Kompas, Senin, 30 Januari 2006
Merajut Solidaritas Taktis
Haryatmoko
Globalisasi mengusung kemenangan pemikiran tunggal, ekonomi. Yang mengglobal adalah pasar, promiskuitas semua pertukaran, semua produksi, dan aliran uang.
Pada tataran budaya, proses ini merupakan promiskuitas semua tanda, semua nilai, karena penyebaran mendunia dalam jaringan. Jaringan budaya yang kuat adalah budaya pemenang, meski pembelaan pluralitas budaya tak pernah surut.
Pluralisme, keberagaman dan keberbedaan semula menjanjikan, lalu menjadi benih diskriminasi. Dewasa ini, tiap budaya dan tiap agama cenderung menjadi apologi yang tidak bisa dikritik oleh rasionalitas apa pun karena klaim akan kebenaran dan kekhasannya. Kebenaran seharusnya menjadi sumber kebebasan dan kepedulian pada liyan menjadi ancaman.
Emansipasi identitas
Pencarian kebebasan yang semula adalah asal-usul semua emansipasi manusia, dalam budaya dan agama saat ini berubah menjadi emansipasi identitas. Mistik ini menyebarkan fiksi yang merusakkan, manusia direduksi pada akar budayanya, pada kepemilikan agamanya. Fiksi ini dianggap merusakkan karena seakan memberi jaminan, tak akan mendapat sanksi dalam kekejamannya. Wacana keberbedaan yang seharusnya membuat orang perhatian terhadap liyan justru memacu kebutuhan identitas diri (Beji, 2004:56). Lalu menjadi kerentanan psikologis, terutama karena pecahnya sistem perlindungan individu. Jadi, identitas diri merupakan pencarian rasa aman, pencarian skema sosial baru yang memberi struktur.
Individualisme tidak menghilangkan mekanisme kontrol sosial. Hanya mekanismenya tidak lagi direktif, memaksa, atau mengancam, tetapi dengan komunikasi. Struktur sosialisasi kehilangan kewenangan dan arena sosial menjadi perpanjangan lingkup privat, lingkup sosial dan individual diorganisasi menurut logika konsumsi (Lipovetsky, 2004:41).
Paradoksnya, individualisme ini merupakan ideologi massa, bukan singularitas kreatif. Ia mengisi keputusasaan dan ketidakpastian akan masa depan yang dirasakan kian tidak manusiawi. Maka bisa dipahami kebutuhan akan identitas menggeser kebutuhan akan kebebasan. Lalu budaya dan agama tidak lagi dipahami dalam kerangka penyempurnaan diri yang bebas, tetapi dihayati sebagai kesetiaan pada kesadaran akan keunggulan yang sudah ditentukan sejak awal (Beji, 2004:58). Maka semua bentuk yang mempertanyakan keunggulan atau yang dianggap melecehkan memicu kekerasan.
Individualisasi yang tak terkontrol ini diperparah komersialisasi gaya hidup. Logika mode mengarahkan budaya, konsumsi, dan penampilan. Kebahagiaan pribadi menggantikan tindakan kolektif, pemujaan masa kini dan kekaguman terhadap yang selalu baru mengganti harapan akan masa depan (Lipovetsky, 2004:85).
Individualisasi juga diterapkan dalam hubungan kerja: target yang harus dicapai, evaluasi individual, sistem gaji atas dasar prestasi individual, kompetensi individual. Persaingan menjadi penggerak efisiensi. Segala bidang kehidupan menekankan persaingan tanpa ada yang menengahi. Bahkan negara kian tidak berdaya menghadapi PHK oleh perusahaan, ancaman penutupan pabrik, delokalisasi perusahaan, kontrak terbatas, dan outsourcing yang merugikan tenaga kerja.
Tenaga kerja dibuat patuh oleh situasi tak menentu dan ancaman sewaktu-waktu menganggur (Bourdieu, 1998). Jadi, dasar tatanan ekonomi yang mengagungkan individu ini ternyata adalah kekerasan struktural (ancaman pengangguran). Besarnya jumlah penganggur selalu siap menggantikan siapa saja. Kelompok penganggur sulit bersatu karena pengangguran membuat orang terisolasi, individualis, dan jauh dari solidaritas. Menurut Bourdieu, semua ini konsekuensi sistem ekonomi neoliberal yang mau memisahkan logika ekonomi (persaingan untuk mendorong efektivitas) dari logika sosial (menekankan aturan keadilan). Utopia pasar murni mau menyingkirkan semua struktur kolektif yang menjadi hambatannya (negara, kelompok sindikat, asosiasi pekerja, dan koperasi). Ketakutan tersingkir atau tidak mendapat pekerjaan menyebabkan kegelisahan dan konformisme. Manusia menyesuaikan diri dengan budaya yang tidak manusiawi untuk bisa bertahan hidup sehingga tidak peka lagi terhadap penderitaan orang lain dan juga terhadap penderitaan dirinya.
Solidaritas taktis
Menghadapi komersialisasi gaya hidup, individualisasi yang tak terkontrol dan penghancuran struktur kolektif perlu dibangun solidaritas taktis dan kohesi sosial. Solidaritas taktis ini bukan pertama-tama uluran sukarela mereka yang berkecukupan, tetapi proses negosiasi tiada henti dalam kolektivitas agar terjadi redistribusi kekayaan demi menguntungkan yang paling tidak beruntung. Misalnya, bila suatu perusahaan harus mem-PHK 25 karyawannya, bisakah PHK itu dibatalkan dengan mencari pemecahan melalui solidaritas taktis, yaitu dengan mengurangi gaji anggota direksi sebesar 10 persen?
Upaya membangun kohesi sosial dilakukan agar interaksi ekonomi menjadi perekat sosial. Setiap kolektivitas entah atas dasar geografi, profesi, lintas agama bisa mengusahakan koperasi simpan pinjam dengan bunga kecil untuk kepentingan anggotanya. Kohesi sosial bisa terjadi jika komunitas, terutama kelompok yang berkecukupan, mampu membantu anggotanya mengatasi kebutuhannya. Distribusi kekayaan antarkelompok menuntut kita memiliki budaya untuk mau mengurangi konsumsi kebutuhan diri kita. Inilah tugas pendidikan dan kebudayaan untuk menyiapkan dan menumbuhkan dalam psikologi kolektif apa yang disebut tanggung jawab publik. Hal ini dituntut pragmatisme, artinya harus dilakukan meski merupakan pilihan sulit. Bila kelompok kecukupan tidak peduli terhadap penderitaan kaum miskin, gaya hidup mereka akan selalu ada dalam bahaya menghadapi risiko ketidakamanan permanen seperti diderita Israel. Bantuan akan mengintensifkan hubungan sosial.
Peristiwa pemberian melahirkan rasa utang budi, kewajiban, dan keterikatan kepada komunitas. Ketiga hal ini mendorong tumbuhnya solidaritas dan kepedulian terhadap kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kegilaan logika ekonomi masih bisa dikendalikan karena dicegah terpisah dari logika sosial. Tatanan sosial harus dibangun untuk memberi tempat kepada kolektivitas dan diarahkan ke pencarian rasional tujuan-tujuan yang dirumuskan dan disetujui secara kolektif.
Haryatmoko Dosen Pascasarjana Filsafat UI dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
 


Yahoo! Autos. Looking for a sweet ride? Get pricing, reviews, & more on new and used cars.

** Menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi SAAT INI di dalam diri saya maupun di luar diri saya **

** Kami kembali tuk hidup dalam kekinian yang menakjubkan; tuk menanami taman hati kami benih-benih kebajikan; serta membuat fondasi pengertian dan cinta kasih yang kokoh **

** Kami mengikuti jalur perhatian penuh, latihan tuk melihat dan memahami secara mendalam agar mampu melihat hakikat segala sesuatu, sehingga terbebas dari belenggu kelahiran dan kematian **

** Kami belajar tuk: berbicara dengan penuh cinta kasih, menjadi penuh welas asih, menjadi perhatian terhadap pihak-pihak lain pagi ataupun sore hari,  membawa akar-akar suka cita ke banyak tempat, membantu sesama melepaskan kesedihan; dan tuk menanggapi dengan penuh rasa syukur kebajikan orang tua, para guru, serta sahabat-sahabat kami **




SPONSORED LINKS
Religion and spirituality Spirituality


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke