtihad 
dalam menggali hukum dari al-Quran dan hadis. Bermazhab itu melestarikan 
tradisi keilmuan fikih Islam yang telah dibangun sejak zaman Rasulullah dan 
para sahabat. Bermazhab itu memberikan penghargaan kepada para pendahulu kita 
yang telah memberikan sumbangsih yang tiada tara kepada peradaban keilmuan 
Islam secara keseluruhan. Bermazhab itu adalah salah satu cara untuk menjaga 
agama ini agar bertahan dari serangan pihak lain hingga hari akhir nanti. 
Semoga bermanfaat.

Fahmi Hasan Nugroho,
Mahasiswa Tingkat III, Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar-Kairo.
Referensi
- Al-Fawa’id al-Makiyah, fi ma Yahtajuh Thalabah al-Syafi`iyah min al-Masa’il 
wa al-Dhawabith wa al-Qawaid al-Kulliyah, Syaikh `Alawi bin Ahmad bin 
Abdurrahman al-Saqqaf, Dar al-Faruq, Kairo, 2012
- Al-Ghayah wa al-Taqrib, al-Qadhi Abu Syuja` Ahmad bin al-Husain bin Ahmad 
al-Ashfahani, al-Maktabah al-Islamiyah, Kairo, 2011.
- Safinah al-Najah, Syaikh Salim bin Samir al-Hadhrami, al-Maktabah 
al-Islamiyah, Kairo, 2011.
- Shahih Muslim, Imam Muslim, Maktabah Syamilah.
- Tarikh al-Tasyri` al-Islami, Rasyad Hasan Khalil, Kairo, 2011.
-� `Ulum al-Hadis, Dr. al-Khusyu`i Muhammad al-Khusyu`i, Kairo, 2011.


.

Kirim email ke